Oleh Marsellinus Ado Wawo
Sepak Bola Ibarat Pedang Bermata Dua
Pedang bermata dua. Memiliki dua sisi yang tajam dan ujung yang runcing. Ke mana saja arahnya seseorang mengayunkan pedangnya, dia sedang mengayunkan kematian terhadap seseorang, dan mempertahankan kehidupan bagi dirinya sendiri. Dengan senjata itulah bangsa Romawi mampu menaklukkan dunia, dengan senjata yang sama juga Britania Raya mempertahankan kekuasaannya.
Dunia sepak bola juga demikian. Walaupun bola itu bundar, tak memiliki sisi yang tajam dan tidak memiliki pucuk yang runcing, tapi benda yang tak bersisi dan tak berujung itu dapat membuat Anda sedih dan gembira.
Bola dapat menghadirkan sedih dan gembira pada saat yang sama. Saat bola merobek gawang tim kesayangan Anda, saat itu juga Anda terdiam, sedih. Dan pada saat yang sama juga lawan Anda bernyanyi gembira, seakan-akan melagukan madah pujian.
Bola juga dapat menciptakan kondisi prahara. Kita mungkin masih ingat tragedi Heysel, di Brussel, Belgia, tanggal 29 Mei 1985. Ketika berlangsung pertandingan final Piala Champions antara Juventus vs Liverpool, terjadi kerusuhan antar pendukung Liverpool dengan Juventus. Banyak korban berjatuhan, ratusan luka-luka dan puluhan orang meninggal dunia. Seluruh dunia berderai air mata. Tidak ada kegembiraan, dunia berduka. Sepak bola telah mendatangkan kemurkaan dan kedukaan bagi kita semua. Kaum ultras dan hooligan dituduh harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Namun, pada aspek lain dalam kehidupan sosial, Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon, sebagai hewan yang bermasyarakat, berinteraksi satu dengan yang lain dalam sebuah perkumpulan atau organisasi. Ini konsepsi positif bagi kepentingan manusia dalam membangun kebersamaan, membangun kolektivisme, baik dalam aspek sosial itu sendiri dan aspek politik dan ekonomi.
Konsepsi sepak bola sebagai unsur pemersatu, seringkali diadopsi oleh para pemimpin politik untuk mencapai tujuannya. Banyak contoh menceritakan hal tersebut. Kita ambil contoh salah satunya yaitu Benito Mussolini, seorang beraliran fasisme dan menjadi pemimpin Italia pasca perang dunia pertama dan saat perang dunia kedua.
Benito Mussolini memanfaatkan konsepsi sepak bola sebagai unsur pemersatu atau sebagai atraksi kegiatan politiknya. Rupanya, Mussolini tahu benar kekuatan sepak bola yang dahsyat, ketika sanggup menghadirkan massa dalam sebuah momen di suatu tempat dan waktu tertentu.
Juga para kaisar imperium Romawi menciptakan olahraga ini untuk tujuan yang sama, sebagai hiburan tersendiri bagi para serdadunya, dikala istirahat usai berlaga di medan pertempuran.
Sebagaimana sejarah mencatat walau masih banyak perdebatan bahwa sepak bola sudah hadir pada jaman imperium Romawi Kuno sekitar tahun 700-800 Sebelum Masehi. Kala itu sepak bola bernama Harpastum, kemudian berganti nama Calcio.
Rupanya kekuatan sepak bola sudah dimanfaatkan oleh para kaisar dan komandan sebagai multi vitamin bagi jiwa-jiwa para serdadu di medan pertempuran.
Boleh jadi permainan ini menjadi terkenal seantero daratan Eropa dan Britania Raya, karena dibawa oleh serdadu imperium Romawi yang kala itu memiliki wilayah kekuasaan di daratan Eropa sampai Britania Raya hingga Asia.
Tentunya juga tidak ketinggalan Benito Mussolini meniru konsepsi ini dalam masanya. Kita wajib memberikan apresiasi kepada Mussolini, walau kita tidak suka dengan fasisme.
Apa salahnya memberikan penghormatan kepada Mussolini yang begitu besar jasanya dalam persepakbolaan Italia. Walau figur yang kontroversi, dianggap telah merusak tatanan politik demokrasi dengan sistem fasismenya. Bersepakat dengan Hitler untuk menguasai Eropa dan membawa fasisme untuk menjadi idelogi politik seluruh daratan Eropa.
Siapa pun pemimpin Italia sekarang ini, tidak mampu meniadakan atau menghapus jejak Mussolini dalam sejarah persepakbolaan Italia. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, patut diacungkan jempol bahwa Benito Mussolini besar jasanya dalam dunia persepakbolaan Italia. Terlepas adanya agenda politik Mussolini yang tersembunyi dalam urusan ini, yang memanfaatkan sepak bola untuk tujuan politiknya. Jangan sekali-kali melupakan sejarah (jas merah).
Dialah yang mendirikan Liga Italia Serie A. Dialah yang membangun beberapa stadion besar di beberapa kota besar di Italia, yang sampai sekarang masih berdiri dengan megah.
Dialah juga yang mengkreasi Timnas Italia menjadi juara dunia tahun 1934 untuk pertama kalinya di Italia dan dengan gaya politiknya membuat Italia juara dunia untuk kedua kalinya tahun 1938 di Prancis. Sayang, orang yang begitu besar jasanya dalam persepakbolaan Italia harus mati digantung oleh kader-kader partai komunis Italia, karena nafsu birahi politik.
Sepak bola, selain berpotensi menimbulkan prahara kemanusiaan, menimbulkan duka dan derita, menghadirkan kebahagiaan dan sukacita, sepak bola juga menghadirkan warna persatuan dalam keberagaman. Para pemain bersatu membela negara, siapa pun dia, rasnya, sukunya, agamanya dan warna kulitnya. Mereka satu membela negaranya di mana mereka hidup dan mati.
Peluang Italia
Italia sudah habis. Begitu pernyataan para pemerhati sepak bola usai menyaksikan pertandingan semifinal antara Italia melawan Spanyol. Bagaimana tidak, Italia yang begitu digdaya dari fase grup sampai babak knock out, harus gagap menghadapi Spanyol. Heran campur kecewa.
Sejak menit awal Italia bermain tidak sebagai tim yang diunggulkan di kejuaraan Euro 2020. Beda dengan penampilan Italia dalam babak fase grup, 16 besar dan perempat final.
Masih mujur buat Italia, dalam babak perpanjangan waktu, Spanyol tidak mampu menambah gol. Naas buat Spanyol, menguasai permainan, tapi tidak mampu menjadi pemenang. Nasib mujur buat Italia meraih kemenangan walau harus melalui adu penalti. Italia harus tetap bersyukur, dikepung selama 120 menit, tapi masih bisa keluar sebagai pemenang karena adu penalti.
Mungkin bukan saja warga Italia yang berhak cemas dengan model permainan Italia ketika melawan Spanyol. Para fansnya ikut cemas bahkan mungkin lebih cemas dari orang Italia sendiri. Pantas kecewa, bukan warga Italia tapi mendukung Italia, keluar modal pula.
Ada yang sampai menyinggung masa lalunya Italia. Sejatinya sebagai bangsa yang melahirkan sepak bola klasik di Eropa, tim asuhan Roberto Mancini harus tampil garang, cerdas, melakukan tekanan dan ancaman yang membuat ciut nyali pemain lawan. Sebagaimana dengan penampilan-penampilan sebelumnya. Kalau pun kalah, tetap kalah dengan terhormat, sebagaimana kesatria Romawi.
Perlu juga belajar tentang masa lalu. Demi membangun harga diri, harkat dan martabat Italia di mata dunia dan untuk kepentingan Timnas Italia, barangkali segenap pemangku kepentingan Timnas Italia harus introspeksi, menapaki secara imajiner, tentang jasa para pahlawan yang membangun sepak bola Italia. Mungkin ini yang masih kurang. Belajar dari semangat Mussolini.
Sebagai penggemar sepak bola bahwa apa yang dialami para pemain Italia adalah sesuatu yang manusiawi. Saat itu mereka tidak dalam kondisi yang prima. Mereka terpapar virus kejenuhan, kehilangan visi, pupusnya spirit kolektivisme, sirnanya kontrol permainan, merosotnya karakter para pemain menyebabkan para pemain Spanyol bangkit memberikan perlawanan.
Peluang Italia sangat besar untuk membawa pulang Piala Eropa ke Roma
Secara teknis tidak bermasalah. Para pemain adalah hasil seleksi dari Liga Italia Seri A dengan jam bermain yang padat dan latihan rutin yang terjadwal rapi. Soal teknik persepakbolaan bukanlah sebuah masalah bagi para pemain Italia.
Namun, tidak demikian dengan faktor non teknis. Menilik ke pertandingan semifinal melawan Spanyol, jelas terlihat ada masalah antara Insigne, Immobile dan Chiessa. Chiessa cenderung bermain sepihak dan egois. Istilahnya kurang berbagi, pada hal kalau berbicara kolektivitas, berbicara untuk kepentingan tim Italia.
Apabila Italia ingin memenangkan pertandingan di final nanti, yang pertama adalah membangun kembali spirit kolektivitas permainan tim. Kerja sama tim, supporting dan kolaborasi adalah tiga kata kunci dalam membangun kolektivitas.
Yang kedua, Mancini harus memotivasi spirit bermain bola. Para pemain kelihatan kehilangan mood untuk bermain, kayaknya terpapar penyakit kejenuhan. Ini menjadi penting, karena betapa pun hebatnya teknik individual, kalau tidak ada motivasi untuk bermain, semuanya menjadi sia-sia.
Yang ketiga, pemain Italia harus yang mengendalikan permainan, dengan memanfaatkan lebar lapangan, atau memberikan leluasa kepada gelandang tengah dan penyerang untuk bergerak dari box to box. Dengan demikian, baris pertahanan ikut terjaga dan membuka peluang untuk menciptakan gol.
Masalahnya, yang sering kita saksikan adalah peran pemain belakang yang tanpa sengaja rutin mengendalikan penyerangan. Dengan melakukan tik tak di belakang terkesan lamban dan memberikan kesempatan kepada lawan untuk berbenah.
Yang keempat dan yang paling penting adalah visi permainan. Secara tim maupun individu harus memiliki visi yang sama yaitu untuk menang.
Perkiraan line up Italia pada final Euro 2020: kiper, Donarumma, bek, Di Lorenso, Bonicci, Chiellini dan Emerson, gelandang, Barella, Jorginho, Verrati, penyerang, Chiessa, Immobile dan Insigne
Peluang Inggris
Timnas Inggris lebih baik nasibnya dari Italia, ketika melawan Denmark. Tidak banyak yang gumam dan gerutu. Hanya banyak yang menyayangkan dengan taktik pelatih Denmark, para pemain bermain seperti tawon di depan gawangnya.
Sistem parkir pemain di depan gawang adalah taktiknya Mourinho. Namun tidak terlalu efektif, buktinya klub yang ditangani Mourinho sering gagal juara. Ada yang komen, jangan-jangan pelatih ini satu guru satu ilmu dengan Mourinho.
Hampir semua pemain parkir di depan gawang, untuk mempersulit Sterling dan kawan-kawan mencetak gol. Namun upaya ini tidak berhasil, malahan menguntungkan Inggris ketika Sterling dijatuhkan di wilayah terlarang.
Pelatih Inggris lebih lihai. Dia membiarkan penyerang Inggris tersebut untuk utak-atik dan melakukan solo run di baris pertahanan Denmark. Hasilnya adalah pelanggaran dan penalti.
Hebat, kalau tujuannya untuk menang, pelatih dan pemain harus mengeluarkan semua jurus. Asalkan dijalankan dengan efektif dan efisien, serta memanfaatkan setiap peluang, walau sangat kecil peluang yang diperoleh.
Inggris belum pernah menjadi juara Eropa. Juara dunia baru sekali, yaitu pada tahun 1966. Pada hal Liga Primer Inggris adalah liga dengan aset terbesar dan terkaya di Eropa. Tapi Timnas Inggris di kejuaraan Eropa dan dunia sangat minim prestasi.
Peluang Inggris sangat besar dan terbuka lebar, apabila mereka pandai memanfaatkan peluang sebagai tuan rumah. Situasi dan kondisi sangat mendukung. Diantaranya adalah hasrat untuk menjadi juara yang pertama kali.
Sejak di fase grup sampai babak semifinal, prestasi Inggris luar biasa. Hanya sekali hasil seri ketika melawan Skotlandia. Selebihnya Inggris menuai kemenangan. Gawangnya pun hanya kebobolan satu gol, waktu melawan Denmark di semifinal, ketika Damsgaard mengambil tendangan bebas di luar garis 16. Itu menandakan bahwa pemain belakang Inggris mampu bermain dengan baik dalam mempertahankan wilayah pertahanan.
Faktor-faktor lain yang mendukung Inggris untuk menjadi juara Eropa saat kini adalah, manajemen pelatih Gareth Southgate yang luar biasa. Kekompakan tim yang sungguh luar biasa. Tidak pernah kita dengar keretakan dalam hubungan sesama pemain dan juga dengan pelatih.
Dari segi teknis, penerapan taktik dan strategi pelatih Gareth Southgate selama ini membuahkan hasil yang positif. Kita semua sudah mengetahui hasilnya, sehingga tim Inggris mampu mencapai babak final. Selain itu kualitas para pemain sampai dengan saat kini masih menunjukan kualitas layak bermain, layak diandalkan oleh pelatih. Juga pemain Inggris belum ada yang cedera.
Faktor yang sangat menguntungkan Inggris adalah usia pemain yang rata-rata masih muda belia. Beda dengan Italia, ada beberapa pemain yang sudah menua untuk ukuran seorang pemain bola. Kita ambil contoh, Bonucci dan Chiellini. Ini bisa menjadi ruang bagi anak muda Inggris untuk mencuri kesempatan mencetak gol. Kalau selama 90 menit terus diajak uji lari oleh Sterling dan kawan-kawan, tentunya akan menguras tenaga dari Bonucci dan Chiellini. Semoga hasrat Inggris tercapai, dengan memanfaatkan setiap peluang yang ada, walau kecil sekalipun.
Apalagi yang mau ditunggu oleh Inggris. Sekarang adalah saatnya yang paling tepat. Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan Inggris siapa lagi. Semua faktor sangat mendukung Inggris untuk meraih prestasi di Stadion Wembley, stadion kebanggaan Inggris, yang telah menjadi saksi bisu Inggris meraih gelar juara dunia tahun 1966.
Perkiraan line up Inggris di final: kiper, Jordan Pickford, bek, Kyle Walkers, Stones, Maguire, Luke Shaw, gelandang, Kalvin Philips, Declan Rice, Saka, Mount, Raheem Sterling, penyerang, Harry Kane
Pedang bermata dua telah dihunus, siapa korbannya. Apakah Italia atau Inggris. Apakah saya, anda atau mereka. Memang hidup ini penuh dengan alegori dalam beretorika. Anda, saya, mereka, kita, kamu, kami, dia dapat menghadirkan pedang bermata dua. Karena dalam hidup ini ada saat untuk sedih, ada saat untuk gembira, ada saat berduka, ada saat bersukacita.
Selepas pertandingan di fase grup, saya sudah memberikan pernyataan bahwa final Euro 2020 akan mempertemukan Italia vs Inggris. Karena saya sendiri begitu yakin dengan rekor kedua tim ketika bermain di fase grup dan kemudian kedua tim akan mampu menyingkirkan tim-tim lain di babak knock out.
Dan itu terbukti. Come on England.
Jangan lupa taat protokol kesehatan. Dengan kekuatan kolektivitas dalam melaksanakan protokol kesehatan dengan baik dan benar, kita mampu memutus mata rantai penularan Covid-19.
Salam sehat.
Marsel Ado Wawo, pengamat sepak bola yang tinggal di Jakarta