Kami melihat seorang warga di Yerusalem Timur menyetir ugal-ugalan lawan arah saat melintasi Jalan Agabat Tel Rahbad.
Oleh Marselinus Rengka dan Monica Sri S
Oh Yerusalem. Kota mulia. Hatiku rindu ke sana. Tak lama lagi, Tuhanku datanglah. Bawa saya masuk sana.
Itu sepenggal lirik yang harmoni dan padu dilantunkan rombongan 35 orang peziarah, dibawa komando penasihat rohani: Romo Laurens, OFM, tatkala bus berbelok arah menuju pintu gerbang kota suci: Yerusalem!
Bagi orang Yahudi, Yerusalem adalah satu-satunya kota suci di dunia. Inilah kota yang dipilih Tuhan sebagai “tempat kediaman nama-Ku” tulis kitab Tawarikh.
Bagi umat Kristen, Yerusalem adalah kota suci yang sangat penting karena di kota inilah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan bangkit untuk menebus dosa manusia, serta naik ke surga untuk memulihkan lagi hubungan antara manusia dan Tuhan.
Namun, keunikan Yerusalem tidak semata-mata oleh karena warisan sejarah panjangnya, melainkan dari arti spiritualnya. Tiga agama besar dunia: Yudaisme, Kristen dan Islam, ketiganya berbeda dalam konsep tentang Tuhan, dalam iman dan ritual ibadahnya, tetapi disatukan oleh kecintaan mereka terhadap Yerusalem.
Baik Yahudi, maupun Kristen dan Islam, memandang Yerusalem sebagai ‘pintu ke surga’. Di sinilah terjadi pertemuan antara dunia dan akhirat, surga dan bumi.
Yerusalem dikuduskan oleh agama dan tradisi, oleh sejarah dan ideologi, oleh tempat-tempat suci dan rumah-rumah ibadah. Itulah Yerusalem, kota yang dipuja-puji, ditakzimkan (dihormati) oleh umat Yahudi, Kristen dan Muslim.
Semua itu mencerminkan kegairahan dan kesalehan dari tiga agama, yang semuanya dikaitkan dan diikatkan ke Yerusalem dengan pemujaan dan cinta.
Selama berabad-abad, Yerusalem menjadi simbol, lambang persatuan dengan Tuhan. Di Yerusalem, manusia tidak hanya merasakan bahwa Tuhan ada di bukit dan di lembah, tetapi juga di taman dan di seputar kita. Tuhan dirasakan begitu dekat.
Dimensi agama begitu memberi bobot kepada kota ini. Namun, kadang tampil dalam dua wajah yang saling bertentangan secara diametral.
Di satu sisi agama merupakan tempat orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup, dan harapan yang kokoh. Di dalam agama banyak orang menimba kekuatan serta mendapatkan topangan saat berhadapan dengan penderitaan dan kerapuhan.
Di sisi lain, karena alasan politis, agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan. Masih sering terlihat perkelahian antara warga Palestina dan Yahudi di Yerusalem Timur.
Bahkan teror bom secara sporadik terjadi di Jalur Gaza dan Tepi Barat dan memicu konflik yang beresonansi ke seantero negeri dan bahkan bereskalasi tidak terkendali.
Kami melihat seorang warga di Yerusalem Timur menyetir ugal-ugalan lawan arah saat melintasi Jalan Agabat Tel Rahbad. “Itu orang gila, jika ditegur dia justru akan lebih sarkastik menghardik,” cetus Abba Odded Hadaya, tour guide berkebangsaan Israel yang mahir bernarasi dalam bahasa Indonesia.
Sesungguhnya, bukan agama sebagai pemicu konflik. Namun agama dipakai untuk memberikan jaminan dukungan bagi pihak yang berseteru.
Bahkan agama memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis. Oleh karena itu, posisi Yerusalem menjadi pelik dan terjepit. Tiga agama monoteistik sama-sama mengklaim berhak atas tempat-tempat suci yang ada di kota itu dengan alasan masing-masing.
Yerusalem merupakan tempat hidup bagi penduduknya, baik Palestina, Israel, Yahudi, Kristen, maupun Islam. Di kota ini, dua bangsa tiga agama hidup selama berabad-abad bisa rukun, berdampingan saling menghormati.
Itulah yang membuat Yerusalem menjadi kota yang unik, istimewa dan berbeda dengan Amman, Kairo, New York, London, Paris, Jakarta atau kota-kota besar lain di dunia.
Via Dolorosa ke Golgota
Di bawah tiang pintu kapela bertulis untaian kata berbahasa Ibrani: Sha’ar Parachim, yang berarti pintu gerbang bunga. Pastor Laurens mengumpulkan rombongan peziarah dan memberi petuah bernada khotbah satu paragraf:
“Para saudara dan saudari harus menyadari bahwa Allah menghendaki engkau bahagia, dan, jika engkau melakukan semua yang ada dalam jangkauan-mu, engkau akan merasa bahagia, sangat, sangat bahagia, meskipun tidak akan pernah ada waktu sejenak pun tanpa salib. Pandanglah salib ini, (imbuhnya sambil mengangkat salib coklat Fransiskan yang tergantung di leher-nya) bukanlah tiang gantungan lagi. Salib ini adalah takhta di mana Kristus meraja. Dan di sisinya, kita jumpai bunda-Nya, bunda kita juga, Santa Perawan Maria, akan memperoleh bagimu kekuatan yang engkau butuhkan untuk berjalan dengan penuh keyakinan mengikuti jejaknya.”
Via Dolorosa, jalan salib empat belas pemberhentian, kami awali dari titik yang populer disebut Benteng Antonia, wilayah muslim, dan akan berakhir di makam Kristus: Golgota.
Jarak dari Benteng Antonia ke Golgota sejatinya hanya sekitar setengah kilometer.
Kembali ke Abba Odded seolah berkhotbah meniru Rahib Yahudi dengan merujuk Mazmur 40:9 dalam bahasa Latin: Ut Facerem Voluntatem Tuam, Deus Meus, Volui, Et Legem Tuam In Media Cordis Mei. Yang berarti: Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allah-ku, taurat-Mu ada dalam hati-ku.
Dalam khusyuk jalan salib, seolah saya mendengar sayub-sayub teriakan para serdadu Romawi: Salibkan! Salibkan Dia!
Saya membayangkan bagaimana ketika zaman Yesus orang-orang berdiri di pinggir jalan, menghardik, mencemooh, menghina dan mengejek Yesus. Dan barangkali ada yang ikut meludahi wajah Yesus.
Dalam kultur Yahudi, meludahi wajah seseorang adalah bentuk penghinaan paling keji terhadap penjahat yang keparat.
Yesus dianggap sebagai nabi palsu, membual dengan janji-janji palsu. Karena itu Dia pantas dihina, dinista habis-habisan oleh para pemuka masyarakat, anggota Sanhendrin, dan juga tokoh agama.
Rakyat yang melihat, ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Padahal di hari-hari sebelumnya, mereka mengelu-elukan Yesus. Ingat, betapa meriahnya sambutan masyarakat Yerusalem ketika Yesus memasuki kota suci itu sepekan sebelumnya. Mereka menikmati karya Yesus, banyak orang yang disembuhkan dari penyakitnya.
Setelah enam puluh menit khusyuk melintasi Via Dolorosa, tibalah kami di puncak Golgota. Tempat ini juga disebut tempat tengkorak atau dalam bahasa Ibrani disebut Gulgolet dan dalam bahasa Latin disebut Calvaria yang kemudian dalam bahasa Inggris disebut Calvary.
Mengapa disebut tempat Tengkorak? Setidaknya ada empat basis, seturut eksplanasi Abba Odded:
Pertama, di tempat ini ditemukan banyak tengkorak oleh karena seringkali digunakan sebagai arena pembantaian, sejenis killing field, untuk para penjahat.
Abba Odded merujuk kepada Jerome (346-420), seorang tokoh yang dikenal sebagai penerjemah kitab suci dari bahasa Yunani dan Ibrani ke bahasa Latin.
Kedua, bukit itu berbentuk seperti tengkorak.
Ketiga, dalam tradisi pra-Kristen, di tempat ini ditemukan tengkorak Adam. Pandangan ini merujuk kepada pendapat cendikia dan teolog Kristen: Origenes Adamantius (185-253).
Origenes menulis: Saya mengenal sebuah tradisi yang mengatakan bahwa jenazah Adam, manusia pertama, dikuburkan di tempat di mana Kristus disalib.
Keempat, berlandas pada teori Capitolium of Aelia. Capitolika (nama yang diberikan Kaisar Hadrian untuk Yerusalem), berdiri di tempat gereja makam Kristus (Holy Sepulchre) berada saat ini, itulah yang disebut Golgota.
Menurut tradisi sampai tahun 66 Masehi, komunitas Kristen Yerusalem mengadakan perayaan liturgi di tempat ini. Tradisi ini menjadi alasan Kaisar Konstantinus Agung (272-337), seorang kaisar Romawi, mendirikan gereja di tempat itu pada tahun 325-335 untuk memperingati peristiwa kebangkitan.
Sekarang Gereja Makam Kristus berada dalam tembok (kota) tetapi tembok ini adalah tembok ketiga yang dibangun oleh Herodes Agrippa II (27-93).
Ingat Yerikho, ingat Zakheus
Yerikho dalam bahasa Arab disebut Ariha, masuk wilayah Tepi Barat, Palestina. Yerikho masuk salah satu kota tertua di dunia dan terus-menerus ditinggali. Diperkirakan Yerikho sudah dihuni penduduk sejak 9000 tahun sebelum Masehi.
Kata Yerikho, sering ditulis ‘Jericho’ berasal dari bahasa Semit. Bagi bangsa Kanaan, kata Yerikho berarti bulan. Kota Yerikho oleh orang Arab, acap disebut ‘Ain Alisha’ yang bermakna ‘bukit sultan’. Boleh jadi karena banyaknya bukit-bukit kecil di seputar kota.
Sesekali Abba Odded menyebut Yerikho sebagai ‘Madinat an-Nakhil’ atau kota pohon palem, karena banyaknya pohon palem yang tumbuh di kota ini, terutama menjelang musim semi.
Yerikho berada di dataran rendah Yordan, 258 meter di bawah permukaan laut. Jika ditarik garis lurus, jarak Yerikho ke Yerusalem sekitar 24 kilometer.
Yerikho beriklim tropis sehingga banyak tumbuh tanaman bunga dan buah-buahan. Oleh karena banyaknya macam atau jenis bunga yang tumbuh di Yerikho, maka kota ini dijuluki ‘kota beraroma wangi’.
Dalam Alkitab, Yerikho disebut sebagai kota pertama yang diserang Bani Israel setelah mereka keluar dari Mesir dan hendak masuk ke Tanah Terjanji – The Promised Land.
Di bawah kepemimpinan Yosua, menggantikan Musa, Yerikho ditaklukkan Israel. Kisah Yerikho tidak saja berkaitan dengan Yosua, tetapi yang tidak kalah populer adalah kisah Zakheus.
Kata Zakheus berarti bersih, murni dan tidak berdosa. Arti lain Zakheus adalah ‘pemimpin pemungut cukai’. Persepsi masyarakat Yerikho tentang pemungut cukai ketika itu adalah pengkhianat, oleh karena ia bekerja pada pemerintah penjajah Romawi dan memeras rakyat untuk membayar pajak.
Seorang pemungut pajak sering digambarkan sebagai sosok yang tamak, kerja tidak jujur, menggelapkan pajak, dan pemeras. Oleh karena itu, pada zaman Yesus, pemungut pajak dikelompokkan sederajat dengan wanita tuna susila.
Seturut cerita kitab suci dan mentradisi dalam masyarakat Yerikho, pemungut pajak lazim dibenci tetangga, karena acapkali memungut pajak lebih tinggi dari ketentuan yang seharusnya.
Hal ini yang dialami Zakheus. Namun, Yesus menggunakan sosok Zakheus, orang yang dibenci banyak orang, untuk mengajarkan kepada para muridnya, kepada pengikut Kristus, untuk bisa mengampuni.
Ketika Yesus melewati Yerikho – dalam perjalanan ke Yerusalem setelah transfigurasi di Gunung Tabor, Yesus berjalan menyusuri lembah Yordan.
Gunung Tabor ada di wilayah Galilea, sedangkan Yerikho di Yudea. Yesus melihat Zakheus yang bertengger di atas pohon ara yang tumbuh di pinggir jalan.
Hingga kini, masih menyisakan pertanyaan yang belum tuntas terjawab, mengapa Zakheus memanjat pohon? Apakah karena ia pendek-cebol sehingga sulit melihat Yesus yang berada di tengah kerumunan para murid-Nya dan orang-orang yang mengikuti Dia? Atau karena takut bergabung dengan orang-orang lain.
Sebab, sebagai pemungut cukai, ia dibenci banyak orang. Yang pasti, ketika melihat Zakheus ada di atas pohon, Yesus berkata: “Zakheus segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumah-mu.” Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita (Lukas 19:5-6).
Namun tindakan Yesus itu membuat orang lain bersungut-sungut, tidak senang. Karena mereka tetap beranggapan bahwa Zakheus orang pendosa.
Zakheus tidak perduli, ia bahkan menyatakan: “Tuhan, setengah dari milik-ku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat (Lukas 19:8).
Yesus tidak peduli dengan omongan orang. Ia berpendapat sebaliknya: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab, anak manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Lukas 19:9-10).
Hening dan genting di Taman Gethsemani
Kata ‘gethsemani’ berasal dari gabungan dua kata Ibrani yakni ‘gath’ yang berarti perasan dan ‘shemen’ yang berarti minyak zaitun. Jadi, di tempat ini dulu ada pemerasan buah zaitun untuk diambil minyaknya, semacam pabrik minyak zaitun, tutur Abba Odded Hadaya dalam introduksi sesaat memasuki Taman Gethsemani.
Taman Gethsemani juga acap disebut Taman Zaitun, tempat di mana Yesus berdoa sambil berlutut di dekat sebuah batu karang di bawah pohon zaitun besar yang rindang daunnya.
Taman Gethsemani terletak di sebelah timur Yerusalem, seberang lembah Kidron. Luas Taman Gethsemani hanya sekitar 50 meter persegi, dikelilingi tembok yang dibangun imam OFM tahun 1848.
Di dalam taman tumbuh delapan pohon zaitun. Di sebelah kiri Taman Gethsemani, berdiri Gereja Segala Bangsa, yang di dalamnya, persis di depan altar, ada sisa batu karang, yang diyakini dan dipercaya sebagai tempat dahulu kala Yesus berdoa.
Di sisi sebelah kanan, berdiri pula Gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga dan ‘Grotto’.
Taman Gethsemani, Gereja Segala Bangsa, Gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga dan Grotto ke semuanya berada di Bukit Zaitun.
Grotto itu semacam ruang bawah tanah atau lebih tepatnya gua berukuran sekitar 20 meter persegi. Di tempat inilah, menurut kitab suci, dahulu para rasul menunggu Yesus berdoa di Taman Gethsemani.
Cerita tentang Bukit Zaitun, dikisahkan oleh Markus dan Lukas. “Lalu Yesus pergi ke luar kota dan sebagaimana biasa, Ia menuju Bukit Zaitun. Murid-murid mengikuti Dia. Ketika tiba di tempat itu, Ia berkata kepada mereka, ‘berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam percobaan’ (Lukas 22:39).”
Sementara dalam Markus 14:32 dikatakan: Mereka tiba di suatu tempat yang disebut Gethsemani dan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: ‘duduklah di sini sementara Aku berdoa.’ Hanya tiga orang murid yang Yesus ajak berdoa yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes.
Makam Bunda Maria diyakini berada di kaki Bukit Zaitun. Di atas makam dibangun gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga.
Gedung gereja ini pertama kali dibangun pada abad V setelah konsili Kalsedon, 8 Oktober – 1 November 451. Kalsedon pada zaman sekarang disebut Kadikoy, Istambul, Turki.
Beberapa waktu kemudian dibangun gereja yang lebih besar. Namun, gereja itu dihancurkan sebelum pasukan Perang Salib (Crusades) tiba di Yerusalem lama.
Ketika pasukan Perang Salib masuk Yerusalem dibawa pimpinan Godfrey de Bouillon, dibangunlah sebuah biara di tempat itu yang diberi nama Biara Santa Maria, di lembah Jehoshaphat.
Baru kemudian pada tahun 1130 dibangun kembali gereja di tempat ini. Para Rahib Benedictin yang tinggal di biara Santa Maria itu dipercaya untuk merawat gereja baru tersebut.
Namun, biara serta gereja dihancurkan lagi dan batu-batu bekas bangunan biara serta gereja digunakan untuk membangun tembok Yerusalem.
Hanya saja ruang bawah tanah yang dipercaya sebagai makam Bunda Maria tidak dibongkar, tetap utuh, karena penguasa pada waktu itu yang membangun tembok Yerusalem juga menghormati Maria sebagai ‘Ibunda Nabi Isa-Almasih yang suci’. Artinya, mereka mengakui kesucian Bunda Maria.
Pada abad XIV, para imam Fransiskan membangun kembali banyak gereja di Yerusalem yang sebelumnya dihancurkan. Mereka juga membangun kembali Gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga.
Akan tetapi para imam dari ordo Fransiskan itu pada tahun 1757 diusir oleh para pemimpin Ortodoks Yunani. Mereka pun terpaksa melepaskan gereja itu sehingga kini gereja itu di bawah penguasaan Ortodoks Yunani.
Meski demikian, kaum Kristen Syiria, Koptik, dan Abbysiria juga memiliki kemudahan akses atas gereja ini. Bahkan pihak Muslim pun terbuka akses untuk melakukan sembahyang di tempat suci ini.
Makam Bunda Maria terbuat dari batu. Bersebelahan dengan makam Ratu Melisande (1105-1160). Berbagai ornamen, berupa lampu-lampu gantung yang ada dalam gereja ini tampak indah dan terawat baik.
Lampu-lampu gantung dengan kerangka kuningan dan kaca warna merah memikat mata para peziarah. Di dinding gereja digantung berbagai ikon yang menggambarkan Bunda Maria.
Di Grotto terdapat tiga lukisan dinding yang masing-masing menggambarkan: Yesus berdoa bersama kedua-belas murid-Nya, Bunda Maria naik ke Surga, dan Yudas Iskariot mencium Yesus.
Inilah yang disebut ciuman pengkhianatan, karena di tempat inilah kisah tentang pengkhianatan dan penangkapan Yesus terjadi.
Doktrin tentang Bunda Maria Diangkat ke Surga diumumkan secara resmi oleh Paus Pius XII, Pelindung Seminari Kisol, pada tanggal 1 November 1950.
Maria Diangkat ke Surga, dalam bahasa Latin: Asumpta, yang diperingati setiap tanggal 15 Agustus, merupakan pesta ketiga Maria dalam tahun Liturgi.
Dua pesta lainnya adalah Maria Bunda Allah (1 Januari) dan Immaculate atau Tidak Bernoda (8 Desember). Pesta ini mulai diperingati sejak akhir abad IV.
Dogma ini merupakan akhir dari satu proses yang sudah berlangsung lama, didukung refleksi teologis dari para Bapa dan Pujangga Gereja. Dogma Asumpta ini disebut-sebut sebagai ‘mahkota tertinggi dari seluruh privilegio Bunda Maria’.
Dalam salah satu bagian dogma itu, Paus Pius XII menulis: “Pronuntiamus, declamamus ac definimus divinitus revelatum dogma esse – kami mengucapkan, menyatakan, dan menetapkan kebenaran ini sebagai wahyu.”
Paus juga menyatakan dalam dogma itu, “Mater Dei, Immaculate, simper Virginis – Maria Bunda Allah, tak bernoda, dan selalu perawan” diangkat ke surga jiwa-raga dalam kemuliaan surgawi.
Yang telah diputuskan oleh Paus Pius XII itu dipertegas lagi oleh Konsili Vatikan II dengan menetapkannya sebagai iman gereja: Dibebaskan dari semua noda-dosa asal, perawan tak bernoda, diangkat ke surga badan dan jiwanya ke dalam kemuliaan surga, setelah menyelesaikan masa tinggal sementara di dunia.
Menurut catatan sejarah gereja, sebagaimana diuraikan Prof. Dr. Mardiatmaja, SJ, dosen KPKS, sebenarnya pesta Perawan Maria Diangkat ke Surga pertama kali dilakukan pada awal abad V.
Pada saat kaisar Mauricius Flavius (582-602) penguasa Byzantium, pesta Bunda Maria yang jatuh pada tanggal 15 Agustus secara resmi dimasukkan ke dalam kalender Gereja Timur.
Saat itu, tanggal 15 Agustus merupakan hari raya, istilahnya “Bunda Maria Tidur” (Dormitio), yaitu untuk memperingati wafatnya Bunda Maria.
Namun kemudian diubah menjadi peringatan Bunda Maria Diangkat ke Surga. Adalah Santu Gregorius dari Tours (wafat tahun 593) di Barat yang sangat gigih berkhotbah tentang Pengangkatan Bunda Maria ke Surga dengan seluruh raganya.
Baru pada abad VII, Roma memasukkan pesta itu ke dalam Kalender Gereja. Paus Adrianus (772-795) yang kemudian diangkat menjadi Santo, secara resmi mengubah perayaan wafat Bunda Maria (Dormitio) menjadi Diangkat ke Surga (Asumpta).
Para pendukung gagasan dogma “Bunda Maria Diangkat ke Surga” adalah Santo Albertus Agung, Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, Santo Bernadinus dari Sienna, Santo Robert Belarminus, Santo Francis de Sales, Santo Petrus Kanisius, dan Santo Alphonsus Ligouri.
Sampai pada akhirnya Paus Pius XII, pada tanggal 1 November 1950, mengumumkan “Apostolic Constitution Munificentissimus Deus” sebagai dogma tentang Maria Diangkat ke Surga dengan seluruh jiwa-raganya.
Kembali ke Gethsemani. Yohanes, Pengarang Injil, menulis, Taman Gethsemani merupakan tempat yang disukai Yesus. Taman ini adalah tempat di mana Yesus seringkali datang untuk merenung dan berdoa.
Itulah pula yang dilakukan setelah perjamuan terakhir. Di taman inilah Yesus menghabiskan malam terakhirnya sebelum menjalani masa paling pedih dalam hidupnya. Di tempat ini pula, Yesus merasa gentar dalam kemanusiaan-Nya menjelang kematian di Kayu Salib.
Dalam Mazmur 130:1,6 Yesus berdoa: “Dari jurang yang paling dalam Aku berseru kepada-Mu, ya Tuhan, dengarlah suara-Ku. Jiwa-Ku mengharapkan Tuhan lebih daripada kerinduan pengawal yang berjaga mengharapkan pagi.”
Dalam konteks zaman modern, kita kembali diingatkan akan masa-masa genting dan kritis Yesus di Taman Gethsemani oleh lirik lagu Jammy Thomson:
It was alone the Savior prayed in dark Getshemane. Alone He drained the bitter cup. And suffered there for you and me. He gave himself and died to save the world!