Kupang, detakpasifik.com – Meski NTT menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi positif dan angka kemiskinan turun setelah dihajar pandemi Covid-19 dan badai Seroja 5 April 2021, tetapi ikhtiar membebaskan NTT dari belenggu kemiskinannya tidak akan pernah boleh pudar sejengkal pun.
Semangat itu harus terus digelorakan. Mengapa? Karena Pemerintah NTT telah mematok target sangat tinggi. Pemerintah NTT bertekad agar kehidupan rakyat NTT dan tatakelola kepemerintahannya harus bersih dan tidak boleh melanggar hak-hak asasi manusia (HAM).
Maka pemerintah dan seluruh elemen masyarakat berupaya antara lain terarah untuk mengatasi stunting yang kini tersisa 22% dari sebelumnya tahun 2018 bertengger di 43%.
Karena itulah, Bulog NTT diharapkan dan didorong untuk menjadi salah satu pilar utama logistik kelor terbesar di Indonesia sebagai kerja konkret bagi rakyat NTT dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Jika Bulog sanggup melakukan hal itu, maka dapat dipastikan NTT akan segera keluar dari lilitan belenggu kemiskinan dan terutama kasus stunting akut yang dialami masyarakatnya. Stunting yang dialami masyarakat NTT, utamanya disebabkan oleh multifaktor, tetapi salah satu faktor dominan ialah karena problem kesehatan masyarakat masih terbatas. Tambahan lagi akses rakyat terhadap informasi, dan aneka sumberdaya ekonomi juga masih sangat terbatas.
Penegasan dan harapan itu dikemukakan Gubernur NTT, Dr. Viktor Bungtilu Laiskodat, S.H., M.Si, dalam arahannya pada pertemuan dengan jajaran petinggi Bulog NTT yang dipimpin Kabulog, Mohammad Alexander, para pejabat Dinas Kesehatan NTT, di ruang kerja gubernur, Kamis (23/6/2022) siang. Hadir pada kesempatan itu antara lain, Kadis Kesehatan NTT, Ruth Laiskodat beserta staf intinya, Staf Khusus Gubernur dr. Stef Bria Seran, dan Pius Rengka.
Kabulog NTT, Mohammad Alexander, berencana menggunakan kelor sebagai bahan campuran untuk beras unggul yang diproduksi lembaganya. Beras akan dicampur kelor sehingga bermanfaat bagi kepentingan para konsumen, ujar M. Alexander.
Menurut Gubernur Viktor, kelor telah dikenal dunia sebagai pohon ajaib (miracle tree) yang menyimpan dan mengandung banyak manfaat positif bagi kepentingan kesehatan manusia. Kelor itu tumbuh liar sejak lama di NTT. Tetapi, masyarakat belum mengetahui pasti kegunaannya untuk kepentingan kesehatan dan pertumbuhan otak manusia. “Maka sejak kepemimpinan Viktor Jos, kelor wajib dimasifkan agar NTT menjadi pusat logistik kelor terbesar di tanah air,” ujar Gubernur Viktor.
Kelor atau dikenal dengan sebutan merungga adalah sejenis tumbuhan dari suku Moringaceae. Tumbuhan ini dikenal dengan nama lain seperti, limaran, moringa, ben-oil, drumstick, horseradish tree, dan malunggay di Filipina. Nama ilmiahnya Moringa oleifera.
Pohoin kelor itu banyak tumbuh di pesisir selatan Pulau Timor, juga tumbuh di Pulau Rote, Sabu, Alor dan pesisir Flores. Meski tanaman kelor ini memang masih belum sungguh masif ditanam karena masih terbatasnya kesadaran banyak pihak, tetapi gerakan kearah masifikasi itu telah tumbuh berkembang seiiring dengan sosialisasi yang dilakukan pemerintah.
Kalangan militer angkatan darat, misalnya, telah gigih memperjuangkan masifikasi perluasan lahan tanaman kelor karena sangat tahu persis kegunaannya bagi kesehatan manusia, dan juga disadari manfaat ekonomi yang ditimbulkannya.
Di dunia ini, salah satu negara yang cukup masif menanam kelor adalah Filipina. Di lokasi destinasi wisata Hawai, orang Filipina menanam kelor. Di setiap rumah dan pekarangan orang Filipina selalu pasti ada pohon kelor.
Melihat pengalaman di negara lain itu, NTT mestinya relatif lebih mudah memasifkan penanaman kelor. Hingga kini, kelor telah dikelola menjadi the kelor, coklat kelor, kue kelor, keripik kelor. Meski demikian tatakelola kelor belum maksimal sebagaimana diharapkan gubernur.
Akibatnya, banyak permintaan dari negara lain belum sanggup dipenuhi. Tetapi satu saat, tak lama lagi, NTT bakal menjadi pusat kelor di Indonesia, apalagi jika Bulog NTT ikut terlibat.
Praktik positif Sumba Barat Daya
Gubernur berkisah tentang pengalaman praktik positif di masyarakat Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). Menurut Gubernur Viktor dulunya, masyarakat SBD selalu rutin merantau musiman. Tiap tahun sejak bulan Mei hingga Juli, rakyat SBD merantau ke provinsi tetangga di Bima. Mereka ke sana ingin menjadi buruh tani karena pada bulan-bulan itu di provinsi tetangga ada musim panen.
Tetapi sejak dikenalkan program Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS), kebiasaan merantau ke provinsi tetangga itu perlahan terhenti karena rakyat di SBD kini telah sanggup mengelola lahan pertanian dengan musim tanam dua kali setahun. Lahan garapan yang ditanam pun luas, hingga 5.000-10.000 hektar.
Perubahan ini menurut Gubernur Viktor, merupakan suatu fenomena perubahan sosial yang sangat penting. Perubahan penting karena perubahan itu tidak saja berdimensi kultural, tetapi juga berdimensi sosial ekonomi dan politik.
Apa yang dialami masyarakat SBD, cepat atau lambat akan ikut mengubah cara berpikir rakyat tentang arti pentingnya tatakelola lahan pertanian, dan arti pentingnya bisnis hasil pertanian. Pemerintah wajib ikut terlibat menyiapkan pembeli pasti (offtaker) untuk para petani, sehingga ada kepastian pasar dan sekaligus kepastian harga. Maka selanjutnya tradisi kelola lahan dan lingkungan sosial berubah, termasuk cara berpikir pun berubah.
Akibat ikutannya ialah banyak ternak yang harus dikendalikan. Lahan garapan petani pun kian meluas. “Itulah arti pentingnya dari apa yang selalu saya tekankan agar kandangkan yang bergerak, dan bebaskan yang tidak bergerak. Yang bergerak itu ternak. Ternak, mesti dikandangkan. Sedangkan tanaman jagung, padi dan lainnya biarkan bebas di hamparan terbuka,” ujar Gubernur Viktor.
Sekarang ini, SBD dan Sumba Tengah menjadi kabupaten dengan dua kali musim tanam dan panen jagung dengan tingkat produksi tertinggi di NTT hari ini yang cukup bermakna sangat penting bagi kehidupan rakyat. Lahan yang digarap adalah lahan para petani sendiri. Mereka juga mulai memahami arti pentingnya menjadi petani modern.
Kecuali itu Gubernur Viktor mengingatkan agar cara berpikir sentralistik Jakarta tidak dapat diterapkan di semua provinsi termasuk tidak serta merta diterapkan pemikiran Jakarta di NTT. NTT memiliki karakteristik sendiri, dengan ragam kultur petani yang berbeda. Karena itu, pendekatan gerakan pembangunan perlu diubah seturut konteksnya.
“NTT miskin antara lain karena kebijakan publik kurang sensitif konteks sosial ekonomi politik lokal. Pebisnis hanya mengambil untungnya sendiri tanpa kendali pemerintah yang memadai. Karena itu di era kepemimpinan saya, pemerintah berkewajiban melindungi rakyat NTT antara lain dengan cara mengatur tatakelola lahan pertanian untuk kepentingan rakyat sendiri sambil membantu dan mengendalikan harga demi kepentingan para petani,” jelasnya.
(dp/pr)