Oleh Pius Rengka
Seperti biasa, musim kemarau bulan Agustus, hari siang begitu cerah. Juga ceria. Meski penduduk kota mengeluh peluh digempur terik mentari, tetapi Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, di siang nan panas itu sumringah bagai pemuda sedang kasmaran. Itu hari, adalah ketika dr. Agus Taolin, berulang tahun ke 64.
Di siang itu, tuan rumah menyambut banyak tamu. Mereka datang bergelombang silih berganti dari berbagai kampung dan ragam lapisan sosial.
Didampingi istri terkasih, Bunda Freny Sumantri Taolin, pria yang kini Bupati Belu, pencetus pelayanan kesehatan gratis untuk rakyat itu, bercurah keringat lantaran tak henti-henti menyambut tamu para pemberi ucapan kepadanya. Sampai di sini kita mengerti. Suhu Kota Atambua, memang sedang didih dibakar sinar mentari bulan Agustus, tetapi juga mendidih di semua dinding dimensi sosial.
Orang juga banyak tahu, itu kota menyimpan sejarah dari aneka kisah di masa silam. Banyak peminat ceritera sejarah, menaruh hormat pada kota itu lantaran dia menyimpan kisah tragika transisi muhibah penduduk Timor Leste, pasca-jajak pendapat 1999. Ada gagal urus, tetapi ada juga pemberi harapan. Tetapi, Atambua tak pernah berhenti berdenyut pagi siang hingga malam.
Itu kota pun adalah daerah kantung, di mana tradisi dianggap lebih penting dari kemajuan, di mana adat adalah kekuatan dominan. Cinta yang lama ditimang-timang setekun orang memupuk dendam lama dan kesetiaan tali kekeluargaan serta ikatan feodal yang kusut berbelit-belit.
Memang, ada kota yang bersifat jantan dari pembawaannya, penuh hiruk pikuk, dan berbangga dengan kerja-kerja bongkar pasang teras rumah seolah-olah itulah keutamaan. Sementara kota yang lain, berperangai betina. Suka kenikmatan, mencandui kefanaan, dan gemar mengejar tetek bengek yang remeh temeh.
Bahkan ada kota, dihuni para politisi yang doyan bicara isu cengeng kecengengan yang naif. Seperti tak menaruh hormat pada prestasi dan temali reputasi orang lain.
Ketika siang menjelang rembang petang, 11 Agustus 2024, Pemerintah Kabupaten Belu, di Atambua, melalui Robertus Bria Seran staf Kominfo, mengundang saya mencermati buku karyanya berjudul: Garis Waktu, Antara Petualangan dan Pemikiran.
Robert, demikian pria ini biasa disapa, adalah lelaki lincah bertubuh gempal sehat, tetapi pekerja keras. Ia jurnalis yang kemudian terdampar di tengah pelabuhan jebakan pegawai negeri di Atambua. Pria kelahiran Malaka itu riang, mengarungi lautan hidupnya dengan tombak otak cemerlang, gesit dan cerah. Dia telah berkelana di dunia tulis warta sejak 2021. Dia sudah biasa menulis berita. Dia memanah fakta dengan kata-kata.
Saya menaruh hormat kepadanya, terutama karena dia menaruh respek pada intelektualitas. Dia juga pemburu kebenaran, karena itulah dia menjadi jurnalis. Dia pun pemahat objektivitas. Baginya fakta adalah data, dan data adalah kenyataan. Dan, kenyataan itulah yang ditulisnya di dalam buku dengan narasi sejenis kesaksian. Robert ulet dan diakui kalangan sejawat terutama diapresiasi oleh Sekda Kabupaten Belu, Johanes Andes Prihatin, S.E., M.Si. Sekda Belu ganteng nan cerdas ini, mendaulat pengakuannya melalui kata pengantar di buku karya Robert.
Bagi saya, Robert Bria Seran adalah apa yang dia lakukan. Mengapa? Sebab ada tertulis, sesungguhnya, siapa kita telah ada di wajah kita masing-masing untuk dibaca oleh semua orang. Jika Anda berprestasi entah dalam urusan apa, misalnya, memang itulah Anda. Tetapi, jika Anda gagal, itulah juga Anda. Tak lebih dan tak kurang dari itu. Di buku karyanya, Robert mencatat deskriptif prestasi dan reputasi Bupati Belu, dr. Agus Taolin, alumnus Fakultas Kedokteran UGM.
Ketika saya membaca bukunya, seakan-akan tanpa sadar saya diserbu usia tua. Maka, saya pun hadir mengkritisi buku karya Robert Bria Seran, pria kelahiran Malaka.
Catatan Keberanian
Presiden Amerika, John F. Kennedy mengutip Thomas Carlyle (4 Desember 1795 – 5 Februari 1881): “Adalah lebih terhormat hidup secara jantan daripada mati secara terhormat”.
Carlyle adalah pencetus pertama teori Kepemimpinan Politik yang dikenal dengan nama The Great Man Theory, pada abad 18 awal. Banyaklah nasihat Carlyle yang menggerus perhatian, tetapi juga patut dirajut seturut konteks terutama ketika dikatakannya: “No pressure, no diamonds.” = Tanpa tekanan tiada berlian.
Pemimpin, terutama pemimpin negara di mana pun, diwajibkan konstitusi dan hukum moral untuk bekerja mengurangi penderitaan rakyat, menjaga ketertiban sosial dan menjaga keamanan rakyat dan negara. Jika di birokrasi ada pembagian tugas menjadi dinas atau bagian, maka fakta itu tidak lebih dari distribusi wewenang untuk mengatasi masalah rakyat.
Misalnya, dinas pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Itu dinas dibuat sebagai bagian dari cara negara untuk mengurangi penderitaan rakyat. Dinas PUPR berurusan membuat jalan baik. Jalan baik untuk mengatasi penderitaan rakyat dari jalan kaki berlama-lama dari kampung ke kampung sembari memikul hasil kebun. Dinas kesehatan dibuat, untuk mengatasi penderitaan rakyat dari timpaan sakit dan penyakit. Begitulah seterusnya.
Maka pemimpin politik adalah pemecah masalah sosial. Untuk menemukan pemimpin politik pemecah masalah itu, kita butuh Pemilu seturut tuntutan sistem rezim demokrasi. Pemilu yang baik ialah ketika para kompetitor berkompetisi program kerja dan pengalaman mengerjakan program. Artinya, para kompetitor berkompetisi kekuatan akal sehat, bukan penjamakkan akal sakit dan ceritera buruk. Akal sehat akan menemukan rumusan masalah dan solusi atas masalah yang tepat, sedangkan aktor akal sakit akan hidup melingkar di dalam masalah bahkan cenderung tak sanggup keluar dari masalah lalu melingkar dengan para setan sambil membuat lingkaran setan. Politik para politisi berotak sehat tidak demikian.
Pemilu hanyalah salah satu metode untuk mencari dan menemukan pemimpin terbaik dari sejumlah calon pemimpin yang baik. Pemimpin terbaik ialah pemimpin yang senantiasa berpikir, berbuat dan bertindak untuk mengeluarkan rakyatnya dari penderitaan. Sedangkan pemimpin buruk adalah pemimpin yang bermimpi tentang hal buruk, sambil melingkar dalam masalah-masalah buruk.
Seturut buku karya Robert Bria Seran, salah satu penderitaan akut yang mengancam hidup penduduk rakyat Belu adalah masalah kesehatan. Tetapi, dua setengah tahun belakangan ini, masalah itu kian digerus hingga tipis lantaran program pengobatan gratis yang dilancarkan oleh Pemerintah Belu di bawah kendali Bupati dr. Agus Taolin. Pengakuan kemudian datang mengalir dari berbagai pihak antara lain dapat dilihat melalui tayangan program Kick Andy yang berkisah tentang para aktor utama yang memiliki keutamaan.
Robert Bria Seran, melukiskan tanpa intensi promosi, tetapi dia melukiskan fakta karena fakta adalah data, dan data adalah kenyataan. Kenyataan itulah yang nyaring berbicara jauh lebih gemuruh dibanding kata-kata.
Buku karya Robert Bria Seran ini mendapat sambutan luas para peserta launcing buku yang dihadiri warga Belu dari berbagai kalangan. Ada dua kata kunci yang termaktub jelas di dalam narasi kesaksian para penutur yang menjadi sumber kisah buku Robert yaitu desisif dan presisif.
Pada puncaknya saya temukan diksi kepercayaan (trusty) yang timbul sebagai produk dari modal sosial, modal intelektual, dan modal politik. Kepercayaan itu muncul karena ada perbuatan berulang. Perbuatan berulang menjadi tradisi sikap dan tindakan harian lantaran adanya sikap jujur, bersih yang di kalangan akademisi administrasi negara atau para ahli kebijakan publik menyebutnya dengan clean government, clear government yang kemudian tampak melalui tindakan desisif dan presisif.
Desisif karena menyentuh masalah substansial yang diperlukan penyelesaian masalah pokok yang dialami rakyat, sedangkan presisif karena ketepatan merumuskan masalah dan formulasi metode atau solusi untuk menyesaikan masalah. Tujuannya simpel. Rakyat eksodus dari derita panjang perhambaan yang belum pernah rampung dikerjakan.
Selaku pencermat buku itu, saya cuma cek beberapa hal yaitu cek bahasa/kata, cek kalimat, cek logika, dan cek koherensi. Lalu, saya ajukan catatan kritis terhadap buku tersebut terkait konteks perjalanan waktu tokoh yang ditulis, sambil melihat cermat perspektif pada setiap konteks perjalanan waktu itu, dan apa pula konten yang kerap muncul. Dengan kata lain ada tiga hal yang dilihat yaitu siapa aktor yang dibicarakan atau yang bermain pada setiap konteks, apa lembaga yang menonjol, dan apa pula diskursus yang kerap dibahas.
Begitulah.