Meski usianya kian beranjak paruh baya menuju senja, tetapi toh semangat pria ringkih berotak cemerlang itu, malah kian berpijar. Tiap kata yang dilontarkannya, bertuah. Tindakannya terukur. Cara dia bertutur pun lugas, tegas tanpa tedeng aling-aling. Bahasa Indonesia yang dipakainya amat sangat rapi.
Terkesan tidak ada sedikit pun dia berhasrat melindungi perasaan lawan bicara. Ucapannya pendek, tetapi terang dan, selalu langsung ke pokok soal. Agak aneh, ketika kalimat pertama yang diucapkannya di Weetebula, Sumba Barat Daya, tiga pekan silam, terkesan begitu tajam, kasar tetapi jujur. Bahkan mengejutkan. Padahal dia belum mengenal dekat wartawan detakpasifik.com.
“Gubernur Viktor Laiskodat itu ucapannya kasar, lugas, tajam dan kurang ajar,” ujarnya. Tetapi, Viktor Laiskodat itu jujur dan tulus, tambahnya.
“Dia mengajar dan mendorong rakyat agar terus bergerak. Saya suka itu. Dulu, saya paling tidak suka orang ini. Menurut gosip yang disebarkan para lawan politik tentang dirinya, dia orang kasar dan tak tahu jaga perasaan orang. Omong sesuka hatinya. Makanya saya tidak memilih dia waktu pemilihan gubernur. Tetapi, belakangan ini, setelah saya mengikuti pikirannya dan terutama tindakannya di lapangan di tengah masyarakat petani dan peternak, saya kemudian sangat menaruh hormat terhadap Pak Viktor. Saya mengakui dia. Saya berbangga. Dia pemimpin pembawa perubahan besar di Pulau Sumba. Terkhusus pembawa perubahan di Sumba Barat Daya,” katanya nyerocos beruntun tanpa seketul rasa sungkan.
detakpasifik.com menawarinya makan malam bersama di sebuah kedai, depan Hotel Sinar Tambolaka, Weetebula, ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, dua pekan silam. Tetapi, tawaran itu ditolaknya mentah-mentah.
“Tidak! Saya tidak lapar. Saya sudah makan. Anda mau perlu apa sama saya,” katanya tanpa senyum secuil pun, meski matanya tetap awas. detakpasifik.com memperoleh nomor kontaknya dari sopir yang mengantar saya mengikuti rombongan Gubernur NTT berkunjung ke padang jagung di Kecamatan Kodi dan Kecamatan Kodi Utara.
Matanya tampak bagai mata burung elang, tetapi tidak nanar. Bagian depan kepalanya mulai botak. Rambutnya pun mulai berkelabu. Tetapi, kata-kata yang diucapkannya terukur, lurus, jujur. Pembawaannya itulah yang membuat lawan bicara perlu atur diri baik-baik agar tak salah atur alur logika.
“Makanlah sedikit, temanin saya, sambil kita ngobrol,” ajak saya tidak berputus asa. Sekali lagi dijawabnya, pendek. “Tidak! Saya sudah makan. Jika saya dipaksa ya saya makan sayur saja, tetapi sedikit ya,” katanya tak sedikit pun berubah sikap.
Ketika saya memperkenalkan diri, saya Pius Rengka wartawan detakpasifik.com. Ditimpalinya dengan pendek, “Ya saya tahu. Anda tak hanya penulis di media massa, tetapi Anda stafnya gubernur,” ujarnya.
“Saya bukan pegawai pemerintah. Saya Staf Khusus Gubernur NTT,” kata saya. “Ya sama saja, hanya fungsi berbeda,” ujarnya. Saya tersenyum.
“Anda mau perlu apa undang saya ke sini?” tanyanya lagi terkesan mendesak. “Saya mau ngobrol saja dengan Anda tentang banyak hal terutama terkait penanaman jagung di Kabupaten Sumba Barat Daya, terkait program TJPS Gubernur NTT, dan mungkin sedikit tentang kebudayaan, dan kepemimpinan,” ujar saya.
Maaf, jika boleh tahu nama lengkap Anda, dan apa pekerjaan Anda, tanya saya.
“Saya Agustinus Wakurkaka, usia 52 tahun. Ayah 4 anak, satu perempuan tiga laki. Saya petani. Saya pengurus kelompok tani dan Pengurus KTNA Kabupaten yang membawahi 2.312 Kelompok Tani di seluruh Sumba Barat Daya.”
Berikut adalah petikan hasil wawancara:
Tanya (T): Bolehkah Anda menjelaskan sedikit tentang kegiatan-kegiatan Anda itu. Pangkatnya kok banyak sekali?
Jawab (J): Sebaiknya saya jelaskan dari awal ya, tetapi jangan dipotong-potong ya. Karena ceritera tentang pertanian dan masyarakat tani di Sumba Barat Daya (SBD) merupakan ceritera tentang pantulan profil sangat terang mengenai histori kemiskinan rakyat, kebijakan publik pemerintah yang tidak prorakyat miskin, dan kisah tentang kultur masyarakat petani dan peternak di SBD.
Secara umum, masyarakat Sumba Barat Daya adalah masyarakat petani ladang berpindah dan peternak. Saya sendiri, awalnya hanya seorang tukang reparasi alat-alat elektronik di rumah penduduk di seluruh Pulau Sumba. Tetapi, pesanan untuk pekerjaan jenis ini kan tidak pernah jelas dan tidak pasti. Lalu, saya kemudian bertani. Saya menanam jagung. Lahan garapan sangat kecil. Itu pun jika luput dari serangan ternak dan pencurian.
Perubahan pilihan kerja menjadi petani atau menjadi pekerja serabutan lain, selalu menjadi pilihan dilematis dan kadang sangat problematis. Tuntutan pemenuhan ekonomi rumah tangga tidak pernah berhenti, tidak pernah libur. Begitu pun tuntutan menyekolahkan anak. Lalu, saya merantau ke Bali dan Jawa tahun 2006.
Di Bali saya melihat para petani di daerah Tabanan, di Jawa saya lihat petani di Boyolali. Tujuannya, ya mencari dan menemukan pengalaman baru dan mungkin ada rezeki untuk memenuhi kebutuhan riil rumah tangga.
Ketika saya melihat petani Bali, dan Jawa, saya mulai berpikir mengapa para petani di Bali (Tabanan) dan Jawa (Boyolali) dapat mengelola lahan yang tidak luas, tetapi sanggup menghidupi urusan rumah tangga mereka? Maka, saya pun pulang Sumba tahun 2007. Pada tahun itu, sedikitnya ada 300-400 ha padang penggembalaan di daerah kami. Tetapi, ternak banyak hanya pakan kurang.
Di Desa Hamele Ate, Kecamatan Kodi Utara, misalnya, ada lahan keluarga. Saya mulai mengolah lahan pertanian, mulai dari 1 ha dengan sistem sewa pakai kurang lebih 5 tahun.
Masalahnya ialah banyak lahan di sini lahan suku. Ternak masyarakat berkeliaran bebas. Saya pun selalu khawatir karena selalu dihantui ancaman para pencuri. Anda tahu kan Kodi dikenal banyak membuat problem sosial. Kami orang Kodi dicitrakan sebagai pencuri ulung. Pencuri seolah-olah menjadi stereotype kami. Orang sebut kami orang bermasalah. Jahatlah, tukang curilah dan macam-macam cap buruk atas kami orang Kodi. Sedangkan orang Waijewa dikenal sebagai pedagang, rajin dan kaya.
T: Lalu apa solusi yang Anda lakukan?
J: Saya pinjam lahan orang hanya satu hektar sebagaimana tadi sudah saya katakan. Sistem sewa pakai untuk waktu 5 tahun. Saya kelola lahan kecil saja, 1 ha. Saya fokus tanam tanaman jenis hortikultura. Mulanya saya uji coba di sekitar rumah saja agar mudah dikontrol. Kemudian usaha ini berkembang. Hingga kini, saya telah sanggup mengelola 5 hektar hortikultura.
T: Anda butuh berapa tahun untuk mencapai 5 hektar itu?
J: Saya mulai berusaha sejak saya pulang dari Jawa dan Bali, tengah tahun 2007. Tetapi, saya mulai sangat giat berusaha ketika Viktor Laiskodat mencanangkan program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) tahun 2019.
Awalnya saya tidak percaya. Omong kosong apalagi ini. Saya pikir, ini Gubernur mau buat program apalagi. Tidak jelas. Tanam Jagung Panen Sapi. NTT kan pernah dicanangkan sebagai provinsi jagung. Tetapi hasilnya? (sambil mencibir dan membuka tangan pasrah). Tetapi lambat laun, saya melihat pemerintah sangat serius.
Pemerintah sangat serius urus jagung ketika saya melihat frekuensi kunjungan Gubernur Viktor ke lapisan rakyat di kampung dan desa sangat tinggi.
Gubernur Viktor memprovokasi rakyat dengan bahasa rakyat yang sangat sederhana, tetapi tajam. Dia bahkan seperti menekan pemerintah daerah kabupaten untuk terlibat menggalang kekuatan petani menanam jagung. Nah, saya pikir ini program sangat benar dan tepat. Jika ini provinsi adalah provinsi jagung, maka kabupaten juga harus menjadi kabupaten jagung.
Desa dan kampung pun begitu, harus menjadi desa jagung atau kampung jagung. Sejak itulah saya merasa saya telah beruntung menjadi petani di masa kepemimpinan Viktor Laiskodat. Saya melihat orang ini serius dan sungguh-sungguh konsisten memperbaiki nasib petani dan peternak. Nah, sejak itulah pula saya mulai mengorganisasi kelompok petani yang berminat sama menanam jagung.
T: Lalu apa yang Anda lakukan?
J: Saya mengorganisasi dan mensosialisasi sejumlah petani yang berminat menanam jagung. Akibatnya, banyak petani terorganisir dan mulai membuka lahan dan menanam jagung. Mereka menanam jagung di lahan mereka sendiri, dan membuka lahan baru dari padang penggembalaan ternak menjadi lahan pertanian. Saya masih ingat persis ucapan Gubernur Viktor yang mengatakan, kandangkan yang bergerak dan bebaskan yang tidak bergerak. Jadi, yang dikandangkan itu adalah ternak, bukan tanaman.
T: Berapa luas lahan yang kini dikelola rakyat?
J: Lahan potensial yang sudah digarap petani 35.000 ha. Sedangkan lahan potensial seluruh SBD 50.000 ha. Tetapi yang menjadi target intervensi pemerintah provinsi 15.000 ha. Yang sudah digarap 11.000 ha. Sisanya mungkin tahun 2022 akhir.
T: Menurut Anda mengapa masifikasi tanam jagung di SBD begitu cepat, padahal sebelumnya masyarakat di Kecamatan Kodi dan Kodi Utara dikenal malas, gemar mencuri dan masih banyak cap buruk lainnya?
J: Pertama, karena kami mengorganisasi diri ke dalam kelompok tani. Total jumlah kelompok tani yang saya koordinasikan 2.312 kelompok tani dengan luas lahan garapan bervariasi untuk tiap kelompok.
Kedua, masifikasi aksi kerja tanam jagung di Kecamatan Kodi dan Kecamatan Kodi Utara karena pemerintah berjanji bahwa hasil panenan jagung telah ada pasar yang jelas yang disebut offtaker.
Akibatnya, peningkatan tanam jagung terjadi tidak hanya di dua kecamatan di Kodi, tetapi juga di Kodi Bakeger, dan Kodi Baghedo. Total lahan garapan menjadi 35.000 ha tadi.
Ketiga, karena harga jagung perkilogram telah jelas dengan patokan Rp3.500/kg. Jadi, petani sangat bersemangat mendengar penjelasan pemerintah ini. Kata kuncinya, pasar jagung telah jelas dan harga pun sangat jelas.
Keempat, pemerintah setempat di kabupaten juga bersemangat melakukan tanam jagung panen sapi ini. Kami kebetulan mendapatkan Bupati dan Kepala Dinas Pertanian yang sangat baik. Seluruh perangkatnya mendukung.
Kelima, Bupati Sumba Barat Daya pun menggerakkan seluruh perangkat daerah dan petani untuk menanam jagung. Bupati sendiri, bahkan sekarang ikut membuka lahan dan menanam jagung.
Akibatnya, tidak hanya Bupati dan Ketua DPRD SBD yang terlibat menjadi petani, tetapi juga para pebisnis, kontraktor, orang China, polisi dan tentara pun ikut membuka lahan tanam jagung. Sehingga apa yang Anda lihat di lapangan ialah luasnya lahan jagung di dua kecamatan di Kodi ini. Anda tadi jalan sepanjang 10 km di belahan selatan, penuh jagung.
T: Anda sendiri sudah membuka lahan berapa luas dan apa hasil yang diperoleh dari program tanam jagung panen sapi (TJPS)?
J: Begini, di SBD sendiri terbagi atas TJPS Mandiri dan TJPS Kemitraan. Saya kira, sejak kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, Kabupaten Sumba Barat Daya telah bangkit dari tidur pulas yang sangat lama.
Sejak program TJPS ini dikumandangkan, telah terjadi mobilisasi sangat masif yang dilakukan pemerintah, yang diikuti dengan pembentukan kelompok pendamping TJPS kontrak provinsi. Artinya kelompok pendamping TJPS ini digaji oleh pemerintah provinsi. Maka akibatnya, luas lahan terus bertambah.
Kemudian digiatkan pembentukan kelompok tani dan Gapoktan dengan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) yang berjumlah 11 KTNA. Semua jenis pengelolaan lahan harus di atas lahan milik pribadi para petani.
Akibatnya, tanah menjadi sangat penting, dan harga tanah kini mulai menanjak. Saya sendiri mengelola lahan pertanian milik pribadi 17 ha area untuk jagung, dan 5 ha untuk hortikultura. Hasil yang saya peroleh berwujud pada satu mobil Fortuner nol kilometer yang saya beli. Artinya apa? Artinya, tanam jagung tidak sia-sia, karena membawa keuntungan berlipat ganda.
T: Jika demikian, Anda menjadi orang kaya baru ya?
J: Ah sekarang saya tidak mau mengatakan begitu. Tetapi saya hanya mau mengatakan, tanam jagung menjanjikan kemakmuran untuk petani, jika petani kerja fokus karena pasar dan harga telah jelas. Karena itu, setiap petani dapat menghitung sendiri akibatnya jika mereka rajin bekerja.
T: Dengan masifnya tanam jagung di SBD yang melibatkan semua pihak, apa yang Anda lihat dari perubahan itu?
J: Pertama, petani di SBD mulai kurang pergi merantau ke Provinsi NTB pada bulan Mei hingga Juli.
Kedua, petani mulai merasakan hasil kerja kerasnya sekurang-kurangnya mendapatkan uang Rp3.500.000/bulan.
Ketiga, jika toh panen jagung dianggap gagal karena tonase hasil perhektar turun atau karena ada permainan harga, katakanlah gagal 50-70 persen, saya kira petani tetap untung karena perolehan petani tetap berada di atas ambang batas Upah Minimum Regional Provinsi yang hanya Rp2.000.000/bulan. Artinya apa? Artinya menjadi petani jauh lebih baik dari menjadi PNS atau pegawai honorer heheeee heheeee. Jadi, saya beruntung menjadi petani di masa pemerintahan Viktor Laiskodat heheeee.
T: Tetapi kan data statistik masih menyebutkan SBD masih kabupaten miskin?
J: Ya SBD dimiskinkan oleh data statistik. Anda tahu bahwa ada delapan desa telah berubah di SBD yaitu Desa Manggariti, Desa Kori, Desa Limbukambe, Desa Hamekate, Desa Kelanarongo, Desa Moromanduyo, Desa Kendantana, dan Desa Tanjung Karoso. Jadi data statistik perlu dikoreksi.
T: Apa saran Anda untuk konteks pertanian secara keseluruhan?
J: Saya kira pola kemitraan itu sangat penting dan perlu. Pendidikan petani tetap dilanjutkan dan dikukuhkan sampai pada level petani mandiri. Dalam konteks jarak tanam jagung saja perlu dilatih.
Sekarang petani sudah tahu, jarak tanam 70×20 cm. Maka satu hektar sama dan sebangun dengan 142 baris karena satu baris sama dengan minimal 500 bulir jagung.
Jika demikian, 1 ha sama dengan 71.000 pohon jagung atau 71.000/5 tongkol jagung yang setara dengan 14.200 kg atau sama dengan 14 ton. Jika mendapatkan hasil 14.200 dikalikan dengan Rp3.500/kg, maka hasilnya menjadi Rp42 juta atau setara dengan Rp3.500.000/bulan. Asumsinya, panen tiga kali setahun ya.
T: Pendapat Anda tentang kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat? Jawab jujur ya.
J: Saya kira saya sungguh jujur sejak tadi. Menurut saya, Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat tidak sedang membuat program pembangunan TJPS, tetapi dia sedang melakukan misi kemanusiaan.
Dia adalah pemimpin yang mengubah nasib petani. Saya tahu masih ada orang politik yang tidak suka tokoh ini, tetapi percayalah bahwa orang yang berjuang demi kebaikan rakyat sudah tentu dibenci oleh lawan politik karena mereka khawatir mereka tidak punya alat kampanye untuk mengurangi pengaruhnya. Biarkan saja. Rakyatlah yang paling tahu siapa Viktor Laiskodat ini. Saya sendiri pun pernah tidak suka dengan dia kok. Tetapi sekarang saya berubah pikiran.
T: Apa tantangan atau hambatan yang kerap dihadapi petani?
J: Saya pikir, pemerintah jangan memberi bantuan ke petani, tetapi memberi pemberdayaan. Pemberdayaan yang dimaksudkan di sini yang terkait dengan teknik pertanian, dan pupuk yang datang tepat waktu dan tepat mutu.
Karena itu, pemerintah perlu tahu tahapan pengelolaan lahan 15-20 hari berupa persiapan lahan, pengeringan, dan pemberian pupuk. 30-40 hari pemerian pupuk tahap kedua, dan 50 hari pemupukan lagi. Hasilnya pasti maksimal. Bantuan mungkin yang diperlukan ialah alat mesin yang bermutu. Berupa mesin pengeringan dan panen jagung, sehingga waktu dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin.
*
Di akhir pertemuan dengan detakpasifik.com, Agustinus Wakurkaka berpesan jika sekali waktu kemudian hari ke Sumba Barat Daya, silakan kontak dan mampir di rumahnya. Dirinya siap mengantar detakpasifik.com pergi ke lokasi-lokasi padang jagung di Sumba Barat Daya. Padang sabana berubah rupa menjadi hamparan jagung.