Jalan putus, jembatan patah, dan sawah petani tergenang hingga padi siap panen pun terkulai rata tanah penuh lumpur ditimbun air yang mengalir ke tempat rendah. Diduga kali ini gagal panen, rawan kelaparan.
Oleh Pius Rengka, Pemimpin Umum detakpasifik.com
SANTU Agustinus, pujangga gereja yang lahir 13 November 354 dari Hipo itu berkata begini: “Carilah dengan kerinduan untuk menemukan, temukan dengan kerinduan untuk mencari terus menerus.” Begitulah!
Tiga pekan belakangan. Provinsi NTT, yang terletak di tepi selatan tengah Pasifik, kembali berduka. Negeri dari mana nyiur melambai-lambai ini, dihajar bencana beruntun. Ada rasa was-was kembali menyembul, di tengah limbah kebimbangan yang selama ini telah kian menipis.
Provinsi berpenduduk 5,6 juta jiwa yang dikenal luas dengan aneka jenis pesona destinasi wisata ini (45 destinasi, versi Disertasi Doktoral Viktor B. Laiskodat, 2020) sepertinya tak putus dirundung malang. Negeri sejuta pesona alam itu, kini berduka sudah. Ibu pertiwi NTT menangis ditimpa beban duka lara menyaksikan anak negeri. Covid-19, belum berlalu jua, tetapi badai Seroja datang menerjang dini hari hingga menghajar semua ciptaan manusia di kegelapan malam nan basah. Mengerikan.
Bagaimana tidak, angin topan, hujan padat, gelombang laut bersatu padu bersekutu datang menyiksa NTT. Seolah-olah, laut selatan di tanah sabana ini tidak sedikit pun mau berdamai dan melindungi para sahabatnya di samudra.
Kuat pesan terkesan, seolah Laut Sawu membiarkan dirinya dijajah oleh landa bencana dan mau saja dikepung badai taufan. Laut Sawu menjadi seperti arena unjuk kekuatan air dan angin berkecamuk sekaligus. Tarung dahsyat bertabur unjuk kekuatan senjata ganas alami topan meliliti Pulau Timor, terutama Kota Kupang.
Ombak bergulung memuncak gelombang laut setinggi-tingginya tujuh meter. Seisi pantai dihempas semua. Penduduk di tepian pantai berlari lintang pukang dengan kecepatan penuh. Akibatnya telah jelas. Fasilitas umum negara, infrastruktur privat, patah remuk redam terjerembab direndam air laut.
Kota Kupang dan sekitarnya, tampak galau. Bukit-bukit yang membungkuk mencari lembah di mana anak sungai kian mengalir banjir limbah sampah menerobos masuk ke relung-relung kamar rumah penduduk padat penghuni.
Hari petang di Kupang adalah selalu sebuah waktu yang indah tiap hari. Tak ada pemandangan serupa itu di tempat lain di daerah tropis. Pada menjelang malam tiba, biasanya, bintang-bintang bertaburan di langit sunyi malam bertebaran bintang gemintang di antara sela langit biru nun lengang di angkasa jauh. Tampak kadang lebih terang bercahaya sebagaimana mereka menyembul pada langit gelap. Bulan muncul perlahan redup sendu sedih dari balik sela bukit Pulau Timor. Kadangkala, menjelang petang yang sama, muncul perlahan di balik serambi Pulau Semau di barat daya Pulau Timor, sesuatu berwarna oranye cerah cahaya tumbuh rendah dan liar, sebuah latar belakang yang sangat brilian pada tumbuhan palma yang tampak kian gelap bagai tiang arang yang melambai-lambai.
Namun, Pantai Namosain sunyi. Hingga tepi pantai depan Hotel Aston Kota Kupang di ujung turbin lekukan pantai timur, ribuan batu wadas entah dari dasar laut mana terkirim bergulung bersama gelombang hingga membentuk semacam barier pelindung pantai, pencegah gelombang atau pemecah gelombang laut. Rapi tersusun apik, berjejer sepanjang garis pantai usai badai gelombang menerjang.
Tak hanya terjangan gelombang laut. Angin puting beliung pun begitu. Sama ganasnya. Angin puting beliung mengamuk seperti sedang marah besar. Pohon, rumah pondok, tiang listrik dan telpon disapu. Staf PT. Flobamor, Nona Carolina bertutur, rumah kediamannya di Walikota belakang rumah jabatan Sekda NTT “ditikam” tiga tiang listrik, menembus masuk ruang tengah. Sementara halaman belakang rumah dinas Wakil Walikota, mendaratlah sebuah lempengan utuh satu atap rumah entah atap rumah siapa.
Rumah saya di bilangan Jl. Antarnusa, Liliba, Oebobo, Kupang, diserang hujan badai, hingga seluruh ruang tamu tergenang air. Kaca rumah remuk, plafon rumah berterbangan, dan ratusan rumah lain mengalami nasib serupa, bahkan keadaannya lebih parah.
Jalan putus, jembatan patah, dan sawah petani tergenang hingga padi siap panen pun terkulai rata tanah penuh lumpur ditimbun air yang mengalir ke tempat rendah. Diduga kali ini gagal panen, rawan kelaparan.
Catatan Sejarah
Sebelumnya, tangan sejarah di daerah ini sudah pernah mencatat. Bahwa peristiwa serupa ini pernah terjadi tahun 1939 (vide: Disertasi Prof. Dr. Herman Ataupah). Saat itu, banyak rumah penduduk remuk. Sementara tahun 1989, juga pernah terjadi gelombang laut menghajar tepian pantai Kota Kupang, hingga destinasi pantai wisata Kota Kupang, Lasiana yang sebagian besar hancur. Terjangan air laut masuk hingga ke jalan Siliwangi. Seolah-olah samudra meludahi semua penghuni yang ada di situ. Sampah, bau amis merebak ke mana-mana di daerah sekitar, setelah kejadian itu menjadi keadaan lumrah.
Kini, peristiwa 83 tahun silam itu terjadi lagi. Angin disertai hujan padat berkecepatan 80 km/jam menghajar padi sawah siap ketam, meluluhlantakan jagung siap panen, dan, bukan hanya itu.
Rumah para petani pun jatuh terjerembab. Rebah remuk. Seng, tembok, plafon, kusen terlontar terbang. Lainnya dirajam air bah. Bahkan, puing-puing rumah tersisa dihalau banjir bandang hingga habis terkikis dikirim ke segala arah di areal sawah.
Rumah penduduk di sepanjang jalan negara di Tuapukan, Oesao, dan Naibonat, Kabupaten Kupang, direndam banjir tiga meter dari fundasi. Kasur, bantal lemari, periuk, saringan minyak, senduk garpu, pakaian alas, ikat pinggang, sepatu sandal, dan dompet tas, alat-alat dapur ngambang dihanyut banjir. Tikus ular kecoa pun disapu rata. Sedangkan para penghuni rumah meluputkan diri menjauh dari amukan banjir, angin dan hujan badai dalam keadaan basah kuyup. Lainnya berlindung di gereja-gereja milik GMIT. Lainnya lagi mengisi tempat kosong di dataran tinggi. Dan, dari jauh mereka menyaksikan di kegelapan malam harta miliknya yang dibangun dan dikumpulkan dengan banjir keringat susah payah, kini hanya tinggal kenangan ketika mengambang mengalir menjauh dalam deburan gelombang air bah yang memekat berlumpur.
Sementara di Kota Kupang, tiang listrik, kayu proyek dan kayu hutan lama sepanjang jalan Piet A Talo dan Frans Seda, tumbang. Kontraktor kayu pun mungkin meluputkan diri menjauh tak mau ikut bertanggung jawab. Jaringan listrik putus. Begitu pun kabel wifi putus total. Harga tiap tegakan kayu sengaja tanam di Kota Kupang, Rp 2 juta.
Kota Kupang bagai kota hantu di kegelapan malam mengerikan sedikitnya tiga malam susul menyusul sejak badai Seroja terjadi, yang puncaknya terjadi pukul 02.00 dini hari, 5 April 2021.
Malaka
Di Malaka juga sama. Jembatan legendaris Benenain, bengkok miring setelah didorong ganas banjir berlumpur dari lima aliran sungai dari TTS dan TTU. Masyarakat seperti terbelah dua. Terpisah garis batas jembatan yang membatasi manusia serba terbatas. Manusia dibatasi Sang Pembatas nan Maha Agung yang tak terbatas.
Luapan sungai Benanain dilaporkan merendam seluruh kebun petani di Kota Betun. Ladang jagung TJPS dan padi sawah terendam. Rumah penduduk tenggelam. Para penghuni mengungsi ke biara susteran dan rumah gereja protestan dan rumah ibadah lain di Betun.
Pejabat Bupati Malaka, Victor Manek tatkala dijumpai di Betun dua pekan silam menyebutkan, ratusan rumah penduduk tenggelam. Kawanan ternak, sapi, babi, kambing dan ayam mati. Belum ditafsir, berapa kerugian yang diderita rakyat. Laporan pasti menyusul.
Kasur, lemari pakaian, periuk, makanan hanyut ke laut Timor. Para pemilik rumah terpaksa melarikan diri. Bahkan buaya pun mengungsi mencari perlindungan ke kolong tempat tidur rumah penduduk.
Para korban diungsikan ke beberapa tempat yang disiapkan pemerintah bekerja sama kolaboratif dengan TNI, Polri dan institusi keagamaan. Pemerintah sangat sigap dan siap.
“Saya telah segera berkoordinasi dengan TNI, Polri, gereja, NU dan seluruh elemen pemerintah sesaat setelah peristiwa bencana terjadi,” ujar Viktor Manek, pejabat Bupati yang mendapat pujian dari Gubernur NTT itu.
Namun, hal kontras lain ditemukan di Kabupaten Kupang. Pemerintah terkesan berjalan lamban bagai siput bunting gemuk. Bupati Kupang, baru sigap bergerak cepat setelah dijemput “paksa” oleh petugas Pol PP Provinsi.
Rakyat di Oesao, Tuapukan, Naibonat dan di Takari marah bukan main lantaran pemerintah setempat tak segera menangani masalah mereka. Malah Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, dalam perjalanan memantau bencana di seluruh daratan Timor, memberi pertolongan pertama kepada masyarakat yang sedang derita di sepanjang tepi jalan Timor Raya itu. Gubernur membeli seluruh beras dan super mie dari tokoh orang Bugis di Naibonat.
Wajah NTT, memang runyam nian. Pilu duka lara berkumpul jadi satu. Pulau Timor berduka, Pulau Pantar Alor terluka. Adonara penuh bau darah basah beku mengenaskan ditimpa gelombang batu dan tanah basah yang rubuh dari dataran tinggi. Lembata begitu juga. Rakyat banyak yang meninggal dunia mengenaskan.
Di Sumba, terutama Sumba Timur bagian Selatan, remuk. Jembatan bentangan 50-an meter dihalau ke laut. Sawah dan ladang petani ringsek. Rumah mereka pun patah jatuh terjerembab bagai tong sampah. Tak lagi ada jarak simbol struktural kultural Umbu dan non Umbu tatkala badai datang menghantam kandang para peternak dan rumah penduduk. Dua anak sungai meluap, menghalau seluruh tanaman dan rumah penduduk. Pohon kayu tumbang. Tetapi bendungan Kambaniru meluap menghajar penduduk tepi Kota Waingapu. Bendungan patah, ringsek.
Tahun 1939. Bencana serupa pernah terjadi. Bencana sejenis dialami NTT. Peristiwa amuk angin gelombang dan hujan padat itu, menghajar rumah penduduk. Kala itu, tafsir masyarakat sungguh sangat sederhana.
Menurut kepercayaan orang desa di Timor Barat, perisitwa itu adalah sejenis penampakkan daulat Allah Sang Maha Pengada, Tuhan segala alam semesta yang geram atas kelakuan manusia terutama atas aneka kekeliruan yang dibuatnya. Tetapi, 82 tahun kemudian, peristiwa sejenis terjadi lagi. Apakah hujan beruntun 5 hari berturut-turut, disertai badai angin puting beliung, adalah sejenis kegeraman Ilahi ataukah gejala alam biasa di jaman baru? Apakah Covid-19 dan bencana Seroja adalah siksaan dari Sang Maha Agung Pencipta atas kelakuan manusia atas alam semesta? Apakah semua bencana alam adalah siksaan Tuhan atas dosa-dosa manusia?
Coba camkan peristiwa-peristiwa ini sekali lagi. Bukan saja air laut yang bergelora ganas, tetapi juga pohon tumbang, rumah dan lereng bukit encer mencair lalu menghalau ratusan bahkan ribuan mahluk hidup dan fasilitas umum dengan batu alam sebesar rumah dan lumpur air yang menerjang kencang.
Maka, Pulau Timor pun tumbang. Adonara menangis. Lembata berduka. Pulau Pantar di Kabupaten Alor menangis sepanjang hari hingga hari ini. Meski di tengah kepanikan, bantuan datang silih berganti. Bupati Alor, Amon Jobo dan seluruh elemen pemerintah bergerak cepat turun ke lapangan membantu bahu membahu setiap jengkal daerah terdampak.
Pulau Pantar Alor
Bupati Alor, Amon Jobo, kepada Gubernur NTT berkisah, sesaat setelah amukan lumpur dan pecahnya bukit-bukit penghancur tujuh perkampungan di Pulau Pantar, dirinya dan perangkat daerah serta TNI dan Polri bergandengan tangan bahu membahu membantu masyarakat keluar dari kesulitan. Istimewanya lagi, kata Bupati Alor nan gesit ini, masyarakat yang tidak tertimpa bencana justru datang membantu meringankan beban para penderita.
Namun, meski di tengah gelombang badai bencana, selalu ada seketul harapan, ketika bala bantuan datang dari berbagai pihak. Hal itu tampak ketika jalur jalan raya di Pulau Pantar pulih dalam seminggu. Meski perkampungan di berbagai kawasan remuk, toh masyarakat Pulau Pantar terhibur ketika Pemimpin mereka datang ke tengah rakyat memberi harapan dengan bantuan. Bantuan itu kian sempurna ketika Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat bersama rombongan, menginap semalam di ibukota Kecamatan Pantar Timur.
Catatan resmi Pemerintah NTT menyebutkan, sedikitnya 180 orang meninggal dunia menyusul peristiwa badai Seroja. Kerugian harta benda, baik milik pribadi maupun fasilitas umum, ditaksasi mencapai triliunan rupiah. Peran BNPB Nasional sangat bermakna.
Rumah rusak total dibantu Rp 50 juta perunit dengan ukuran tipe 36, rusak sedang Rp 25 juta, dan rusak ringan Rp 10 juta. Bantuan pakaian, bahan makanan mengalir dari berbagai arah. Bantuan itu terjadi berkat kerja sama pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan desa. Distribusi bantuan dilakukan dengan lekas pakai helikopter dan kapal TNI AL.
Kunjungan Presiden
Presiden Jokowi berkunjung ke Lembata dan Adonara. Presiden datang ke sana setelah tiga hari sebelumnya mendapat kabar langsung dari Gubernur NTT perihal bencana di NTT. Pukul 04.00 Wita, setelah badai kian mereda, Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat, bergerak menuju ke rumah sakit. Tujuannya untuk mencek keadaan rumah sakit dan pasien yang mungkin kena musibah, apalagi listrik padam total.
Di rumah sakit Gubernur menginstruksikan seluruh perangkat struktural di RSU WZ Johanes, untuk menempatkan semua penderita di kelas mana pun termasuk ke ruangan VIP. Saat bencana, kata Gubernur, kelas sosial perawatan tidak penting. Yang penting urus orang sakit, apalagi mereka yang tertimpa bencana.
Pukul 03.00 Wita, sebelum keluar dari rumahnya di bilangan Walikota, Gubernur Viktor menelpon Presiden Jokowi. Dia melaporkan peristiwa bencana Seroja yang terjadi di Kupang dan seluruh NTT, sekaligus meminta kerja sama cepat lintas sektor.
Sesaat setelah berbicara dengan Presiden, Gubernur Viktor melakukan koordinasi dengan Kapolri, BNPB, Mabes TNI untuk kemungkinan mendapatkan alat angkut berupa helikopter dan fasiltas mobilisasi yang lain dalam skema mengatasi masalah usai bencana.
Dua hari setelahnya Gubernur, bersama rombongan cukup besar, pergi memantau seluruh keadaan di Pulau Timor, Rote, Sabu, Sumba, Flores Lembata Adonara, dan Alor. Tercatat banyak jembatan rusak. Tanaman para petani rusak. Sawah garam industri rusak, dan masih banyak hal lain yang memprihatinkan. Dalam pada itu, peristiwa ini direfleksikan Gubernur sebagai ujian.
Semua pemimpin di level mana pun, kata Gubernur, pasti mendapat ujian. Ujian itu bisa berupa ujian sangat besar, ujian besar, sedang dan sulit, tetapi ada juga ujian yang ringan-ringan. Di tengah kesulitan itulah para pemimpin justru diuji. Pada ujian itulah para pemimpin memantulkan kapasitas kepemimpinannya. Di sana akan tampak dengan jelas.
Cobaan itu, ujar Gubernur, selalu datang kepada semua pemimpin entah di level mana pun. Tetapi ujian dan cobaan itulah sekaligus dapat terlihat kemampuan para pemimpin menyelesaikan persoalan.
“Di peristiwa bencana itulah, saya mencermati dan melihat dengan sangat jelas, pembedaan antara pemimpin yang kuat dan yang lemah. Pada situasi sulit itu pulalah kita dapat dengan jelas melihat mana pemimpin pintar dan cerdas, dan siapa pemimpin bodoh dan tidak kreatif,” ujar Gubernur Viktor.
“Menurut saya, ujian besar hanya didedikasikan kepada para pemimpin yang kuat,” ujar Viktor Laiskodat saat dimintai refleksinya atas peristiwa bencana ini.
Dia menambahkan, pada situasi dimana kerja sama lintas daerah dan lintas struktur kekuasaan mengalir, saat itu pulalah kepemimpinan akan diuji level kejujuran dan solidaritas sesama anak bangsa, terutama terkait laporan korban bencana. Karena itu, Gubernur kerap mengingatkan semua pihak terkait, terutama kepada para pemberi laporan korban bencana dan pemberi bantuan, agar selalu jujur memberi data, jangan dikarang-karang.
Pada situasi derita itulah pula, kata Gubernur, kita semua diuji terutama perihal kualitas solidaritas dan refleksi iman kita masing-masing. “Kita tidak hanya sanggup menampilkan diri seolah-olah orang paling beriman pada situasi sangat normal. Tetapi justru orang kuat beriman justru tampak jelas saat ketika sesama manusia mengalami duka dan penderitaan,” kata Gubernur Viktor.
Berkali-kali Gubernur menyerukan agar laporan korban bencana harus jujur dan bangkitkan solidaritas dengan semua pihak terdampak bencana. “Badai memang pasti berlalu, tetapi solidaritas antarsesama manusia sebaiknya tak akan pernah boleh berakhir, entah apa pun mungkin yang bakal terjadi pada manusia,” ujar Gubernur dengan nada menasihati.