Frans Lebu Raya Telah Berangkat ke Sana

040316700 1529945356 20180626 004622 1
Frans Lebu Raya.

Frans Lebu Raya, pemuda baik hati, murah senyum dan menyapa hangat kepada siapa saja. Sejak pertemuan tahun 1987 itulah, saya mengenal Frans Lebu Raya. Apalagi ketika panggung politiknya kian moncer.

Oleh Pius Rengka

Kabar mantan Gubernur Frans Lebu Raya sakit, disiarkan tiga minggu lalu entah dari siapa. Tetapi, kabar Frans Lebu Raya sakit disiar-luaskan di grup Forum Wartawan NTT sedunia. Reaksi saya, biasa-biasa saja. Karena, bagi saya, perihal sakit, sepertinya, telah menjadi tanda biasa untuk umat manusia.

Sakit, entah sakit apa saja, toh tak mengenal usia, jenis kelamin, suku bangsa dan status sosial, bahkan tidak mengenal ideologi politik, apalagi faksi politik. Sakit pun tak memilih bentuk tubuh dan berat badan atau warna rambut dan jenis rambut. Apalagi warna kulit.

Sakit tidak mengenal kategorisasi entitas sosial, kebiasaan laku adat. Sakit pun tak pernah mengenal tabiat manusia. Sakit, karena itu, telah menjadi fenomena universal.

Paling jauh, saya bertanya, beliau dirawat di mana dan sakit apa. Informasi yang diperoleh simpang siur. Sebagaimana umumnya orang mendengar kabar sepotong-sepotong, tetapi yang sepotong-sepotong itu pun sudah dipotong-potong.

Saya pun hanya berujar pendek kepada sahabat dekat, “sebaiknya kita berdoa saja agar beliau lekas sembuh. Dijauhkan dari aneka bahaya”.

Jauh sebelum ini, saya nyaris tidak pernah mendengar sekali pun, entah lewat desas-desus atau sejenisnya, bahwa Frans Lebu Raya sakit serius. Memang pernah, tetapi mudah diatasi.

Bahkan kesan luar yang sangat amat kerap ditangkap ialah rekan saya ini selalu sehat walafiat, segar bugar ugahari, dan jauh dari gosip mengidap sakit serius. Karena itu, kabar Minggu, 19 Desember 2021 kemarin, jelas-jelas membuat saya sungguh terkejut.

Kabar via media WA pendek saja. “Mantan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya Meninggal Dunia”. Saya tidak percaya. Saya bereaksi. Saya menulis pesan ke orang di rumah, istri saya Rossy, apakah benar kabar Pak Frans Lebu Raya meninggal dunia? Coba cek dulu.

Istri saya tidak menjawab dengan cara kirim kabar via WA dengan kata-katanya sendiri, malah mengirim kepada saya sebuah berita yang ditulis sebuah media online perihal peristiwa itu.

Saya tetap tidak percaya. Saya selalu ragu, karena saya selalu pikir berita on-line kadangkala, untuk tidak dikatakan amat sering, amat gemar menangkap berita sepotong-sepotong, tanpa cek dan re-cek apalagi crosscek, lalu disebarkan semena-mena tanpa perlu peduli implikasi yang mungkin timbul.

Klik dan baca juga:  Mencari Manggarai di Cermin Frans Sales Lega

Namun, saya memeriksa berita-berita di beberapa grup yang saya anggap layak dipercaya karena diisi oleh orang yang gemar berpikir sehat. Dan, rupayanya, kabar tentang Frans Lebu Raya meninggal dunia benar adanya, dan sudah meluas.

Tahun 1987, pertama kali saya bertemu Frans Lebu Raya di kampus Unwira Kupang. Saat itu, saya dosen di Fakultas Hukum Unwira. Bertemu di area parkiran, seorang pemuda murah senyum, menegur saya amat santun. “Selamat siang kaka,” begitu ucapnya, dan saya pun langsung merasa nyaman dengan pemuda ini. Dia menghubungi saya agar saya berceramah tentang organisasi mahasiswa, di belakang Stadion Merdeka.

Kemudian saya tahu, Frans Lebu Raya adalah Ketua GMNI NTT. Demi mendengar itu, saya sangat bersemangat, karena hal itu akan sekaligus menyegarkan ingatan saya kepada para sahabat saya dari GMNI Jogyakarta, Surabaya, Semarang dan Solo. Terutama ketika kami bergabung dalam persekutuan Cipayung, Jawa Tengah.

Tanpa pertimbangan sangat panjang lebar, saya pun menyetujui permintaannya itu, dan saya berceramah atau lebih tepat memberi kesaksian tentang penting dan perlunya mahasiswa berorganisasi agar mahasiswa peka atau sensitive dengan problem sosial yang ada di tengah atau di lingkungannya.

Mahasiswa itu, barulah disebut Maha-Siswa, jika pikirannya besar dan gemar mengembangkan pikiran menjadi besar bukan untuk membesarkan dirinya sendiri, melainkan untuk membesarkan gagasan terutama untuk menyumbangkan gagasan solutif bagi problem kemiskinan.

Seingat saya, di situlah, di forum GMNI awal NTT, saya pernah mengatakan, musuh utama mahasiswa itu adalah kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan, dan penyebab itu semua terjadi. Karena itu, tugas mahasiswa adalah membaca sebanyak mungkin, berdiskusi sesering mungkin, agar power of reasoning kuat dan terandalkan sebagai penyuara bagi mereka yang tak bersuara.

Jika demikian, kata saya kala itu, perjuangan utama mahasiswa adalah perjuangan moral. Omongannya berisi, hatinya bersih, bukan membuat berisik, tanpa isi, tetapi pikirannya terang jelas dan bercahaya terang bagi pembelaan total kebenaran, dan terutama mengabdi pada kepentingan semua pihak.

Kata saya, kalian membela kaum miskin itu bukan karena mereka selalu pasti benar, tetapi karena kaum miskin itu membutuhkan perhatian, mereka perlu pendampingan dan bersimpati pada kebaikan.

Sejak itulah, saya mengenal Frans Lebu Raya. Pemuda murah senyum, berperingai sopan menyapa kawan dan menaruh hormat pada siapa pun yang berusia lebih tua. Sejarah nasib perjuangan politik membawanya kemudian ke panggung kursi legislatif lalu kemudian terpilih menjadi Gubernur NTT. Fenomena Frans adalah fenomena tentang tokoh yang lahir dari dinamika konteks (historis, politik, level nasional, regional dan bahkan internasional).

Klik dan baca juga:  Investasi Sumber Daya Manusia

Frans Lebu Raya, pemuda baik hati, murah senyum dan menyapa hangat kepada siapa saja. Sejak pertemuan tahun 1987 itulah, saya mengenal Frans Lebu Raya. Apalagi ketika panggung politiknya kian moncer.

Frans Lebu Raya kian menjadi buah bibir banyak kalangan di NTT dan juga tanah air. Reputasinya di panggung politik, saya kira, baik ke dalam tubuh darimana dan di mana dia berjuang politik, diakui sebagai salah satu tokoh kunci untuk membuat PDIP besar di NTT.

Karena itu, PDIP tidak hanya berterima kasih kepadanya, tetapi juga harus sanggup melihat kedalaman ikhlas perjuangan partai ini dari bilur-bilur penderitaan penindasan rejim otoritarian Orde Baru yang dipanggulnya ke bukit pembebasan.

Meski demikian, sebagai aktor penting di panggung politik NTT, Frans Lebu Raya, pastilah tidak bebas dari pujian, juga badai hujatan sebagaimana umumnya badai yang selalu mungkin diterima para politisi.

Sekali waktu saya kepadanya saya berkata, untuk menjadi politisi memang tidak bebas dari hujatan dan pujian, tetapi perlu hati-hati dengan para pemuja. Sebagaimana biasa, Frans Lebua Raya, senyum. Dari matanya tampak pesan bahwa dia setuju dengan apa kata saya.

Kedekatan saya dengan dirinya, kian hangat ketika saya pernah menjadi anggota DPRD NTT. Frans Lebu Raya wakil gubernur. Tetapi, meski saya dekat dengan Piet A Tallo dan Frans Lebu Raya, saya tetaplah menjadi orang penyumbang kritik.

Kritik, bagi saya adalah sebuah kehormatan atas jabatan yang diemban. Maka kritik itu tak hanya koreksi kritis terhadap kebenaran agar disposisi kebenaran yang sedang dikerjakan kekuasaan tetap terjaga, tetapi juga kritik adalah koreksi kritis manakala kebenaran nyaris mulai terjebak ke dalam lingkaran para setan yang memanfaatkan kekuasaan untuk kegemaran jangka pendek.

Dan, Frans Lebu Raya dan Piet A Tallo, selalu menerima kritik dengan lapang hati, sambil berusaha menjelaskan dengan cahaya cinta kasih kebaikan humanis.

Mungkin saja, Frans pernah agak kurang nyaman dengan kritikan saya. Tetapi, bagi saya, perasaan itu manusiawi adanya karena manusia tak luput dari kekeliruan (erare humanum est= manusia itu mahluk keliru). Saya dapat keliru, dan Frans juga bias begitu.

Pertemanan itu sangat lama. Kemudian kami sangat hangat berdiskusi ketika gagasan membangun monumen Pancasila disampaikan Forum Pembauran Kebangsaan. Saya ketua forum itu. Saya melihat Frans Lebu Raya, sempat bertitik air mata, tatkala saya menyampaikan pidato tentang makna pentingnya monumen Pancasila dibangun di Kota Kupang, NTT.

Klik dan baca juga:  Volatilitas Politik Pembangunan di Awal Tahun Krisis Multidimensi

Monumen Pancasila tak hanya fisikal tampil kokoh sebagai obyek destinasi baru pariwisata di Kota Kupang, tetapi sekaligus monumen Pancasila adalah saksi bisu tentang semangat sekaligus memberi pesan sangat kuat kepada pihak lain di mana pun, bahwa NTT adalah rumah bersama tempat amat sangat subur merawat persaudaraan, humanisme asali bercahaya kebaikan, dan melihat perbedaan sebagai keindahan bukan ancaman.

NTT, di tangan Frans Lebu Raya, bukan tanpa riuh gelora pembangunan. Buku takdir sejarah NTT mencatat banyak hal. Program Anggur Merah sungguh kesohor. Ada untung ada buntung. Tak mengapa. Dinamika adalah perubahan. Perubahan sangat terbuka untuk masuknya kesan baik dan buruk. Selalu begitu, karena setiap yang melihat tidak selalu terang. Selalu mungkin ada orang rabun, tetapi juga ada orang buta.

Orang buta mengandalkan telinga, dan telinga orang buta mengandalkan moncong orong lain yang mungkin saja nerocos distorsif karena buruk sangka atau salah sangka. Tetapi Frans Lebu Raya, saya tahu, dia lapang menerima segala perkara. Dia pemimpin yang pernah menjahit cita-cita NTT agar lekas keluar dari derita.

Frans adalah pemimpin dengan sejumput kepemimpinan yang dibawanya. Mengutip Melissa Horner (1997), kepemimpinan biasanya ditentukan oleh sifat, kualitas, dan perilaku seorang pemimpin. Frans Lebu Raya pemimpin akomodatif, persuasif. Dia berusaha merawat harmoni.

Kini, pria berkulit terang itu, lelaki Adonara, Tanah Boleng, diam sempurna. Kini, saya juga tahu, tetapi saya tak banyak menyahut, kalau Frans bagi saya tak hanya sahabat, tetapi Frans adalah keluargaku, family yang menjahit tikar sejarah dengan renda berbeda di tepian.

Frans Lebu Raya merenda dengan kain berwarna merah, dan saya menyulamnya dengan benang sutera sambil mengajaknya melihat ke arah langit biru.

Sahabat Frans, selamat jalan duluan ke sana, ke tempat di mana tak seorang jua pun dari kami di sini sanggup memanggilmu kembali ke sini.

 

 

(dp)