Oleh Pius Rengka
Pembentukan Danantara bukan sekadar langkah strategis, tetapi juga manifestasi dari impian lama yang telah bersemayam dalam pemikiran ekonom besar Indonesia, Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Seperti yang diungkapkan oleh Hasyim Djojohadikusumo, adik kandung Presiden Prabowo Subianto, gagasan ini telah berakar sejak empat dekade silam. Danantara didirikan dengan tujuan utama mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Tidak heran, Prabowo Subianto tampak begitu terharu ketika inisiatif ini akhirnya dapat diwujudkan dalam masa pemerintahannya.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa reaksi publik terhadap Danantara cenderung beragam. Di satu sisi, ada optimisme, terutama dari lingkaran dalam istana kepresidenan. Di sisi lain, muncul resistensi dari berbagai kalangan yang skeptis terhadap efektivitasnya. Realitas politik memang tak pernah lepas dari tarik-menarik kepentingan. Dalam konteks ini, pembentukan Danantara menjadi medan ujian bagi hipotesis masing-masing kubu: apakah ini benar-benar solusi untuk kemiskinan atau hanya lembaran baru dari dinamika kekuasaan?
Lebih jauh, menarik mencermati keterkaitan antara wacana besar Danantara dengan fenomena pengungkapan kasus korupsi berskala besar di Indonesia, seperti skandal di Pertamina. Apakah ini sebuah korelasi yang disengaja, bagian dari strategi kolekte dana untuk Danantara, atau sekadar kebetulan dari dua fenomena politik yang terpisah? Sebagai rakyat biasa, kita hanya bisa menyimak dengan cermat, seraya berharap bahwa para pencuri uang negara dihukum seberat-beratnya, hingga ke batas maksimal yang diizinkan hukum.
Korupsi dan Mentalitas Kejahatan yang Tersenyum
Salah satu fenomena yang mencolok adalah bagaimana para koruptor tetap tersenyum lebar ketika mengenakan rompi oranye di depan kamera. Apa yang melatarbelakangi gestur ini? Ada beberapa kemungkinan yang bisa dianalisis.
Pertama, senyuman itu bukan sekadar ekspresi keberanian, tetapi juga refleksi dari keyakinan mereka terhadap lemahnya sistem hukum di Indonesia. Mereka tahu bahwa meski ditangkap, peluang untuk kembali menjalani hidup nyaman tetap terbuka lebar. Uang yang mereka jarah tidak serta-merta lenyap, melainkan masih tersimpan rapi, siap mengalir ke berbagai pihak yang “berjasa” dalam mengamankan nasib mereka.
Kedua, koruptor ingin menunjukkan bahwa mereka tetap memiliki daya tawar politik. Mereka bukan sekadar pesakitan, tetapi juga aktor politik yang masih memiliki pendukung. Dalam sistem politik yang permisif terhadap korupsi, reputasi mereka tidak selalu runtuh; bahkan, ada yang tetap dihormati setelah keluar dari penjara.
Ketiga, ada unsur narsisme dan megalomania dalam diri para koruptor. Mereka melihat diri mereka sebagai sosok yang superior, merasa berhak atas kekayaan publik, dan menampilkan mentalitas “untouchable.” Fenomena ini sejajar dengan cara kerja mafia di berbagai belahan dunia: korupsi bukan sekadar kejahatan, melainkan bagian dari ekosistem kekuasaan.
Keempat, solidaritas di antara para koruptor sering kali lebih kuat daripada gerakan ideologi mana pun. Mereka saling melindungi, bahkan dalam jeruji besi. Mereka tahu bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada mereka hanyalah formalitas, dengan peluang besar untuk mendapatkan remisi dan fasilitas mewah di dalam penjara.
Dari Korupsi ke Perspektif Kepemimpinan
Jean Blondel dalam Political Leadership (1987) menyebutkan bahwa kepemimpinan diuji ketika pemimpin menghadapi masalah besar. Indonesia kini berada di titik kritis ujian kepemimpinan itu. Bagaimana negara ini merespons korupsi? Apakah hanya menjadi negara yang pemaaf bagi para pencuri uang rakyat, atau mampu bertindak tegas seperti China dan Korea Utara yang tak ragu menjatuhkan hukuman mati bagi koruptor?
Secara kriminologis, perilaku koruptif tidak hanya berkaitan dengan ekonomi dan politik, tetapi juga aspek psikologis. Banyak koruptor menunjukkan tanda-tanda gangguan kepribadian antisosial: manipulatif, tidak memiliki rasa bersalah, dan hanya peduli pada keuntungan pribadi. Bagi mereka, hukum adalah permainan, dan mereka adalah pemain ulung yang mencari celah di setiap regulasi.
Jika dibiarkan, korupsi akan terus menggerogoti Indonesia, melumpuhkan sistem demokrasi, dan membunuh harapan rakyat. Maka, solusi yang diperlukan bukan sekadar retorika, tetapi aksi nyata: reformasi hukum yang tegas, penghancuran jaringan koruptor, dan perubahan budaya sosial yang menempatkan kejujuran sebagai nilai utama.
Indonesia harus memilih: menjadi negara yang menormalisasi kejahatan korupsi, atau mengambil langkah drastis seperti China dan Korea Utara. Jika korupsi tetap diperlakukan sebagai permainan kekuasaan, maka jangan heran jika para pencuri uang rakyat terus tersenyum lebar di depan kamera, sementara rakyat jelata terus menanggung penderitaan akibat ulah mereka.