Breaking News: Komite Penyelenggara Referendum Konstitusi NTT Telah Terbentuk di Kupang

Pius Rengka. Dok detakpasifik.com

Kupang, detakpasifik.com – Komite Penyelenggara Referendum Terbatas pada Konstitusi 1945 NTT, telah terbentuk di Kupang, Kamis (29 April 2021).

Komite ini dibentuk atas inisiatif beberapa elemen masyarakat setelah mencermati dengan sangat serius aspirasi rakyat NTT. Amat sangat luas tertangkap opini yang meminta agar batasan masa jabatan presiden perlu serius dikoreksi. Koreksi atas batasan masa jabatan itu muncul kian marak menyusul kunjungan beruntun (10 kali) Presiden Jokowi ke NTT di masa kepemimpinan Viktor B. Laiskodat dan Josef Naesoi.

Diduga, lahirnya aspirasi luas masyarakat untuk mengoreksi periodesasi masa jabatan itu lantaran Presiden Jokowi bekerja sangat tuntas dan sangat luar biasa atas seluruh pawai pembangunan nasional selama ini, terutama pembangunan infrastruktur jalan raya, kecepatannya mengatasi problem bencana sosial dan bencana alam dan lain-lain. Jokowi dinilai rakyat, sangat sensitive dan sangat decisive.

Batasan masa jabatan presiden yang dibatasi dua periode seturut aspirasi luas rakyat NTT sejenis kooptasi elit oligarki politik atau semacam pembajakan demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif adalah demokrasi terlibat yang melibatkan semua elemen dalam proses dan evaluasi politik pembangunan. Demokrasi deliberatif tidak hanya mengandalkan lembaga-lembaga politik seperti partai politik, yang dalam cermatan banyak pihak partai politik terkesan telah berubah menjadi instrumen kooptatif dan cenderung manipulatif.

Komite Penyelenggara Referendum Terbatas itu dipimpin oleh Pius Rengka bersama tim inti antara lain Dr. Imanuel Blegur, Caroline, Hadi Djawas, Clarita R. Lino dan rekan-rekan peduli demokrasi lainnya. Jaringan Komite Penyelenggara kini kian meluas hingga di kabupaten. Mereka menyambut baik gagasan ini. Kini gagasan untuk menyelenggarakan referendum terbatas itu telah tersebar di seluruh NTT hingga ke kecamatan dan desa.

Klik dan baca juga:  Pengurus PPNI NTT Resmi Dilantik, Perawat Dinilai Punya Peran Penting

Direncanakan deklarasi Komite Penyelenggara Referendum Konstitusi NTT digelar 1 Juni 2021, sekaligus sebagai refleksi kritis peringatan Hari Lahir Pancasila. Deklarasi ini menurut rencana akan juga mengundang pihak-pihak negara, masyarakat sipil (terutama pers), dan para pencermat politik dan sosial. “Bahkan kami berencana, mengundang Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat dan Wakil Gubernur NTT, Josef Naesoi, untuk hadir dalam acara deklarasi itu, agar negara patut tahu bahwa ada opini luas dari warga negara khususnya warga negara di NTT yang berkehendak agar perihal periodesasi masa jabatan presiden perlu serius dikoreksi,” ujar Pius Rengka.

Ketua Komite Penyelenggara Referendum Terbatas, Pius Rengka, kepada detakpasifik.com Kamis (29/4/2021) di Kupang menyebutkan, gagasan pembentukan Komite Penyelenggara Referendum ini sesungguhnya bukan muncul dadakan. Gagasan ini lahir tergoda dan tergelitik sangat serius diawali setelah tim penggagas mencermati aspirasi sangat kuat dan luas masyarakat NTT untuk mengubah ketentuan pasal konstitusi yang mengatur tentang periodesasi dan batas masa jabatan presiden Indonesia.

Pasal yang mengatur tentang periodesasi masa jabatan presiden ini harus dikoreksi karena perihal masa jabatan presiden sesuai ketentuan konstitusi hanya dua periode. Ketentuan konstitusi ini dalam sejarahnya mengalami kooptasi dan pembajakan kedaulatan rakyat, karena seharusnya untuk jabatan sangat strategis serupa itu, konstitusi harusnya hanya cukup menentukan tentang lama waktu tiap periode kepemimpinan presiden.

Klik dan baca juga:  Terkenang Sumba Tengah: Hujan Badai dan Gelombang Menghajar NTT

Arus tuntutan untuk mengubah periodesasi masa jabatan presiden yang menurut ketentuan UUD 1945 pada amandemen ketiga bahwa masa jabatan presiden tiap periode lima tahun dan dapat dipilih lagi hanya untuk masa jabatan dua periode. Teks ini tampaknya atau kesannya sebagai batasan demokratis, tetapi sesungguhnya ketentuan itu sangat bernuansa kooptatif dan sejenis pembajakan demokrasi rakyat.

Menurut Ketua Komite Penyelenggaraan Referendum, Pius Rengka, mekanisme perubahan konstitusi melalui mekanisme referendum idealnya dan seharusnya memang demikian, dikembalikan ke pemilik sah kedaulatan yaitu rakyat itu sendiri. Maka untuk mengerti apa sesungguhnya gagasan rakyat, harus ditempuh dengan cara mencari dan menemukan opini publik. Opini publik dapat diketehui pasti dan persis melalui referendum karena dengan referendum selain pemulihan hak-hak asasi manusia, tetapi juga referendum adalah wujud konstitusional dari praktek kedaulatan rakyat. Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat sesuai ketentuan Pasal 1 (2) Undang-Undang Dasar yang ditentukan pada amandemen konstitusi yang ketiga. “Kebenaran ontologis kehendak rakyat itu hanya mungkin ada pada pikiran dan tangan rakyat itu sendiri,” ujar Pius Rengka.

Ditanya detakpasifik.com, apakah dengan referendum ini justru melegitimasi  pelanggengan kekuasaan presiden yang persis dikritik pada periode presiden sebelumnya atau disoalkan oleh rezim reformasi?

Ketua Komite Referendum, Pius Rengka menjawab, apakah penerapan kedaulatan rakyat itu adalah sesuatu yang buruk dan salah? Bukankah kedaulatan rakyat sesungguhnya adalah teks konstitusi yang berusaha merumuskan hakekat ontologism dan epistemologis hak-hak asasi manusia yang terkait dengan hak untuk menentukan pendapat dan menentukan sikap politik rakyat itu sendiri.

Klik dan baca juga:  Deklarasi Akbar Paket SIAGA, Kebangkitan di Tanah Kelahiran Negeri Cendana Wangi

“Bagi saya, referendum adalah mekanisme politik sangat biasa untuk memurnikan kembali kedaulatan rakyat atau referendum adalah mekanisme paling demokratis untuk memulihkan hak-hak asasi manusia. Sembari dengan itu, referendum juga adalah kritik politik atas seluruh jenis kooptasi politik dan pembajakan demokrasi politik atau hijack politik demokrasi,” ujarnya.

Sejau mana jaringan Komite Penyelenggara ini telah terbentuk di kabupaten, kecamatan dan desa? “Proses masih berlangsung, sehingga jadwal kita deklarasi memilih waktu yang pas agar tak hanya perihal teks referendum, tetapi juga konteks dan kontennya,” kata Pius menutup pembicaraan.* (Tim detakpasifik.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *