NTT  

Bank NTT, Alex Riwu Kaho dan Keberpihakan Terhadap Kaum Papa

Direktur Utama Bank NTT Harry Alexander Riwu Kaho. Foto/Bank NTT.

Dirut Bank NTT adalah seorang tokoh yang tampil bersahaja, tenang meyakinkan, menyebar senyum di kulum. Dia diam saja. Tubuhnya seperti dihajar remuk berdarah. Tetapi dia diam sambil merancang jalan pas.

Catatan Pius Rengka

Dua bulan penuh awal tahun 2023. Hujan badai kritik terhadap Bank NTT dan seluruh kinerjanya membuncah di langit provinsi kepulauan ini. Bahkan, tidak berhenti di situ.

Bagai mengiringi badai hujan sungguhan di NTT, banyak wilayah tergenang banjir, jalan patah retak, tanaman petani tenggelam, rintihan kaum derita berkepanjangan. Begitulah pula nasib Bank NTT pada waktu itu. Tak putus ditimpa hujan kritik.

Bank kebanggaan masyarakat Nusa Tenggara Timur itu, terkesan seperti dibalut selimut duka. Tetapi, sungguh mati, tidak ada seketul ampun dari para penghujat, utamanya para pembenci. Mereka menyiram lumpur kedengkian ke panggung publik seperti mereka membuang air comberan di ruang tamu istana. Bank NTT sasaran utama.

Aneka rupa hujatan, kemudian mudah berubah arah. Hujatan tak lagi mengarah dan menyentuh hanya terkait kinerja Bank NTT sebagai institusi keuangan, malah hujatan melebar menyebar dan disebarkan di mana-mana dan ke mana-mana ke urusan privat pribadi Direktur Bank NTT. Harry Alexander Riwu Kaho. Dirut Bank NTT, dihujat di panggung publiknya sendiri.

Gebyar gelora akun palsu, tak kalah galak. Akun palsu dan yang dipalsukan pun ikut nimbrung bertempik sorak, menari ronggeng membakar opini massa.

Akun palsu, seperti suka ria menari-nari sembari menabur hasutan dan hinaan seenak suka menyalurkan naluri keturunan kera ganas. Sepertinya, mereka tumbuh mekar di puncak kedengkian hiperbolik antikemanusiaan. Hujatan pun disebar. Aneka rupa olokan disalurkan, disebarluaskan seolah-olah mereka memanggil paksa pembaca agar segera ikut merendahkan positioning Bank NTT. Publik pembaca menduga bank ini rapuh sekali.

Lalu, para orang waras, sehat jiwa, mulai bertanya skeptis meragukan, di manakah gerangan hati nurani makhluk-makhluk ini? Di manakah humanisme ketimuran itu bekerja di isi kepala para penghujat itu. Nihil dan hampa total.

Semua hujatan, dengki dan benci seolah-olah menyatu padu mencapai puncak kulminasi yang melampaui batas-batas humanisme kritis kemanusiaan dan nihil persaudaraan.

Ada benar kata filsuf politik Jerman pada era Adolf Hitler, Carl Schmitt. Dia mengatakan distunguo ergo sum = saya bermusuh maka saya ada = saya membenci maka saya eksis. Siapa yang membenci musuh saya, dia sahabat saya. Siapa yang memusuhi musuh saya dia sekutu saya. Siapa berteman dengan musuh saya, dia musuh saya.

Pilihan redaksi:

Carl Schmitt merancang filsafat politiknya berangkat dari konteks keadaan sosial politik Adolf Hitler yang, dari gen dan DNA politiknya terbangun membenci kaum Yahudi bahkan total sangat membenci.

Maniak holocaust itu seolah-olah menular menginspirasi tampil meyakinkan di kepala para pembenci yang, demi terhormatnya disebut “kritikus” kasus Bank NTT dan penghujat pribadi Harry Alexander Riwu Kaho, sang Direktur Utama Bank NTT.

Dirut Bank NTT adalah seorang tokoh yang tampil bersahaja, tenang meyakinkan, menyebar senyum di kulum. Dia diam saja. Tubuhnya seperti dihajar remuk berdarah. Tetapi dia diam sambil merancang jalan pas.

Di puncak kabut badai hujatan dan kritikan itu, kabar elok pun membuncah menyembul bercahaya terang ketika resolusi konflik yang diambil sungguh tak terduga. Sekurang-kurangnya saya, sungguh tak pernah menduga jalan resolusi yang ditempuh manajemen Bank NTT.

Saham Seri B dibeli tuntas. Serta-merta setelahnya badai pun melandai.  Kini gosip seputar Bank NTT berujung senyap. Apalagi, ketika Dirut Bank NTT, Harry Alexander Riwu Kaho, tandas berkata: “Jalan hukum bagi mereka yang merasa terluka dan dirugikan oleh tindakan manajerial yang diambilnya, silakan jalan terus. Itulah jalan yang terbaik dipilih oleh beberapa sahabat mantan staf inti Bank NTT”.

Klik dan baca juga:  Cegah Stunting, Dosen STIKes Maranatha Kupang Gelar Pelatihan Bersama Kader dan Penggerak PKK

Jalan hukum jalan terus. Tentu saja bermaksud meluruskan garis tegas siapa loose siapa win. Melalui jalur hukum, selalu berujung kalah menang. Win loose. Itulah salah satu model resolusi konflik paling jelas dalam konteks teori resolusi konflik.

Baca juga:

Meski, dalam medan spektrum resolusi konflik dikenal banyak cara mengatasi konflik. Tetapi, para sahabat yang merasa dirugikan oleh keputusan manajerial Bank NTT, rupanya merasa lebih pas memilih jalan perang di arena hukum karena terasa lebih nikmat dan terbuka kepada umum.

Saya pernah membayangkan, tarung terbuka di media publik, apalagi dicampuradukan dengan sempalan bramacorah akun palsu, mesti tidak diperlukan bahkan tidak penting. Negosiasi internal patut dipertimbangkan agar jalan resolusi damai lempang dan berdaya guna. Tetapi tidak.

Dirut Harry Alexander Riwu Kaho pun seperti seorang pecatur. Dia melangkahkan bidak catur (semacam kuda) dengan sekali serangan kena dua sasaran sekaligus. Saham Seri B Bank NTT dibeli putus sambil melanjutkan proses hukum, dan semua akun palsu, media online dengan jurnalis dadakan, dilaporkan ke aparat penegak hukum. Kita menunggu apa hasilnya.

Beberapa sumber yang ditemui, mengacung dua jempol terhadap langkah Dirut Bank NTT ini. Mengapa? Karena, ternyata umumnya mereka pun telah menjadi “korban” serangan akun palsu dengan informasi palsu yang diduga dikelola para pengidap skizofrenia politik.

Skizofrenia adalah sejenis gangguan mental berat yang dapat memengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi seseorang, sehingga pengidap sakit mental ini tampak fisik sehat, tetapi kejiwaan mengalami gangguan berat.

Gangguan berat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku baik. Penyebab pasti skizofrenia tidak diketahui, tetapi kombinasi genetika, lingkungan, serta struktur dan senyawa kimia pada otak yang berubah mungkin berperan atas terjadinya gangguan.

Skizofrenia ditandai dengan pemikiran atau pengalaman yang nampak tidak berhubungan dengan kenyataan, ucapan atau perilaku yang tidak teratur, dan penurunan partisipasi dalam aktivitas sehari-hari. Kesulitan dalam berkonsentrasi dan mengingat. Penanganan biasanya seumur hidup dan sering melibatkan kombinasi obat psikoterapis, dan layanan perawatan khusus terkoordinasi.

Penikmat berita

Sebagai penikmat atau penyuka berita, saya aktif membaca pertarungan kepentingan, menyaksikan dan mencermati warta aneka macam di media online dan di rupa-rupa media sosial.

Saya gemar mencermati komposisi berita. Suka menafsir imajinasi di balik diksi-diksi yang dipakai jurnalis dalam mengungkap fakta. Karena, sejatinya, saya selalu ingin belajar dari para jurnalis, siapa tahu ada karya jurnalis yang sanggup menambah pengetahuan teknis saya dalam urusan menulis. Pada konteks ini, saya teringat dua tokoh pemikir jurnalisme.

Pertama, Willard Wirtz. William Willard Wirtz, seorang pengacara, profesor hukum. Dia menjabat Sekretaris Tenaga Kerja antara tahun 1962 dan 1969 di bawah pemerintahan Presiden John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson.

Dia mengatakan, sebagian besar dari apa yang dibaca dan dilihat dan didengar publik mengenai perilaku urusan publik merupakan versi dari fakta dan kebenaran yang telah diberi warna sangat artifisial serta telah sangat diencerkan, sehingga ibaratnya semua itu diizinkan untuk dijual di pasaran bebas. Semua ucapan dikutip. Kadang dan bahkan amat kerap terlepas dari konteksnya. Kalau begitu semua yang tampak adalah hasil dubbing.

Kedua, Edward R. Murrow. Edward Murrow, jurnalis peliput perang. Dia terkenal karena selama Perang Dunia II dia melaporkan serangkaian fakta melalui siaran radio langsung dari Eropa.

Menurut Murrow, dalam urusan pemberitaan atau penulisan fakta, misi mencerahkan publik itu tidak boleh mudah dilupakan. Kata Murrow, agar tulisan atau laporan jurnalis meyakinkan pembaca atau pendengar berita, pertama-tama jurnalis itu sendiri harus dapat dipercaya. Agar jurnalis dapat dipercaya, jurnalis harus dapat diandalkan, agar diandalkan, jurnalis harus jujur.

Klik dan baca juga:  Inspektorat Daerah Provinsi NTT Selalu Berinovasi

Baca juga:

Dengan kata lain, modal utama jurnalis itu bukan pertama-tama dan utama adalah keterampilan menulis atau mengabarkan fakta atau peristiwa, melainkan  keutamaan moral dari semua tindakan jurnalis adalah JUJUR. Dalam versi lain dikatakan, manusia itu diberi dua alat yang sangat mahal dan langka yang tidak dimiliki makhluk lain yaitu, akal sehat (budi) dan kehendak bebas.

Dua alat ini dipakai manusia untuk mengerjakan segala hal yang bertanggung jawab dan bermartabat. Artinya kehendak bebas dan akal budi dipakai untuk memuliakan martabat manusia karena dengan memuliakan martabat manusia, maka manusia itu memuliakan penciptanya.

Setelah jujur, jurnalis wajib memiliki hasrat ingin tahu yang sangat kuat, sama seperti seorang peneliti kawakan. Jurnalis adalah periset atau juru riset. Jurnalis adalah pembaca kritis nan unggul. Lalu, jurnalis itu penulis tepat. Tepat diksi, tepat frasa, tepat narasi, tepat logika, tepat data, tepat fakta dan tepat koherensi.

Pada akhirnya, katakanlah, andaikan semua liputan telah tepat jurnalisme, tetapi harus ada lagi satu pertimbangan final yaitu pertimbangan meta etis.

Pertimbangan meta etis artinya, semua fakta benar, tetapi semua fakta yang benar itu perlu direnungkan kembali atau diuji kembali agar mempertimbangkan apakah perlu dan patut kebenaran jurnalisme itu dipublikasikan? Pertimbangan meta etis memang diakui belum banyak dipunyai jurnalis, terutama para jurnalis kelas dadakan di negara dunia ketiga di mana pun di dunia ini.

Dari kasus peliputan Bank NTT itu, saya menangkap sedikitnya ada tiga kelompok perspektif media yang meramaikan pemberitaan Bank NTT dan khususnya pemberitaan pribadi Direktur Utama Alex Riwu Kaho.

Pertama, media (jurnalis) berperspektif kritis humanis (bandingkan: Critical Theory, J. Bohman, 2005). Tabiat tulisan dan laporan mereka berimbang (balance).

Keberimbangan tampak dari cara mereka menulis lead berita dan teknik penjudulan berita. Variasi ikutannya, tampak melalui cover both sides atau cover multisided bahkan tindakan check and recheck kebenaran.  Sehingga tulisan yang disiarkan enak dibaca, penting, perlu dan berguna. Jumlah jurnalis kelas ini dari media online yang saya baca dalam konteks kasus Bank NTT, jumlahnya tidak banyak.

Kedua, media berperspektif zombi (bandingkan: Hendry A. Giroux, 2011). Media jenis ini kerap mewartakan diksi kebencian mendominasi fakta yang tampak melalui diksi kata sifat yang overloaded. Zombieisme tampak melalui judul, lead dan tubuh berita. Cover both sides apalagi multisided nihil. Yang ditawarkan ada keseraman kejadian. Jika toh ada cover both sides, maka subjek yang dibenci diletakkan di ekor berita hanya untuk menawarkan syarat bahwa ada liputan berimbang.

Padahal liputan berimbang sejatinya tidak hanya berimbang pada proses peliputannya, melainkan berimbang pada produk dan bahkan letaknya serta volumenya.

Hal ini tampak di judul berita, dan lead berita yang ditulis. Tampaknya ada kecenderungan tulisan sekadar serial kata-kata dan penggalan kalimat yang merepresentasikan dan mewakili imajinasi pribadi yang dituntun naluri dengki penulisnya atau pemesan tulisan seturut besaran ongkosnya.

Ketiga, media atau karya jurnalistik yang berpihak pada pemberi rezeki.  Entah rezeki politik, rezeki sosial ekonomi atau sejenisnya yang dibimbing oleh kepentingan orientasi manusia paling sederhana dalam perspektif Maslow.

Media atau karya jurnalistik serupa ini, tidak melulu keliru pada teksnya, tetapi split pada kontennya. Dari potongan manusianya juga akan tampak. Dengan segala maaf, saya pun mungkin keliru, saya selalu mencurigai isi kepala jurnalis bertubuh gemuk.

Saya selalu berpikir jurnalis gemuk biasanya tidak lincah, ngantukan, dan gemuk tubuh adalah teras depan dari kelakuannya pencarian fakta, tetapi mungkin mahir di pencarian rezeki harian.

Nah, jurnalis jenis ini “berbahaya” justru karena isi jurnalisme ditentukan oleh pemberi rezeki, bukan ditentukan oleh medan kebenaran faktual. Jurnalis dan karya jurnalismenya dapat dinilai sebagai crime bukan karena motif awalnya melainkan karena kebutuhan tubuhnya yang melampaui kapasitas isi kepalanya. Sehingga bukan roh menguasai daging melainkan daging menguasai roh. Secara teoretik produk jurnalisme jenis ini dalam ilmu kriminologi, dapat dibandingkan dengan tulisan Larry J. Siegel, 2015.

Klik dan baca juga:  Ekonomi Umat Dibahas Tiga Pimpinan Lembaga Keuangan dengan Uskup Atambua

Keberpihakan

Siapa Harry Alexander Riwu Kaho? Ke manakah keberpihakannya selama dia mengelola Bank NTT? Dua pertanyaan ini tidak amat sulit dijawab.

Harry Alexander Riwu Kaho, menjabat Direktur Utama sejak 22 Oktober 2020 dan Plt. Direktur Pemasaran Kredit. Sebelumnya, Alex, demikian dia biasa disapa kalangan dekat, menjabat Direktur Pemasaran Dana sejak 25 Mei 2018.

Alex meniti karier sejak Oktober 1994. Dia pernah menduduki jabatan penting di Bank NTT yakni: Kepala Bagian Kredit Khusus Kantor Pusat 2001-2002, Kepala Sub Divisi Kredit Khusus dan Administrasi Pelaporan Kantor Pusat 2002-2006, Pemimpin Cabang Waingapu 2006-2008, Pemimpin Cabang/Manager Bisnis Cabang Waingapu 2008-2009, Pjs. Kepala Divisi Perencanaan & Corporate Secretary Kantor Pusat 2009-2010, Kepala Divisi Perencanaan & Corporate Secretary Kantor Pusat 2010-2011, Kepala Divisi Treasury 2011-2018.

Beliau memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Nusa Cendana Kupang dan gelar Magister Manajemen dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Kini pria lajang dari Oepura itu sedang “mencemplungkan” diri ke studi S3 di Fakultas Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Sejak menjabat Direktur Utama Bank NTT, tidak sedikitlah inovasi yang digelontorkan berkat kreasi tokoh muda ini di seluruh NTT. Salah satu yang fenomenal ialah pembentukan Desa Binaan Bank NTT di seluruh NTT.

Optio fundamentalis (pilihan dasar/utama) mengapa perlu pembentukan Desa Binaan di NTT, menurut penuturannya di beberapa kesempatan, ialah untuk membantu para kaum papa agar mereka sanggup keluar dari lilitan belenggu kemiskinan, lantaran dihisap para tengkulak, rentenir dan hantu bunga serta jebakan administrasi kredit yang melelahkan.

Baca juga:

Caranya gampang, ujarnya. Kredit Merdeka bertujuan memerdekakan petani, nelayan dan peternak dari cekikan bunga para rentenir. Rakyat juga merdeka dari bunga kredit dan merdeka dari jaminan kredit bank.

Simple saja. Petani, nelayan, peternak dan pelaku usaha UMKM sangat membutuhkan modal usaha dalam jumlah yang tidak besar. Begitulah ujar pria ganteng murah senyum ini menjelaskan terperinci tetapi sederhana.

Dari pengalaman lapangan yang dikunjungi dan diwawancarai tahun silam, para pengaju Kredit Merdeka di 25 Desa Binaan di NTT,  mengakui efektivitas  dan fungsionalitas Kredit Merdeka. Kredit Merdeka Bank NTT sanggup mengatasi kepentingan petani, nelayan dan pengusaha UMKM.

Alex Riwu Kaho, tak hanya betah mengurusi administrasi yang ruwet tetapi dia pun sigap merancang aneka inovasi di kantornya yang luas dan bersih. Dia pun sanggup melakukan segala upaya kreatif di masyarakat lapisan bawah demi pembebasan rakyat NTT dari belenggu rantai kemiskinannya.

Kepada penulis sekali waktu dia berkata: “Saya senang melihat rakyat senang, dan saya sedih melihat mereka terhimpit derita. Karena itu saya sekuat tenaga dengan kapasitas yang ada ingin melakukan segala sesuatu demi pembebasan para kaum papa”.

Memang, diakuinya, implikasi inovasi Desa Binaan Bank NTT belum sempurna tercover baik di desa-desa terutama apa akibatnya terhadap Pendapatan Asli Desa. Hal ini niscaya terjadi lantaran administrasi desa belum maksimal diurus.

Meski demikian, para narasumber yang ditemui  mengakui, berkat Kredit Merdeka, mereka perlahan menuju titik terang bebas dari ancaman rentenir, bebas dari beban psikologis karena urusan jaminan kredit dan bebas dari jebakan administrasi proses kredit yang melelahkan.

Sekian.