Antara rekonstruksi peristiwa dan rekonstruksi batin: suatu permenungan.
“Terkadang kita berjalan sambil menatap hanya pada bayangan orang lain, sambil kita lupa akan bayangan punya kita sendiri yang pasti” – (Anonim)
Oleh P. Kons Beo, SVD
Sulitnya berjalan bersama bayangan sendiri
“Tak gampang untuk mesti bertolak dari diri sendiri.” Terdengar aneh memang. Sudah ada panduan jelas tentang apa disebut self-discovery and self-acceptance. Maksudnya, agar siapa pun ‘bisa temukan diri, dan terutama agar sanggup terima diri sendiri.’ Dalam sisi-sisinya yang luas dan dalam. Namun, sekali lagi, tak mudah untuk menyerap ‘keseluruhan diri pribadi.’
Sebaliknya, bola mata ini seolah begitu terang tembusi apa pun yang ‘di luar diri sendiri.’ Ini tentu berkenaan dengan segala yang ternilai ‘tak indah dan tak merdu.’ Segala yang berbau kesulitan, persoalan, huru-hara, kaos, laknat, bejat, kafir, amoral-asusila, beraroma najis, pokoknya segala ‘yang tak indah’ harus datang dari ‘orang lain.’ Semuanya itu wajib bermunculan dari ‘pihak sana.’
Baik milik kita, buruk punya mereka
Di era kini, perang reputasi jadi makin liar. Ia sudah sama sejajar dengan perang dagang, perang ekonomi, atau perang pengaruh dalam politik sekalipun. Ada sisi pencerahan positif dari konten-konten tertentu di pelbagai media-sosial. Namun, bukankah ada arus stigmatisasi yang semakin deras mengalir untuk melaknatkan ‘apa pun dan siapa pun yang berbeda, yang tak seirama dan yang tak segolongan?’
Bentrok sosial mudah membara. Pertikaian segelintir gampang merambat. Ke sana ke mari. Anehnya, hal itu tetap diyakini sebagai satu perjuangan suci mulia. Tak sulit ditelaah bahwa semuanya berakar pada agenda tersembunyi. Dia dibalut pula rapat-rapat oleh “perbedaan pendapat dan kepentingan sepihak” yang pada titiknya sungguh meledak (Komaruddin Hidayat & Khoiruddin Bashori, 2016).
Persoalan demi persoalan tetap dihadapi. Individu bisa saja (sengaja) tetap bertanya, “Dosa siapa, ini dosa siapa? Salah siapa, ini salah siapa?” Sungguh. Kerumitan hidup jadi semakin kusut. Jangankan semua kekisruhan itu ditimpakan pada ‘yang lain’ sebagai akar soal, bahkan nasehat yang terkesan ‘bijak nan saleh’ pun sering tiba pada keyakinan yang bukan-bukan. Ini misalnya, saat ‘Tuhan dan iblis’ dibuat jadi pasangan berkarib. Jadi dalang dari semua kekelaman.
Saling curhat Tuhan dan setan
Teringat lagi kisah imajiner tentang ‘saling curhat Tuhan dan setan.’ Sebab manusia itu maen tuduh-tuduh sembarang. Jika ada soal, kerumitan, suasana kaos, bencana, serta segala ‘yang tidak enak punya’ maka sekian manusia enteng berucap, “Ini semua adalah ujian Tuhan….” Dan si setan pun berkeluh, “Semua soal yang dihadapi manusia, sayalah yang jadi akarnya. Sebab kata manusia: tidak tahan godaan setan. Padahal, saya tahu tempat saya itu di neraka. Dan saya ‘aman-aman saja’ di neraka.”
Tidakkah kita berperan dalam satu dua persoalan? Bukankah kita sendiri telah masuk dalam gelap gulitanya kerumitan hidup? Jika dipahami seperti apa kebenaran akan jawabannya, maka siapa pun akan kembali pulang kepada dirinya sendiri. Dan di sinilah terdapat apa yang disebut panggilan untuk “memeluk diri yang tidak indah.” Janganlah terus berkeluh pada Tuhan. Hentikan sudah tuduhan pada iblis dan bahkan pada sesama sebagai ihwal dari segala yang bernada miring.
Berdiri jauh-jauh untuk semakin ‘dekat.’
Jika mesti dipahami sebisanya, kiranya perumpamaan Yesus tentang jeritan hati si pemungut cukai di Bait Allah bisa jadi ilhamnya. Sebab kata Yesus, “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa ini” (Luk18:13).
Langit tidak dituduh oleh si pemungut cukai itu sebagai sumber cobaan hidup. Yang munculkan perilaku suramnya. Karenanya, ia tak sanggup menengadah ke langit. Hanya kasih dan kerahiman langitlah yang diharapkannya agar ia bisa ‘kembali suci.’
Dan lagi, si pemungut cukai itu tak berselera untuk menantang suara menderang orang Farisi. Suara itu jelas-jelas terdengar begitu angkuhnya, “Aku juga tidak sama seperti pemungut cukai ini” (Luk 18:11). Namun, yang terbaik bagi pemungut cukai adalah ‘pulang kepada diri dan memeluk dirinya sendiri’ dalam meterai kasih dari langit. Ia “berani memeluk dirinya yang tak indah.”
Profetisme abal-abal
Tetapi, dalam pentas dunia yang makin garang, mungkinkah masih ditemukan jalan sejuk untuk “memeluk diri yang tidak indah?” Sebab, kumpas tuntas satu persoalan tak lebih dari sebuah penelajangan abis-abisan. Ia pun jadi melebar di sana-sini. Merambang dari satu kisah ke kisah berikutnya bak cincin-cincin berantai. Tak ada alam ketenangan demi mengauptopsi masalah. Demi tiba pada satu jalan keluar.
Di masa kini, dimensi profetik sering terasa dahsyat berkibar. Namun, tak jarang ia tertahan hanya sebatas pada rasa puas untuk menelanjangi kekurangan, ketakberdayaan serta kelemahan dari siapa pun. Nampaknya itulah yang digemari publik. Ketika siapa pun merasa sudah punya modal tebal tentang kekurangan dan kelemahan lawan. Itulah yang kini jadi ‘habitus tutur’ bahkan mengarah pada satu ‘tradisi lisan.’
‘Saling menelanjangi’ semakin jadi lumrah. Terbiasa untuk saling menista sungguh menggejolak. Dan ia memang hanya sebatas itu saja. Tak lebih. Tak kurang pula. Kita akhirnya hanya tertahan pada arena penghakiman. Atau di sisi lain, itulah sebabnya mengapa individu jadinya dipaksa bertarung dalam satu dinamika mekanisme bela diri. Sebab ia pasti tak mau hanya ingin jadi korban dan sasaran ‘nista dan hinaan.’
Merindukan diri yang hilang
Dalam suasana seperti ini, sepantasnya tercipta alam di mana selalu ada ruang untuk “pulang kepada diri sendiri.” Di situ, siapa pun seyogyanya dibuat berkarib dengan segala arus lalu lintas pikiran dan perasaan tentang dirinya. Dalam segalanya. Itu berarti, ia nantinya tak hanya berfokus pada apa yang jadi primadona dari segala keistimewaan diri. Tetapi bahwa selalu ada kekuatan dan keberanian untuk mengalami, mendalami dan memeluk segala yang tak indah dari dirinya sendiri.
Maka di sini, dibutuhkan rekonstruksi akan ‘diri yang tak indah.’ Rekonstruksi satu peristiwa atau kejadian buram yang jadi sorotan publik tentu berbeda dari apa yang disebut rekonstruksi batin personal. Sebab satu kisah kelam tentu keluar dari motif tertentu yang jadi gambaran dari dangkalnya daya akal budi, kacaunya emosi dan terutama lemahnya kehendak (St Thomas Aquino).
Rekonstruksi batin, sebaliknya, menuntut kejujuran, ketulusan, keterbukaan dan terutama kerendahan hati. Hanya dengan kebajikan-kebajikan seperti ini terhamparlah jalan yang mulus untuk “memeluk diri yang tidak indah.” Semuanya mengarah pasti pada satu acto penitencial: mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa “saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa….”
Pada gilirannya, kesanggupan “memeluk diri yang tidak indah” dalam jalur rekonstruksi batin adalah jalan indah untuk menuju kepada sesama dan terutama kepada Tuhan Pengasih dan Penyayang. Pada awalnya, jalan itu terblokir. Sebab kita merasa bahwa segala yang di luar diri kitalah yang jadi pemantik dan sumber dari segala kerumitan hidup.
Akhirnya…
Jika kita benar-benar tiba pada diri sendiri, maka kita pasti akan tahu seberapa besar ‘diri kita yang tidak indah itu.’ Dan seberapa banyak pula aneka kepalsuan yang ditempel secara paksa pada diri kita pula. “Memeluk diri yang tidak indah” akhirnya membuat kita tak gencar untuk terus mengincar kekurangan dan segala ketidakhebatan orang lain.
Rekonstruksi batin personal membuat kita tertunduk untuk satu kerkah jiwa. Untuk tidak lagi ‘kibarkan bendera kehebatan diri sambil memakai tiang kerapuhan sesama.’
Dan lagi, dunia tak boleh kekurangan sekian drastis akan kisah-kisah indah dan heroik yang mesti diwariskan. Sebab, telah terlalu liar narasi untuk saling mengunduli. Yang hanya ingin hilangkan jejak-jejak kebaikan, kebenaran dan keindahan.
Bagaimanapun, di atas segalanya, mari kita kembali mengakrabi diri sendiri. Untuk berani “memeluk diri kita sendiri yang tidak indah.” Sebab jika tidak, sekali lagi, kita hanya bermanuver sana-sini hanya untuk mencari-cari “yang tidak indah” di luar ‘kerajaan diri sendiri dan kelompok.’
Dan anehnya, mengapa kita tak pernah bosan untuk itu? Untuk jawabannya yang pasti tentu ada di relung hati setiap kita.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma