Demokrasi Murah atau Mahal: Sebuah Pilihan Dilematis

Pemilihan kepala daerah secara langsung diadopsi sebagai bagian dari upaya memperkuat demokrasi partisipatif. Namun, di sisi lain, muncul tantangan terkait dengan biaya politik yang tinggi, potensi politik uang (money politics), serta praktik klientelisme yang justru dapat menghambat esensi demokrasi itu sendiri (Aspinall & Berenschot, 2019).

Pius Rengka

Oleh Pius Rengka

Peristiwa di Aula Rumah Jabatan Gubernur NTT pada 10 November 2011 menjadi momentum reflektif bagi perkembangan demokrasi lokal di Indonesia. Seminar bertajuk “Pemilihan Gubernur dan Nasib Demokrasi Lokal” menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya Dr. Chairuman Harahap dari DPR RI dan Prof. Dr. Purwo Santoso dari FISIPOL UGM.

Salah satu pertanyaan mendasar yang mencuat dalam diskusi tersebut datang dari Drs. Frans Skera, seorang politisi senior NTT. Ia mempertanyakan apakah pemilihan kepala daerah secara tidak langsung dapat dianggap tidak demokratis. Baginya, pemilihan tidak langsung atau representative democracy tetap merupakan bagian dari praktik demokrasi yang sah.

Pertanyaan ini menjadi relevan dalam konteks transisi politik Indonesia pasca-Orde Baru. Pemilihan kepala daerah secara langsung diadopsi sebagai bagian dari upaya memperkuat demokrasi partisipatif. Namun, di sisi lain, muncul tantangan terkait dengan biaya politik yang tinggi, potensi politik uang (money politics), serta praktik klientelisme yang justru dapat menghambat esensi demokrasi itu sendiri (Aspinall & Berenschot, 2019). Dalam konteks daerah periferal seperti Nusa Tenggara Timur, pertarungan politik sering kali lebih banyak dipengaruhi oleh relasi patron-klien ketimbang oleh visi dan program calon pemimpin (Hadiz, 2010).

Klik dan baca juga:  Kita Bukan Lagi Orang Asing dan Pendatang

Dilema Demokrasi: Murah atau Mahal?

Isu biaya demokrasi telah menjadi perdebatan panjang dalam politik Indonesia. Demokrasi langsung yang diterapkan sejak 2004 memungkinkan rakyat memilih pemimpin mereka secara langsung, tetapi dengan konsekuensi biaya politik yang besar. Menurut laporan KPU, dalam Pemilu 2019 saja, total biaya yang dihabiskan negara mencapai Rp25,59 triliun (KPU, 2020).

Angka ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan oleh para kandidat dan partai politik, yang sering kali melebihi batas kewajaran. Di daerah periferal seperti NTT, kandidat kerap menghadapi tekanan finansial untuk membiayai kampanye, yang berisiko memunculkan praktik politik uang dan pembelian suara (Tans, 2021).

Sebaliknya, pemilihan kepala daerah secara tidak langsung—melalui DPRD seperti yang diusulkan dalam revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tahun 2014—dianggap lebih murah dan efisien. Model ini pernah diterapkan sebelum reformasi dan dianggap dapat mengurangi biaya politik yang tinggi. Namun, kelemahannya adalah potensi meningkatnya politik transaksional di dalam parlemen, di mana pemimpin daerah lebih bertanggung jawab kepada elite politik ketimbang kepada rakyat (Hadiz & Robison, 2013).

Klik dan baca juga:  Failed Nation: Satu Lelucon Politik?

Konteks Demokrasi di Nusa Tenggara Timur

NTT sebagai bagian dari Indonesia memiliki karakteristik politik yang unik. Keterbatasan infrastruktur politik, tingkat kemiskinan yang tinggi, serta masih kuatnya pengaruh politik berbasis patronase membuat demokrasi di daerah ini menghadapi tantangan serius. Sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian Yanuarti et al. (2020), pemilih di daerah marginal cenderung memilih kandidat berdasarkan kedekatan sosial dan ekonomi, bukan atas dasar program dan kompetensi.

Selain itu, reformasi birokrasi di NTT di bawah kepemimpinan Viktor Bungtilu Laiskodat menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan, struktur politik yang didasarkan pada jaringan kekuasaan lokal tetap memainkan peran dominan. Demokrasi langsung di daerah ini sering kali tidak terhindar dari mobilisasi suara berbasis identitas etnis dan kelompok kepentingan tertentu (Aspinall, 2019).

Kesimpulan

Debat tentang apakah demokrasi harus murah atau mahal mencerminkan dilema yang lebih luas dalam sistem politik Indonesia. Demokrasi langsung memberikan ruang partisipasi yang lebih besar bagi rakyat, tetapi dengan konsekuensi biaya politik yang tinggi dan risiko korupsi elektoral.

Klik dan baca juga:  Investasi Sumber Daya Manusia

Sebaliknya, demokrasi tidak langsung dapat mengurangi biaya, tetapi dengan potensi memperkuat oligarki politik. Dalam konteks daerah periferal seperti NTT, dilema ini menjadi semakin kompleks karena struktur sosial-politik yang masih didominasi oleh hubungan patronase dan ekonomi-politik yang terbatas.

Diperlukan pendekatan yang lebih adaptif untuk memastikan bahwa demokrasi tidak sekadar menjadi mekanisme prosedural, tetapi juga instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Reformasi dalam pendanaan politik, transparansi dalam proses elektoral, serta peningkatan kapasitas institusi demokrasi di tingkat lokal menjadi beberapa langkah yang dapat diambil untuk menjawab dilema ini. Sebab, pada akhirnya, demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi juga tentang bagaimana sistem politik dapat menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar berpihak pada rakyat.