Entah menang atau kalah, timnas Iran tak akan tepis kenyataan suramnya keadaan negeri. Semua berawal dari kematian pilu Mahsa-Jina Amini.
Oleh P. Kons Beo, SVD
Kemarin itu, di pertandingan perdananya di Qatar, timnas Iran sepertinya ‘mati kutu’. Tampak tak ada nyali bertarung. Bayangkan! ‘Hanya’ dengan 21 persen penguasaan bola sepanjang pertandingan. Sementara, tim Three Lions – Inggris sekian leluasa bergerak.
Walau terkesan santai, dan tak ada nafsu bikin gol, nyatanya di babak pertama saja Inggris sekian mudah cetak 4 gol lewat Belingham, Sterling dan dua gol dari Saka. Belum lagi ditambah gol dari Rashford dan Grealish di babak kedua.
Iran memang tak ingin kalah telak. Dua gol dari Taremi sudah cukup untuk buktikan Iran masih bisa cetak gol. Tetapi, adakah yang patut direnungkan kisah delapan gol di Stadion Internasional Khalifa itu?
Mari kita berandai sekadarnya. Andaikan kemenangan itu milik Iran, maka kisah luar biasa kemenangan itu milik siapa? Milik seluruh rakyat Iran? Dan juga jadi kado sukacita kemenangan perdana di Piala Dunia Qatar bagi rezim Iran? Tetapi, mari lepas saja pengandaian itu.
Entah menang atau kalah, timnas Iran tak akan tepis kenyataan suramnya keadaan negeri. Semua berawal dari kematian pilu Mahsa-Jina Amini.
Perempuan Kurdi, berusia 22 tahun itu, tertangkap dan tertuduh ‘tak sopan berhijab’. Sedikit rambut di kepalanya yang terlihat, sudah jadi alasan telak polisi moral untuk membelenggunya.
Dan di muaranya adalah kematian tak wajar yang mesti ia alami. Maka, kisah tragis Amini cepat jadi ‘sumbu pendek untuk kobaran api penuh protes.’ Membakar seantero negeri. Jalan-jalan bergelora oleh gelombang reaksi penuh amarah.
Rambut, hijab, hukum dan polisi moral ‘sudah keterlaluan’. Telah jadi orkestrasi maut untuk korbankan satu nyawa. Hilang sia-sia. Yang sungguh direndahkan nilainya. Hanya demi berkiblat pada hukum buatan manusia belaka.
Mungkinkah kekalahan timnas Iran versus Belanda itu adalah sebentuk compassionate pada Amini dan demi ratusan korban lainnya?
Sebab, layakkah mereka ‘berpesta di Piala Dunia’ ketika mayoritas sesama rakyatnya sendiri lagi berteriak demi kebebasan dari variasi tekanan rezim? Ketika hari demi hari yang belum berujung ini korban semakin bertambah?
Suara Ehsan Hajsafi, kapten timnas Iran sungguh menyentuh. Ia tetap punya hati dan dukung perjuangan di jalan-jalan kota. Dan ia pun berduka akan sekian banyak korban meninggal hingga ratusan itu.
Itu yang tertangkap dari Reuters. Kini, Hajsafi adalah spirit yang terbagi. Tak terfokus. Ia pasti tak konsen menuntun sepuluh rekannya di stadion. Mungkin pula untuk pertandingan-pertandingan berikutnya.
Bisa terjadi, Hajsafi dan kawan-kawan lebih terpanggil demi suara rintih penuh berontak. Jauh di negerinya, Iran. Mereka mungkin tak sedikit pun tergelora oleh suara sorak gempita seisi stadion. Ada suara para aktivis. Sepertinya mereka itu tak peduli lagi apa pun hasil pertandingan timnas Iran nantinya.
Mari, sejenak menatap para pemimpin negeri Iran.
Tetapi, adakah hati mulia seorang bapak pemimpin negeri sekelas Ayatollah Ali Khamenei andaikan ia bersuara? Bahwa sepantasnya timnas Iran tak usahlah ‘berpesta di Piala Dunia’ di dalam suasana kedukaan negeri yang tengah dialami. Artinya, “Jangan pergi pesta selagi negeri masih berduka dan kaos.”
Di hari-hari ini, rezim Iran tetap tanpa ampun menzalimi rakyatnya sendiri. Dan entah sampai kapan suara dan seruan penuh perlawanan itu akan berakhir?
Tetapi, di hari-hari ini, sebenarnya, penguasa Iran pun lagi membiarkan ‘kematian yang pasti bagi timnas sendiri.’ Haruskah Hajsafi dkk mesti ‘masuk gelanggang tanpa animo’ untuk ‘dimangsa tim-tim lain?’
Tetapi, tetap ada harapan bagi timnas Iran untuk bertarung penuh sengit di laga-laga selanjutnya. Anggap saja ‘tim-tim lawan nanti sebagai unit-unit polisi moral.’ Demi membantai ‘kepicikan hati dan segala ketaatan buta pada hukum.’ Dan di situ, terlihatlah temali antara spirit sepak bola dan politik.
Hanya di tanah air Indonesia, bahwa politik itu tampak tak mau pusing peduli dengan alam sepak bola. Lihat saja! Masih dalam duka mendalam akibat kisah sedih, suram dan seram di stadion Kanjuruhan – Malang, 1 Oktober 2022, di dua hari berikutnya saja, Anies Baswedan sudah dimaklumkan jadi bakal calon presiden junjungan Nasdem.
Bang Surya Paloh, mungkin lebih suka membaca kobaran api ambisi Anies Baswedan, ‘yang memang sudah tercium rasa presiden sejak masih sebagai 01 DKI Jakarta,’ ketimbang mesti berurusan rasa hati dengan mayoritas alam sedih dari Kanjuruhan.
Tapi kata teman saya di suatu percakapan, “Itu tak benar!” Di tanah air, sepak bola tetap ada hubungan dengan politik.
Setidaknya dengan sebentuk bangunan megah yang namanya ‘Jakarta International Stadium (JIS)’.
“Untuk sementara ini, memang JIS itu belum jadi jalan tol menuju prestasi. Sebab, ia masih terblok sementara oleh pencitraan,” begitu katanya.
Entahlah…
Verbo Dei Amorem Spiranti