Arah Pengaturan RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional

Willi Toisuta
Prof. Willi Toisuta. Cf/wta.

Mengubah mindset pemangku kebijakan pendidikan dan tenaga akademik juga tidak semudah membalik telapak tangan. Inovasi selalu lebih cepat dari legislasi sehingga ancaman ketertinggalan lembaga-lembaga pendidikan menjadi suatu tantangan yang kritikal.

Oleh Prof. Willi Toisuta

Tulisan ini memastikan urgensi dari penggabungan menjadi satu kesatuan tiga UU yaitu UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi dan UU tentang Dosen dan Guru. Sudah barang tentu kesadaran kolektif bangsa menjadi pertaruhan bahwa penggabungan tersebut adalah suatu kepentingan nasional dalam segala dimensi. Karena kesadaran itu, penggabungan UU tersebut adalah suatu keperluan nasional bukan justru keraguan terhadap urgensi tersebut.

Hal kedua yang sangat penting adalah bahwa UU yang akan dirumuskan dan diundangkan kemudian bukan hanya merupakan regulasi yang baru atau deregulasi dari legislasi yang ada. Penggabungan harus merupakan fondasi yang sangat powerful menjustifikasi pertanyaan tentang apakah yang bangsa ini mau dari penggabungan UU itu sendiri.

Dimensi praksis

Penggabungan tersebut harus selalu menjadi tujuan yang pasti dari sistem yang memiliki derajat urgensi yang tinggi dan bukan sekadar “kapstok” (gantungan baju) yang digantungkan  pada satu sistem  untuk menambah warna-warni komoditi politik kebijakan. Dengan penggabungan demikian maka amanah UUD 1945, tentang tanggung jawab negara menyelenggarakan satu sistem pendidikan, menjadi eksplisit.

Dengan demikian para pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan dapat merealisasikannya tanpa keraguan akan terjadinya tumpang-tindih dalam pengaturan Pendidikan Nasional. Ini berarti juga bahwa otoritas pedagogik dapat direvitalisasi untuk mengarahkan semua kebijakan pendidikan dari ideologi nasional (Pancasila) ke pendidikan sebagai praksis.

Di masa sebelumnya, praktik, inovasi dan kreativitas dalam pendidikan terlalu terkungkung oleh regulasi sehingga peningkatan kualitas lebih sering merupakan implikasi dari kebijakan bukan tujuannya. Sertifikasi guru misalnya, menambah pendapatan guru tetapi tidak mempengaruhi kualitas pembelajaran secara signifikan.

Di lain pihak mengubah IKIP menjadi universitas belum tentu telah memperbaharui motivasi yang mampu mengubah persepsi (frame of mind) masyarakat tentang profesi guru apalagi status sosial-finansialnya.  Belum nampak pengaruh dari imajinasi baru berbasis research untuk menggeser paradigma lama yang berorientasi pada penguasaan mata-pelajaran yang akan diajarkan di sekolah kepada pelaksanaan proses pembelajaran yang mampu mengaktualisasikan kapasitas belajar yang diperlukan generasi penerus bangsa dalam era baru yang berubah cepat dan disruptif.

Salah satu keperluan urgen yang perlu terealisasi dari penggabungan UU tentang Sisdiknas adalah ketegasan politik nasional untuk memposisikan jenjang persekolahan bukan lagi sebagai keping-keping yang berdiri sendiri. Termasuk memerdekakan secara riil-sistemik  penataan dan pengelolaan administrasi yang sekarang ini kaku dan otoriter, misalnya dalam hubungan antara direktorat kementerian, dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi dan sekolah.

Kebijakan penjenjangan yang regulation-driven harus digeser menjadi child-driven yang berpusat pada kebutuhan tumbuh-kembang anak didik. Dengan demikian penjenjangan sekolah dapat didasarkan pada continuum of learning difficulties dan bukan semata-mata penjenjangan berbasis usia sekolah yang kaku. Prinsip ini perlu dijadikan point of departure untuk merancang pengembangan sistem persekolahan dalam UU baru secara terintegrasi.

Kebijakan demikian amat penting karena walaupun upaya inovasi dan pembaharuan demi pembaharuan telah diupayakan dalam puluhan tahun sejak kemerdekaan bangsa dari penjajahan, tembok-tembok tradisional penjenjangan, kurikulum dan proses pembelajaran masih bertahan menghalang terjadinya excellence dan equity dalam sistem pendidikan kita. Demikian pula one-policy-fits all seperti yang masih dipraktikkan hingga kini tidak menyebabkan keutuhan dan kekuatan sistem dan penjaminan mutu pembelajaran. Yang terjadi bahkan diskrepansi antardaerah terutama dalam penyebaran yang tidak merata dalam sarana-prasarana pendidikan dan sumber daya berupa tenaga kependidikan bermutu.

Sistem desentralisasi ternyata belum mampu menghentikan erosi yang disebabkan oleh unaccountable power di pusat dan atau bersama daerah yang telah membudayakan korupsi, memperbesar jurang antara daerah maju dan terbelakang, rakyat kaya dan miskin. Semua ini tidak memperkokoh kesatuan dan kekuatan bangsa sebaliknya bahkan melemahkan kapasitas demokrasi bangsa untuk secara adil menumbuhkan dignity, daya saing, kemandirian dan kepribadian bangsa yang bermutu. Itulah sebabnya telah diingatkan di muka bahwa persoalan penggabungan UU jangan dibatasi oleh regulasi dan deregulasi saja oleh karena persoalan mendasar kita adalah “apakah yang bangsa ini inginkan dari sebuah UU Sidiknas”.

Dari studi mutakhir tentang tumbuh-kembang anak, kita mengetahui bahwa genes walaupun merupakan blue-print otak namun formasi otak sendiri amat dipengaruhi oleh lingkungan budaya keluarga dan habitatnya. Pengaruh tersebut membentuk pola pikir dan perilaku anak usia dini. Oleh karena itu pada waktu anak diterima untuk mulai bersekolah, pola berpikir dan bertindaknya (cognitive style dan skills), perasaan dan kesadaran sosialnya telah terbentuk.

Perspektif domestik (anak) ini apabila serasi (congruen) dengan tuntutan dan persyaratan pembelajaran yang diberlakukan oleh sekolah maka probabilitas keberhasilan belajar akan tinggi. Jikalau kenyataannya adalah sebaliknya probabilitas keberhasilannya akan rendah atau perkembangan belajar yang lambat di kelas.

Klik dan baca juga:  Frans Lebu Raya Telah Berangkat ke Sana

Anak-anak dalam kategori “lambat” membutuhkan layanan dari guru yang profesional seperti yang disebut di atas. Akumulasi problem, jikalau terjadi, akan menyebabkan flow of student, retensi dan drop out menjadi beban yang kompleks dan mahal bagi masyarakat dan bukan hanya sekolah.

Dalam “Arah Kompetensi Pendidikan Menuju Generasi 2045” BSNP mengkonfirmasi kembali pemberlakuan wajib belajar dan karenanya kesinambungan PAUD sampai dengan K12 tanpa memandang batas usia. Flow of students yang “smooth” tentu bisa terjadi jikalau penyumbat-penyumbat pada sistem seperti retensi, DO sudah teratasi sebelumnya. Lebih penting adalah kemampuan sekolah untuk mengadakan rekonstruksi terhadap perspektif domestik yang tidak kompatibel dengan budaya sekolah.

Walaupun kompleks, kebutuhan ini harus ada dalam sistem promosi otomatik di sekolah generasi 2045. Paradigma sekarang yang menentukan persiapan dan pengadaan tenaga guru harus berubah. Yang baru saja digambarkan termasuk antisipasi terhadap pendidikan generasi 2045, masih menyentuh sebagian kecil dimensi praksis yang kompleks dari arah pendidikan nasional masa depan. Interkonektivitas PAUD sampai ke perguruan tinggi amat kritikal.

Knowledge is power begitulah ciri masyarakat pengetahuan berbasis riset. Dalam konteks tersebut, Academic Power House di Barat dan USA pernah menyatakan bahwa scientific dan research culture yang merupakan ingridients utama pengembagan Research University tidak terdapat secara natural dalam budaya Asia, termasuk Indonesia. Sebenarnya enggan bertanya dan mengkritik terutama terhadap senior, atau berbeda pendapat dapat di-”budayakan” menjadi kemampuan baru. Ini berarti bahwa scientific dan research culture juga dapat dikembangkan jikalau rancangan pembelajaran mulai dari PAUD menggunakan pendekatan yang tepat.

Pengembangan berpikir kritis dan daya imajinasi dapat dimulai dari PAUD. Pendidikan tematik yang dipergunakan PAUD sekarang, dapat diaktualisasi guru menggunakan proses yang integratif. Eksposisi berbasis cerita (E) disusulkan langkah explorasi (E) terhadap informasi tersebut. Pengalaman bereksplorasi perlu diikuti dengan menugaskan anak membuat refleksi (R) tentang pengalaman mereka.

Pada tahap ini tersedia kesempatan untuk memberdayakan anak berimajinasi diikuti dengan ekspresi (E) emosi dan pengalamannya. Bentuk ekspresi dapat bermacam seperti bercerita, menggubah nyanyian, menari, melukis dsb. Keseluruhan proses ini dapat didemonstrasikan secara pribadi atau berkelompok sehingga belajar berkolaborasi dengan temannya dapat dikembangkan.

Model EERE tadi sebenarnya sudah merupakan suatu proses research-based learning yang dapat dimulai sejak PAUD. Dalam penjenjangan sekolah yang berkesinambungan model EERE merupakan cikal bakal dari Research-Based-Teaching and Learning (RBTL) yang sudah dikembangkan untuk mengintroduksi pembelajaran berbasis penelitian di sekolah dan terutama perguruan tinggi.

RBTL adalah pendekatan yang senapas dengan EERE memiliki 4 metode khusus, yaitu Telaah, Teliti, Tata dan Tutur. Telaah (memahami konsep berdasarkan studi kepustakaan) perlu diikuti dengan kegiatan membuktikan kebenaran telaah berbentuk penelitian laboratoris atau kerja lapangan. Sikuens kedua ini adalah Teliti untuk menemukan bukti tentang kebenaran Telaah. Konfirmasi berbasis evidence terhadap temuan Telaah perlu dipresentasikan dan diperdebatkan dalam suatu proses mengonstruksi pengetahuan bersama rekan mahasiswa lainnya. Ini sikuens ketiga yaitu Tata. Pengetahuan (baru) yang dikonstruksi mahasiswa perlu dikomunikasikan kepada publik. Ini merupakan kontribusi tetapi sekaligus membangun sikap yang bertanggung jawab terhadap sebuah karya sebagai suatu produk saintifik yang akan berdampak bagi kesejahteraan publik.

Sikuens terakhir ini disebut Tutur. RBTL dapat menjadi model untuk mengintegrasikan Tridarma Perguruan Tinggi yang dalam kebanyakan kasus masih diselenggarakan secara fragmented. Setiap topik perkuliahan adalah researchable oleh karena itu taking learning to tasks dan problem-based learning dapat dijadikan desain untuk mengintegrasikan pembelajaran dan research. Pengintegrasian tersebut tidak perlu menjadi masalah. Feedback dari kegiatan terintegrasi ini dengan sendirinya akan memperkaya pengetahuan yang dipelajari tetapi tidak kurang pentingnya adalah kemungkinan sumbangan kontekstual (berbasis bukti) pada teori yang diperbincangkan di kelas perkuliahan.

Di samping itu aplikasi teori pada praktik dapat diselenggarakan bersama Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM). Hanya saja kegiatan tersebut jangan dilaksanakan sebagai tindakan karitatif melainkan pemberdayaan kapasitas masyarakat untuk menopang dalam kegiatan produktif yang sedang dilaksanakan masyarakat. Bersama LPM, fakultas dapat menggunakan model service learning.

Pengalaman dan persoalan yang ditemukan dalam kegiatan ini dapat menjadi masukan bagi pengembangan research terapan di satu pihak, dalam hal tertentu research murni bagi pengembangan masyarakat ilmiah dan pengembangan ilmunya (knowledge enhancement). UKSW berhasil dalam mengaplikasikan model ini dengan pendekatannya yang pada masanya dikenal sebagai segi-tiga akademik UKSW. Lulusan UKSW dari masa itu mampu menampilkan kekuatan pendekatan tersebut.

Mereka tidak hanya memiliki landasan akademik dan analytical skillsnya yang menopang keberhasilan dalam pendidikan post-graduate di dalam dan luar negeri. Banyak yang menampilkan mutu teknokrat yang memotori mesin pembangunan di daerah tetapi juga pemimpin-pemimpin dalam bidang pemerintahan, politik, sosial, ekonomi dan entreprenurial dalam dunia usaha dan idustri.

Pilar-pilar pembangunan dari guru sampai menteri dalam kabinet pemerintah yang menjadi engine of growth dari negara Timor Leste saat mengembangkan dan melestarikan kemerdekaannya turut ditentukan oleh Satya Wacana pool of graduates. Yang ingin dikemukakan dalam hubungan tersebut tadi adalah desain pendidikan untuk mengembangkan: quality, human dignity, kemandirian dan ber- kepribadian. Ini bisa! Dengan demikian UU Sisdiknas harus secara sengaja mengarahkan pengaturan proses pembelajaran untuk mengaktualisasi kualitas yang merupakan amanah UUD negara kita.

Klik dan baca juga:  Prof Willi Toisuta: “Tidak Boleh Ada Anak yang Tidak Bersekolah di NTT”

Seirama dengan EERE pada PAUD proses pembelajaran berbasis penelitian (RBTL) dengan metode 4T-nya memiliki karakteristik yang unggul untuk mengaktualisasi konsen di atas:

  • Bukan hanya konten dan informasi yang dikejar tetapi terutama pendalaman dan pemahaman akan konsep melalui proses eksplorasi dan penelitian untuk siswa dan mahasiswa menemukan bukti tentang kebenarannya. Tentu siswa dan mahasiswa harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan cerita untuk dihayati (PAUD) dan library skills untuk menelusuri daftar literatur maupun keterampilan mengeksplorasi data secara digital (perguruan tinggi).
  • Menemukan evidence, penting di satu pihak tetapi mengelola dan menginterpretasi data secara benar, jujur dan bertanggung jawab dalam penggunaannya menyangkut secara terintegrasi pembelajaran nilai dan pembentukan kepribadian. Terutama dalam menggunakan referensi dari narasumber eksternal diperlukan kejujuran tentang HAKI misalnya.
  • Bercerita atau mempresentasikan pendapat dalam diskusi dan perdebatan tidak hanya membutuhkan kualitas yang diperbincangkan tetapi sikap saling menghargai kesamaan dan perbedaan yang pada akhirnya memerlukan kerendahan dan kebesaran hati untuk menerima kekurangan sendiri atau memperbaiki dan menyempurnakan konsep berpikir semula. Keterampilan inter-personal communication akan turut menentukan keberhasilan mengonstruksi temuan tertentu.
  • Mengekspresikan dan mengomunikasikan perasaan, pendapat, temuan atau produk yang telah dihasilkan membutuhkan daya imajinasi berhubungan dengan personal dan social benefit dari produk yang ingin dikontribusikan kepada masyarakat. Dengan demikian pertimbangan etikal tentang baik-buruk sudah merupakan agenda tersendiri yang implisit dalam proses pengambilan keputusan.

Dimensi praksis pendidikan dan urgennya dalam penggabungan UU terletak pada interkonektivitas penjenjangan sekolah karena pentingnya previously learned behavior yang berkesinambungan. Dalam hubungan itu mempertimbangkan continuum of learning difficulties dalam kurikulum turut menentukan keberhasilan pendidikan pada jenjang berikutnya. Dimensi ini tidak boleh terlewatkan lagi dalam Sisdiknas karena secara eksplisit menentukan kualitas yang sambung-menyambung dalam sistem persekolahan untuk pengembangan daya-capai dan daya-saing sumber-daya-insani untuk mengisi masa depan Indonesia.

Dimensi praksis yang diuraikan di atas, walaupun tidak mewakili esensi pedagogik secara lengkap dan sempurna adalah contoh dari yang dikemukakan sebelumnya yaitu apa yang masyarakat inginkan dari  UU Sisdiknas – bukan sekadar pengadaan regulasi atau deregulasi.

Dimensi idiologis – konstitusional

Arahan konstitusi nasional bagi UU Sisdiknas adalah tersedianya kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi semua anak Indonesia. Ini bukan saja persoalan equality of educational opportunity tetapi juga efisiensi tata-kelola sistem yang menjamin capaian hasil berkualitas tanpa diskriminasi. Untuk itu harus tersedia layanan profesional, sumber daya pendidikan berkualitas maupun sarana-prasarana yang tepat dan sama bagi seluruh nusantara. Komitmen idiologis ini adalah bagian integral dari tugas konstitusi oleh sebab itu harus direspons berupa tindakan (kebijakan) yang eksplisit oleh para pemangku kebijakan dan pengambil keputusan dalam merumuskan UU Sisdiknas.

Selanjutnya, mencerdaskan kehidupan bangsa bermakna lebih luas dan prinsipil dari akses berupa daya tampung sekolah. Kecerdasan adalah potensi intrinsik yang melekat pada setiap anak manusia ciptaan Tuhan. Investasi Ilahi tersebut tidak bercela (berpotensi optimal) dan karena itu perlu direvitalisasi secara sengaja dan bertanggung jawab.

Kita membutuhkan suatu sistem pendidikan yang terfokus pada proses aktualisasi potensi kecerdasan yang secara intrinsik terdapat pada setiap anak bangsa. Ini berarti investasi dini dalam pendidikan amat diperlukan agar kapasitas intelektual, solidaritas sosial, kearifan hati nurani dan kesadaran spiritual yang semuanya melekat pada kecerdasan anak bangsa dapat ditumbuh-kembangkan.

Keempat potensi intrinsik tersebut adalah inner forces yang menentukan desires dan choices sehingga manusia memiliki kebebasan nurani (suara hati) yang tidak dapat diditeksi atau didikte oleh kekuatan eksternal mana pun. Point of arrival dari pendekatan pendidikan nasional yang begini adalah terbentuknya manusia Indonesia yang dewasa secara susila: mandiri dan berkepribadian.

Proses yang kompleks ini perlu diaktualisasikan menggunakan pendekatan pendidikan yang bertanggung jawab berbasis pengetahuan. Ki Hadjar Dewantara mengemukakan prinsipnya yang non-intrusif, ing ngarsa sung tuladha – ing madya mangun karsa – tut wuri handyani. Realisasi prinsip pendidikan KHD bukan berbasis pada suatu sistem instruksional satu arah tetapi suatu bantuan berupa upaya kolaboratif guru dan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan memampukan anak membuat keputusan berdasarkan kata hatinya dan bertindak sesuai dengan keputusan kata hati tersebut. Model ini mendorong pengembangan motivasi dan bukan sekadar meregulasi praktik dari sistem yang diberlakukan.

Dalam tradisi, motivasi, kolaborasi, imajinasi, berpikir kritis sampai pada nilai-nilai moral dan spiritual memang diutamakan tetapi lebih merupakan by product dari proses pembelajaran konvensional. Pendekatan non-intrusif model KHD memerlukan kemampuan untuk mengintegrasikan nilai dalam pengajaran bukan pengajaran tentang nilai.

Klik dan baca juga:  Manajemen Pembelajaran yang Sesuai dengan Karakteristik Peserta Didik

Proses non-intrusif harus dirancang dengan teliti dan diimplementasi dengan sengaja, sistematik, mempengaruhi perilaku (demonstrable) dan komprehensif. Karena kompleksnya proses ini dan sukar diukur keberhasilannya maka guru lebih terbiasa memilih mengajarkan content-knowledge dan berharap nilai-nilai tersebut akan tercakup dengan sendirinya. Pendidikan dan pengembangan pendidikan guru yang diatur dalam UU harus menggeser sikap amatiran seperti itu.

Dalam arah pengembangan masa depan akses terhadap pendidikan harus dilepas dari miss-conception tentang akses at the beginning saja. Dengan meredistribusi fungsi-fungsi sekolah, lembaga atau komunitas profesional dalam masyarakat dapat turut melaksanakan sebagian fungsi sekolah dan memberikan sertifikasi jikalau mungkin.

Komunitas seni, olahraga, keterampilan teknikal dan layanan jasa, industri dan dunia usaha terutama yang bersertifikasi akan merupakan mitra sekolah dalam mengelola pembelajaran dan melatih keterampilan (kompetensi). Ini juga memungkinkan diberlakukannya sistem multi-entry-multi-exit sehingga memungkinkan masyarakat memperoleh dan memanfaatkan pendidikan “kapan-saja” disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.

Dalam konteks yang baru seperti itu, basis rekrutmen untuk memperoleh pendidikan diperbesar dan kerugian nasional karena drop-out, tinggal kelas dan tipisnya capaian pendidikan akan dapat berkurang. Banyak dibicarakan sekarang tentang peranan industri dan dunia usaha bekerja sama dengan sekolah dan perguran tinggi. Dengan kemajuan dan transformasi dunia kerja berbasis komputer dan digitalisasi, proses dan manajemen produksi, standar kinerja dunia kerja terus berubah. Dalam masa lalu (1970an) perguruan tinggi di Indonesia sangat “kencang” memperuncingkan konsep link and match.

Pada masa yang sama telah bermunculan Corporate Universities yang sekarang, secara global, merupakan trend the new normal. Walaupun perguruan tinggi mampu didorong untuk menjadi lebih market oriented, dunia kerja industrial menginginkan bahwa isu relevansi pendidikan terhadap industri harus diubah menjadi kompatibilitas pendidikan dan pelatihan dengan standar kompetensi mutakhir angkatan kerja.

Itulah sebabnya bukan saja relevansi tetapi performativitas menjadi sangat penting karena yang diukur adalah seberapa efektif dan efisien kinerja seorang lulusan dalam mengeksekusi tugasnya di dunia kerja yang terus berubah dan padat dengan inovasi teknologi.

Revolusi industri 4.0 yang sudah mulai memasuki 5.0 telah menyebabkan perguruan tinggi berada dalam critical tension yang membutuhkan solusi yang arif. Market demands berwajah jamak.

Di satu pihak, telah mencuatkan kesadaran mahasiswa akan value for money. Ini berarti aspirasi yang menguat pada mahasiswa dan orang tua agar ROI (return on investment) yaitu performativitas lulusan terjamin  dan bukan menjadi penganggur tingkat tinggi. Daya penetrasi market ideology terhadap proses dan produk pendidikan amat kasat-mata.

Kurikulum yang berorientasi pada ekspektasi mahasiswa memerlukan kebijakan fakultas untuk mempersempit gap antara ilmu dan praktik atau antara gelar akademik dan kompetensi profesi. Orientasi semacam itu harus disertai berbagai tindakan akademik tidak hanya dalam proses pembelajaran dan metodologi serta teknologi penopangnya tetapi juga pemodelan baru bagi penyediaan sarana dan prasarana. Yang lebih menjadi urgen adalah kewajiban yang susah diprediksi untuk menghasilkan lulusan “hari esok” yang akan melaksanakan pekerjaan yang belum eksis saat ini.

Kurikulum yang one-size-fits-all tidak akan berguna. Agar berhasil lembaga pendidkian terutama universitas perlu mengadakan re-imagining dan re-design program pendidikannya termasuk SDM yang mengampu program studi. Pengalaman kolaborasi dengan dunia usaha dan industri untuk merancang proses pembelajaran berbasis produk menyebabkan peranan praktisi dan profesor menjadi seimbang.

Mengubah mindset pemangku kebijakan pendidikan dan tenaga akademik juga tidak semudah membalik telapak tangan. Inovasi selalu lebih cepat dari legislasi sehingga ancaman ketertinggalan lembaga-lembaga pendidikan menjadi suatu tantangan yang kritikal.

UU Sisdiknas harus sensitif mengutamakan kebenaran bahwa tugas pendidikan bukan sekadar menghasilkan robot pembangunan. Pendidikan dan terutama pendidikan tinggi, di pihak yang lain, memiliki perspektif yang berdasarkan narasi-narasi besar sehingga tidak akan mereduksi human capital formation menjadi performativitas saja.

Inteligensi manusia tidak ada batasnya seperti yang ditampilkan, antara lain, melalui produktivitas research yang terus meningkatkan peranan teknologi. Ada yang menyejahterakan tetapi juga disruptif terhadap manusia, sistem bermasyarakat, dan lingkungan hidup. Semakin meningkat kapasitas teknologi menginterpenetrasi perubahan semakin bertumbuh the power of technology.

Digital dictatorship yang sudah nampak mewujud dapat menyebabkan erosi dalam ikatan-ikatan tardisional bermasyarakat termasuk kapasitas institusi demokratik yang seharusnya merupakan benteng dari kebebasan manusia dan dignitynya.   

Beberapa dimensi tadi turut mengingatkan kita bahwa yang diperlukan dari UU Sisdiknas adalah bagaimana memelihara ekuilibrium antara pendidikan sebagai idiologi dan nilai-nilai yang diutamakan menciptakan kehidupan yang adil dan beradab di satu pihak, dan di pihak yang lain, pendidikan sebagai institusi yang mengembangkan baik ilmu dan terutama teknologi yang humancentric.