Dalam tujuh paragraf tulisan Om Pius, diulas tentang Kampung Nul yang merupakan wilayah Kedaluan Riwu masa itu. Saya tertarik meneruskan paragraf ini dengan merajut ingatan dari kumpulan kedekatan masa kecil dengan Opa Yohanes Dampung, Dalu Riwu yang disebut dengan bangga oleh Om Pius.
Oleh Bernadinus Steni
Tulisan ini terinspirasi oleh cerita berjudul “Ruteng Selayang Pandang: Makin Dipandang Kian Terpandang” yang dimuat di media online detakpasifik.com, 11 November 2021. Penulisnya, Pius Rengka, seorang kolumnis kawakan NTT yang kemampuannya mengukir kata ibarat pahatan Michael Angelo. Bikin orang diam termangu, lalu berlutut sembari berdecak kagum.
Tulisan di media online itu adalah salah satunya. Narasinya demikian apik, mengalir. Pilihan diksinya sungguh memikat sembari menggugah memori tentang perubahan sosial Manggarai, hanya dalam beberapa helaan napas. Benar-benar keren. Dalam tradisi Manggarai, saya panggil penulis ini dengan sapaan Om. Untuk menghormati beliau, saya lebih nyaman memanggilnya Om dalam tulisan ini.
Dalam tujuh paragraf tulisan Om Pius, diulas tentang Kampung Nul yang merupakan wilayah Kedaluan Riwu masa itu. Saya tertarik meneruskan paragraf ini dengan merajut ingatan dari kumpulan kedekatan masa kecil dengan Opa Yohanes Dampung, Dalu Riwu yang disebut dengan bangga oleh Om Pius.
Ingatan Om Pius terhadap momen-momen itu luar biasa kuat. Irisan kata pada setiap peristiwa yang beliau tayangkan, barangkali meniru cara Pramoedya menukil memori tentang sejarah masa remajanya yang menuntun sang punggawa sastra untuk menandaskan sejumlah roman, termasuk tetralogi splendid di Pulau Buruh itu. Semuanya itu hanya bermodalkan memori. Begitu kuat. Begitu digdaya.
Baca: Ruteng Selayang Pandang: Makin Dipandang Kian Terpandang
Memori pula yang menuntun saya menulis artikel ini. Tidak sehebat ingatan Om Pius, tetapi barangkali masih ada gunanya, jika kata “guna” masih dipandang perlu untuk dinyatakan di hari-hari politik yang tanpa guna belakangan ini. Meskipun begitu, saya percaya dengan ungkapan Eliezer Wiesel, penerima Nobel Perdamaian 1986, bahwa “Tanpa memori, tidak ada kebudayaan. Tanpa memori, tidak ada peradaban, tidak ada masyarakat dan tidak ada masa depan”.
Memori, dalam pengertian Wiesel adalah batu penjuru peradaban. Mungkin ungkapan Wiesel terlalu tinggi untuk sepotong memori yang barangkali tidak berguna buat kebanyakan orang, tetapi bagi saya dan satu atau beberapa pembaca di luar sana, amat berguna. Itu saja, sudah cukup sebagai alasan menulis kisah ini.
Mendiang Opa Yohanes Dampung berpulang tahun 1993. Kenangan akan beliau masih terpatri dalam sebagian hati keluarga Riwu. Ia dan generasi se-zamannya lahir dari tradisi ketika Manggarai belum terbentuk sebagai kesatuan budaya maupun politik. Di era mereka, narasi integrasi sosial berkelindan dengan kenangan peperangan antarsuku.
Ingatan itu amat berpengaruh sebagai modal untuk membangun watak struktur sosial dan perilaku individu yang tertib dan tunduk pada sistem. Ketangguhan seorang pemimpin sangat diandalkan, bukan semata-mata untuk menata relasi sosial yang rapuh, tetapi sebagai contoh sikap dan tutur. Opa Dampung menunjukkan karakter itu dalam sebagian narasi hidupnya yang mampu saya rekam.
Saya tidak akan bertutur seluk beluk bagaimana beliau menyelesaikan perkara dalam peran sosial kedaluan. Tentang cerita itu, kalimat tipis dan padat dalam tulisan Om Pius sudah cukup mengatakannya. Selain bahwa saya tidak punya cukup ingatan untuk mengais kembali peristiwa-peristiwa itu jadi potongan kalimat.
Mungkin yang penting adalah suatu saat karakter kepemimpinan semacam itu perlu diteliti kembali oleh Sosiolog atau Ilmuwan Politik sebagai warisan etos kepanduan dari dalam masyarakat sendiri. Leadeship from within. Pejabat publik (lokal) perlu legowo untuk belajar mendaur emas dari khazanah sosial masyarakat sendiri. Amat sering mereka studi banding di tempat lain. Lebih sering tidak membawa apa-apa, selain uang saku dan tampilan baru.
Tentang Opa Dampung, baiklah saya mulai dari satu hal. Yakni bagaimana beliau menjamu tamu-tamu jauh. Bukan pejabat tinggi berdasi, tetapi para penjaja ikan. Rumah, apalagi rumah pribadi untuk status sosial seperti itu, seringkali wilayah sakral yang kedap dari relasi sosial. Orang tidak sembarang menerima tamu. Apalagi orang asing yang bukan siapa-siapa. Opa Dampung tidak! Beliau membuka pintu lebar-lebar justru pada orang-orang yang seringkali gagal mendapat tempat berteduh. Mereka yang adalah peziarah asa, yang berharap agar ikan-ikan mereka diganti helaian rupiah di musim komoditas.
Sudah merupakan lazim di Manggarai, barangkali juga di tempat lain, daerah-daerah penghasil kopi diserbu para penjual dagangan keliling. Puncaknya adalah bulan Juli-Agustus. Selama hari-hari itu, musim panen bikin kampung semarak dengan jemuran panen, terutama kopi. Vanili dan cengkeh agak belakangan. Kopi adalah andalan utama. Sebagian besar Poco Ranaka, seperti Colol, Rengkam, Tangkul dan pesisir Wae Wake termasuk Kampung Lento tempat tinggal Opa Dampung adalah sentra kopi Manggarai ketika itu.
Para penjaja ikan paham betul, saat panen sedang berlangsung, petani seringkali merasa perlu mengubah komposisi menu harian. Saat itulah, penjaja ikan hadir. Dengan Rp 200 – Rp 500, satu dua ikat berpindah tangan. Rutinitas yang tadinya hanya nasi sayur serta merta disuguhi ikan kering atau sesekali ikan besar. Lahap! Kadang tidak perlu minyak. Cukup dibakar, duhhhh… wanginya saja sudah bikin ngiler. Hubungan simbiosis pun terjadi. Hanya ketika para penjaja ikan itu hadir, momen yang berbeda rasa ini terjadi.
Namun jangan bayangkan para penjaja dagangan itu seperti gerobak dorong dan sejenisnya seperti di Jawa. Mereka memikul jajanan mengandalkan kekuatan fisik. Dari kampung ke kampung, penjaja ikan melipat gunung dan lembah dengan kibasan langkah, sembari menanggalkan cemas dan kuatir, kalau-kalau dagangan tak laku. Belum lagi masa itu. Sewaktu-waktu ada begal atau rampok yang enggan menjarah dari orang kaya. Sontoloyo! Mereka justru mengayau sesama rakyat jelata. Demikianlah. Peluh dan asa dalam profesi ini benar-benar menantang ketegaran hati dan tekad. Penjaja ikan jauh lebih menantang. Ikan harus segera laku sebelum bakteri pembusuk tergoda mendekat.
Di tiap kampung, para penjaja ikan mempunyai rumah singgah yang mereka identifikasi karena beberapa pertimbangan. Seseorang pernah bercerita. Salah satu ukuran untuk jadi rumah singgah adalah tampilan binatang peliharaan. Kalau anjing tuan rumah nampak gemuk dan terawat, tentu tuan rumahnya cukup mampu menjamu orang. Maka, menginaplah di rumah itu. Piaraan yang kurus kerempeng adalah wajah suram yang mewakili majikannya. Jangan mampir. Kasian si tuan rumah. Mungkin hatinya baik, tetapi dapurnya kurang bersahabat untuk menambah satu penumpang di rumahnya.
Ukuran lainnya adalah kebaikan hati pemilik rumah. Walaupun peliharaan terurus, pemilik rumah seringkali menutup pintu. Tidak mau diganggu! Satu-satunya cara adalah menutup pintu. Mungkin saja si pemilik rumah sedang ogah membagi ruang buat orang lain. Atau ada urusan tertentu yang tidak membolehkan orang lain hadir. Apalagi menjamu tamu tak dikenal.
Tetapi tidak hanya itu. Tutup pintu juga soal status. Di kampung-kampung, hasrat (naik) kelas terwakili dalam cara berelasi. Senyum lebar buat tamu berkantong tebal, tetapi enggan menerima tamu sekelas penjaja ikan. Buat apa membuka pintu untuk orang berkaki tèla (pecah-pecah) dan badan tidak berakrab sabun. Tidak penting!
Di Kampung Lento, di rumah sepuh Kedaluan Riwu itu, para penjaja ikan justru antri untuk singgah. Sama sekali tidak ada sungkan dan halangan bagi mereka. Kapan pun itu, mereka pasti di sana. Tidak hanya buat nginap. Sekedar mampir untuk mengunjungi si Opa pun, mereka lakukan. Di sana ada “kuliah” sejarah. Opa bertutur tentang masa lalu. Tentang muasal mereka sendiri. Diri mereka sendiri. Siapa yang menolak kemewahan semacam itu. Kisah hebat dari seorang tokoh yang punya otoritas adalah impian.
Dunia saat itu adalah dunia yang hanya mengandalkan tuturan lisan sebagai ukuran mewarisi ilmu atau orang berpengetahuan. Buku adalah barang langka. Sementara gadget masih dalam mimpi Steve Jobs. Cerita Opa Dampung adalah kelas gratis yang bikin para penjaja ikan itu betah. Mereka dibawa kembali ke leluhur mereka, kampung-kampung, relasi antargendang, sejarah wilayah dan mitos.
Pernah saya dengar cara Opa bercerita. Amat ringan. Ada analogi dan metafor yang kadang serius, kadang lucu. Orang buta huruf pun mudah mencernanya. Di sela cerita itu, beliau menyelinginya dengan kutipan Kitab Suci. Tentang Abraham, Sarah, Yakub, Ribka ibu Yakub, Musa, Ayub, Yunus, bahkan tokoh fenomenal Yesus dan Bunda Maria. Semua mereka itu menjadi ilustrasi tentang nilai tertentu yang barangkali beliau mau diungkapkan. Saya tidak paham. Tapi saya ingat nama-nama itu yang di kemudian hari saya baca. Ternyata pelajaran Alkitab.
Ketika beliau telah berpulang tahun 1993, kehilangan tidak hanya milik orang Riwu. Beberapa tahun berikut sejumlah penjaja ikan yang pernah mendengarkan beliau, mampir kembali. Tidak ada lagi cerita. Tidak ada lagi legenda dan sejarah. Mereka hanya menemukan kenangan. Di balik kayu kusam dan papan tua rumah itu, para penjaja ikan pernah menemui seorang tokoh wilayah yang humble. Dia membawa mereka dalam petualangan imajinasi. Oleh cerita-cerita beliau, mereka paham tentang kampungnya, asal usul, dan mengapa mereka ada di tempat itu. Sesuatu yang dewasa ini disebut sebagai geografi sosial atau bahkan etnografi.
Tetapi buat para penjaja ikan itu mereka menemukan sesuatu yang lain. Ternyata tidak semua tokoh menutup pintu untuk rakyat jelata. Ada satu atau barangkali dua atau tiga tokoh yang tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat. Dalu Riwu itu salah satunya. Saya tidak tahu lagi, pemimpin-pemimpin sekarang ini belajar dari siapa.
Penulis adalah cucu Dalu Riwu. Belajar sosial-ekologi. Tinggal di Jakarta