Kupang, detakpasifik.com – Empat puluh tiga mahasiswa/i Kesatuan Mahasiswa Pelajar Kecamatan Lelak (TAMPIL) Manggarai di Kupang, Sabtu, 30 September 2023, petang, menggelar diskusi. Mereka mengkritisi tradisi belis di berbagai suku di dunia, terutama di Manggarai, Flores.
Belis atau mas kawin atau mahar atau hantaran, dimaknai sebagai media untuk menjaga komitmen dua keluarga. Belis adalah pemberian salah satu pihak kepada pihak lain selalu dalam konteks pernikahan.
Namun, forum diskusi mahasiswa TAMPIL memperkirakan, kelak tradisi belis terkikis perkembangan dunia karena digulung arus gelombang globalisasi yang cenderung individualistis. Akibatnya, belis dapat hilang sekurang-kurangnya meniru tradisi Eropa bahwa pernikahan ditetapkan melalui undang-undang sipil, tanpa belis segala.
Praktik belis ini telah dikenal ribuan tahun silam di berbagai suku di belahan benua Asia, Afrika dan negara-negara di Melanesia, terutama di masyarakat agraris atau masyarakat peramu. Karenanya, belis selalu memantulkan realitas konteks masyarakatnya.
Kecuali di Eropa, tradisi belis ini tersebar di seluruh dunia sejak ribu tahun silam. Bentuk, nilai, dan maknanya bervariasi signifikan dari satu budaya ke budaya lainnya. Tetapi makna sosial belis berbeda-beda tergantung budaya dan masyarakatnya.
Pemantik diskusi, Pius Rengka, satu dari anggota dewan penasihat TAMPIL, Kupang. Diskusi dipandu Epifani Setia, mahasiswa kimia tingkat akhir di Undana. Para mahasiswa TAMPIL datang dari berbagai fakultas dan jurusan di Undana, Unwira dan Unkris, Kupang, dikomandoi Ketua TAMPIL Silvester Jebaru, mahasiswa Fisip, program studi Administrasi Publik.
Hadir juga mantan Ketua TAMPIL, Modesta O. Nahul mahasiswa kimia Undana kelahiran Rejeng, Kecamatan Lelak. Tak hanya para anggota TAMPIL, tetapi turut hadir mahasiswa Kecamatan Cibal, dan Ndoso.
Dalam arahannya, Ketua TAMPIL menyebutkan, ke depan diskusi sejenis akan terus digelar dengan berbagai topik aktual. Maksudnya, untuk mempertajam dan memperkaya perspektif para mahasiswa di luar bidang studi yang mereka pelajari. Karena itu, para pemicu diskusi nantinya sangat variatif. Mahasiswa harus menimba banyak pengetahuan dari beragam sumber daya, termasuk menghadirkan para cerdik cendekia orang Manggarai di Kupang.
Dalam rangkuman diskusi, moderator Epifani, biasa disapa Fani menyebutkan, belis memiliki beberapa makna sosial umum.
Pertama, simbol komitmen. Belis sebagai simbol komitmen dan keseriusan para pihak yang akan menikah. Ini menunjukkan kesiapan mengambil tanggung jawab dengan sungguh-sungguh.
Kedua, pemberian penghargaan. Belis mencerminkan penghargaan dan penghormatan terhadap pihak lain. Belis adalah cara menghargai nilai dan kontribusi pasangan dalam pernikahan.
Ketiga, keuangan dan ekonomi. Belis memiliki konotasi ekonomi dan finansial. Di beberapa budaya, belis membantu pasangan yang memulai kehidupan bersama.
Keempat, keseimbangan sosial. Dalam beberapa budaya, belis menjaga keseimbangan sosial antara keluarga pria dan perempuan.
Kelima, tradisi dan adat istiadat. Belis seringkali merupakan bagian integral dari adat istiadat pernikahan dalam suatu budaya. Ini adalah cara menjaga warisan budaya yang telah ada selama berabad-abad.
Keenam, Belis berfungsi perlindungan finansial bagi pengantin perempuan jika terjadi perceraian atau kematian suami. Tetapi, dalam masyarakat yang lebih individualistis makna dan nilai belis mengalami perubahan, karena kesetaraan gender lebih diutamakan.
Belis untuk pria
Tradisi belis atau mas kawin, bervariasi berdasarkan faktor geografis, sosial, ekonomi, dan budaya. Asal usul tradisi belis berakar di berbagai budaya kuno. Fungsinya pun beragam. Di beberapa budaya Asia, praktik ini disebut “dowry”. Keluarga pengantin perempuan memberikan harta kepada keluarga pengantin pria. Artinya belis diberikan kepada laki-laki bukan perempuan. Di Afrika, disebut “lobola” atau “mahar”, dengan berbagai kompensasi berupa uang tunai, ternak, atau barang-barang berharga.
Seiring perubahan waktu, belis mengalami evolusi signifikan. Beberapa negara telah mengatur praktik ini melalui undang-undang demi melindungi hak dan kesejahteraan perempuan, mencegah eksploitasi, atau menghindari tekanan finansial berlebihan pada perempuan.
Perkembangan perspektif gender dan gerakan feminisme sejak abad 18, perspektif belis pun berubah. Banyak negara dan masyarakat lebih memperhatikan kesetaraan gender dan menekankan pentingnya memastikan agar belis tidak digunakan sebagai alat menekan perempuan atau melihatnya sebagai properti.
Di beberapa negara, praktik ini mulai terlihat tidak relevan atau menjadi masalah sosial terdorong perspektif masyarakat kosmopolitan. Beberapa pasangan malah memilih menghilangkan belis. Menggantinya dengan perayaan pernikahan sederhana, yang disesuaikan dengan nilai-nilai mereka.
Memang benar, nilai-nilai belis berkembang seiring perubahan sosial dan budaya. Tidak ada tempat atau waktu yang dapat diidentifikasi sebagai “tempat pertama” atau “asal usul” dari praktik ini, karena berbagai bentuk belis telah muncul independen di banyak budaya yang berbeda sepanjang sejarah manusia. Sejarah belis adalah cerminan dari keragaman budaya manusia dan sejarah pernikahan di seluruh dunia.
Sementara itu, wujud belis sangat bervariasi di berbagai suku bangsa dan budaya di seluruh dunia. Tetapi, umumnya belis berwujud uang tunai. Ini adalah bentuk belis yang paling umum di seluruh dunia. Pengantin pria memberikan uang tunai kepada perempuan atau keluarganya atau sebaliknya sebagai bagian dari pernikahan. Perhiasan berharga cincin, kalung, gelang, atau anting-anting.
Di masyarakat agraris, belis ternak karena ternak sebagai bagian alat pengelola tanah. Ternak membantu pasangan yang menikah untuk memulai kehidupan bersama dengan sumber makanan dan mata pencaharian. Belis tanah, rumah, atau properti lainnya mencerminkan status ekonomi yang lebih kuat dari pemberi belis.
Di Manggarai, belis awalnya berupa rumah permanen (pesek), kebun kopi, sawah, ladang (ma’ang), radio, lampu gas (petromaks). Dikenal Pekosamaraga. Seiring perkembangan zaman, belis berubah menjadi kawanan hewan, kerbau kuda, dan uang. Belakangan cenderung semuanya di-uang-kan. Jumlahnya ditentukan oleh status mobilisasi vertikal perempuan. Makin tinggi gelar pendidikan perempuan, makin tinggi pula belis (paca) yang dipatok.
Di berberapa suku di Indonesia, belis sarung, kain batik, alat shalat, dan berbagai barang lainnya yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan belis padi, jagung, atau buah-buahan. Sedangkan emas atau perak merupakan logam mulia sebagai belis berharga. Di masyarakat modern lembaran saham atau investasi sebagai belis, begitu pun rekening tabungan bersama, atau investasi dalam bisnis bersama.
Tradisi Afrika, belis tidak hanya dilihat sebagai pembayaran dalam bentuk harta, tetapi juga sebagai tanda penghargaan, penghormatan, dan pengakuan atas calon pasangan. Awalnya melibatkan pertukaran barang berharga atau hewan ternak sebagai kompensasi untuk keluarga perempuan. Jumlah belis mencerminkan prestise pengantin pria. Tetapi, budaya Afrika, ada banyak contoh perempuan yang memegang peran penting dalam kepemimpinan. Praktik ini mirip dengan praktik belis di beberapa gugusan kepulauan di kawasan timur Indonesia.
Penting untuk diingat bahwa nilai dan makna belis sangat bervariasi dari satu budaya ke budaya lainnya, dan beberapa masyarakat mungkin telah mengubah atau menyesuaikan praktik ini dengan perkembangan sosial dan ekonomi modern. Dalam beberapa kasus, belis mungkin dilihat sebagai tidak relevan atau bahkan kontroversial, sementara dalam budaya lain, praktik ini masih sangat penting dan dianggap sebagai bagian integral dari pernikahan.
Di beberapa bagian India, terutama budaya Gujarati dan Rajasthani, belis berupa pemberian perhiasan berat kepada keluarga pengantin perempuan. Kalung emas, gelang, anting-anting, dan cincin berharga. Belis bukan hanya simbol komitmen, tetapi investasi finansial signifikan. Belis sapi di Afrika diterapkan di daerah rural, karena sapi adalah aset pertanian berharga sekaligus representasi hubungan erat antara manusia dan hewan dalam budaya tersebut.
Belis tradisional Toraja “tedong silaga” pertukaran kerbau dan banteng antara keluarga pengantin. Praktik ini melibatkan serangkaian ritual dan upacara yang rumit. Di Jepara, Jawa Tengah, belis karya seni seperti ukiran kayu. Ini mencerminkan keahlian lokal dalam seni ukir kayu dan menghormati tradisi kerajinan yang kaya di daerah tersebut. Di Mongolia lain lagi. Belis kuda atau unta. Mengapa? Hewan-hewan ini memiliki nilai praktis yang tinggi dalam budaya nomaden Mongolia yang digunakan untuk transportasi dan sumber makanan. Di Tibet, belis mantra, tas tangan, atau buku-buku keagamaan. Praktik ini mencerminkan aspek spiritual dalam pernikahan di sana.
Nasib belis dalam perceraian
Dalam kasus perceraian nasib belis bervariasi. Pertama, belis dikembalikan kepada pemberi belis. Biasanya pengembalian ini merupakan bagian dari perjanjian dan aturan adat dalam pernikahan. Dalam beberapa kasus, belis dapat menjadi bagian dari proses penyelesaian perceraian. Belis mungkin digunakan untuk menentukan kompensasi atau hak-hak yang diberikan kepada keluarga pengantin perempuan sebagai bagian dari kesepakatan perceraian. Atau dibagi rata antara pasangan. Di beberapa negara, belis dibagi antara pasangan yang bercerai sesuai hukum keluarga yang berlaku. Tujuannya memberikan perlindungan finansial kepada perempuan dan memastikan dia tidak kehilangan seluruh belis yang telah diberikan.
Di beberapa negara yang telah mengatur hak perempuan dalam hukum keluarga, belis tidak perlu dikembalikan atau mengatur pembagian harta bersamaan yang adil antara pasangan yang bercerai. Nasib belis dalam kasus perceraian ditentukan oleh adat istiadat setempat. Tetapi, beberapa budaya, belis dianggap sebagai milik keluarga pengantin perempuan yang tidak harus dikembalikan, sementara di budaya lain, belis harus dikembalikan sepenuhnya.
Praktik lain ialah belis diatur oleh undang-undang. Undang-undang melindungi hak perempuan dalam perceraian termasuk pembagian belis, secara adil. Karena itu, perubahan dan dinamika perubahan belis di masyarakat modern sangat bervariasi tergantung pada negara, budaya, dan faktor-faktor sosial serta ekonomi yang berlaku.
Di kalangan masyarakat urban yang lebih terpapar pada pemikiran modern, belis ditolak atau diredefinisi. Beberapa pasangan menggantinya dengan perayaan pernikahan yang lebih sederhana. Hal ini besar dipengaruhi perspektif gender. Di masyarakat yang lebih menganut kesetaraan gender, belis dianggap tidak perlu ada karena perspektif ekonomi lebih dominan. Bahkan ada kecenderungan pasangan nikah memilih untuk tidak perlu punya anak.
Praktik belis atau mas kawin, di budaya di Asia, Afrika, atau Oceania, tidak umum di Eropa. Di Eropa, pernikahan dan masalah terkait dengan pernikahan, termasuk hak-hak dan kewajiban pasangan menikah, diatur hukum pernikahan sipil dan hukum keluarga. Sebagian besar negara-negara di Eropa mengatur pernikahan dengan undang-undang pernikahan sipil yang secara tegas mengatur hak-hak dan kewajiban pasangan yang menikah, pembagian harta bersamaan, dan persyaratan pernikahan. Praktik belis tidak biasa. Komunikasi jujur dan terbuka antara pasangan yang akan menikah jauh lebih penting dibanding memikirkan belis. Jadi mereka cenderung merumuskan kesepakatan mutualistik dibanding pikir belis.
Belis hilang
Forum diskusi TAMPIL juga mencermati kemungkinan kultur belis ini bakal hilang. Beberapa penyebab penghilang meliputi modernisasi dan globalisasi. Budaya luar dan modernisasi menghempas tradisi pernikahan di berbagai budaya. Nilai-nilai yang lebih modern, seperti kesetaraan gender dan penekanan pada hubungan yang lebih romantis, dapat menggantikan tradisi belis yang lebih kuno. Tampak di dalam penggunaan gaun nikah atau penggunaan gaun tradisional yang dimodifikasi seturut imajinasi modern yang dikenakan para pengantin.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan akses lebih besar ke informasi, memungkinkan masyarakat lebih sadar tentang hak-hak perempuan dalam pernikahan. Perubahan pandangan terhadap tradisi belis barangkali dianggap tidak relevan. Pengaruh agama juga memainkan peran dalam perubahan tradisi pernikahan. Beberapa otoritas agama mempromosikan nilai-nilai yang lebih sejalan dengan ajaran agama, yang mengarah pada pengurangan atau penghilangan belis. Perubahan struktur sosial dan ekonomi masyarakat juga memengaruhi praktik pernikahan. Ketika masyarakat bergerak menuju urbanisasi dan industrialisasi, nilai-nilai dan praktik pernikahan tradisional berubah.
Jika pasangan sepakat tidak belis atau untuk menggantinya dengan pernikahan lebih sederhana, maka tradisi belis tidak lagi menjadi bagian relevan dari pernikahan mereka. Praktik seperti ini muncul di beberapa parantau Manggarai yang nikah dengan etnik lain di tempat mereka merantau. Pernikahan sederhana. Biayanya ditanggung bersama. Selesai. Tidak ada urusan dengan ayam dengan warna tertentu, yang digelar di meja perundingan adat atau di mana pun.
Kesimpulannya, belis dapat berubah atau diubah atau bahkan ditiadakan. Di dalam dirinya, kebudayaan mengubah dirinya sendiri seturut perubahan zaman. Hal itu terbukti dengan sendirinya secara empirik melalui sejarah belis di seluruh dunia. Dunia mengalami perubahan eksponensial dan revisi konstruktif. Bukan mustahil tradisi belis bakal lenyap.
(dp/atok)
Redaksi: Tulisan ini pernah diterbitkan di detakpasifik.com