Kupang, detakpasifik.com – Bengkel Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (APPeK) Nusa Tenggara Timur (NTT) bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan hasil kajian terkait transparansi pelaporan keuangan partai politik (parpol) di wilayah NTT.
Koordinator Riset Bengkel APPeK NTT, Laurensius Sayrani mengatakan kajian tersebut dilakukan dengan menelusuri situs web parpol yang memiliki kursi di DPRD NTT dan melalui diskusi bersama perwakilan partai politik, organisasi masyarakat sipil dan Komisi Informasi Daerah (KID) NTT.
Hasil kajian itu menunjukkan, pertama, penyebaran informasi organisasi dan keuangan parpol masih bersifat sentralisasi. Secara umum penyebaran informasi masih dikendalikan melalui mekanisme hierarki di tubuh parpol.
“10 parpol belum memiliki situs web guna mempublikasikan aktivitas partai politik. Semua informasi hanya tersedia pada web parpol di tingkat DPP,” kata Laurensius dalam acara media briefing transparansi keuangan parpol di Hotel Amaris Kupang, Selasa, 15 November 2022 siang.

Akibatnya, informasi perihal aktivitas parpol di tingkat lokal termasuk keuangan tidak tersedia dan dapat diakses publik secara langsung. Yang ada hanya laporan terbatas untuk kepentingan strukturalnya di partai.
Kedua, ada partai politik yang tidak mau mempublikasikan informasi terkait penggunaan bantuan keuangan yang bersumber dari pemerintah.
Padahal, pemerintah daerah di NTT menyalurkan dana Rp 2.676.820.000 per tahun kepada 11 partai politik. Dana ini cukup besar meski dinilai ‘tidak banyak’ oleh parpol.
“Parpol menganggap sebagai hibah yang habis pakai dan disebut jumlahnya tidak seberapa,” kata Laurensius.
Menurutnya, parpol beralasan tidak adanya penegasan dari pihak Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) untuk dipublikasikan laporan keuangan tersebut secara berkala kepada masyarakat.
Ketiga, parpol di NTT umumnya belum memiliki struktur Pejabat Pengelola Informasi dan Komunikasi (PPID) sebagai institusi. Padahal DPP memiliki PPID pusat sebagaimana terlihat dalam situs web DPP.
“Parpol di tingkat lokal justru mendefinisikan beberapa organ yang memiliki fungsi informasi, terutama internal dianggap sebagai PPID,” tambahnya. Kondisi ini menunjukkan lemahnya proses pelembagaan transparansi parpol di tingkat lokal.
Perangkat institusi formal sebagaimana diamanatkan dalam UU KIP tidak direspon oleh partai politik.
Keempat, laporan keuangan sebatas administratif semata. Parpol hanya melaporkan keuangan berdasarkan mekanisme internal partainya.
“Bendahara kepada ketua, kemudian dilanjutkan ke pengurus tingkat atas. Dan kepada badan Kesbangpol dan BPK,” jelas dia.
Parpol beranggapan, laporan pertanggungjawaban administratif ini sebagai hal penting. Sedangkan laporan kepada publik belum dianggap suatu kewajiban partai.
Padahal, keterbukaan informasi adalah upaya mendukung sistem politik, wadah pendidikan politik bagi masyarakat dan bermaksud membangun partisipasi masyarakat untuk ikut melakukan fungsi pengawasan kepada partai politik agar tidak semaunya.

Kelima, Kesbangpol pun hanya mengandalkan pada laporan administratif keuangan parpol tahunan sebagai basis penilaian.
Selain itu, Kesbangpol tidak cukup kuat mendorong partai politik untuk melaporkan keuangan yang bersumber dari APBD kepada masyarakat.
“Laporan penggunaan dana bantuan parpol kepada masyarakat belum maksimal dilakukan Kesbangpol,” kata Laurensius.
Laurensius menjelaskan, kajian terhadap transparansi keuangan partai politik dilakukan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan aktivitas badan publik sesuai aturan yang diatur melalui UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Bahwa salah satu badan publik adalah partai politik. Sesuai yang diamanatkan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatur pengelolaan keuangan partai politik dilakukan secara transparan dan akuntabel.
(dp)