Oleh Stefanus Gega
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bak permata di ujung selatan Nusantara, kaya akan keindahan alam dan keunikan budaya. Namun, di balik pesonanya, tersimpan ironi yang kian menganga: gelombang migrasi warganya menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang terus meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir, NTT menjelma menjadi salah satu lumbung utama penyumbang PMI, sebuah fenomena yang tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Remitansi yang mengalir deras memang menjadi oase bagi perekonomian keluarga dan bahkan menyumbang devisa negara yang tak sedikit. Data Bank Indonesia pada tahun 2023, menunjukkan remitansi yang dihasilkan pekerja migran Indonesia mencapai 14,217 miliar US dollar atau setara dengan dua ratus lebih triliun. Namun, di balik gemerlap angka triliunan rupiah, tersembunyi jurang risiko dan eksploitasi yang siap menelan para pahlawan devisa ini.
Data berbicara lantang. Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat lonjakan signifikan partisipasi masyarakat NTT sebagai PMI, terutama dalam dua tahun terakhir. Dari hanya 241 orang pada tahun 2021, jumlahnya melonjak drastis menjadi 1.959 pada tahun 2023, dan kembali meningkat menjadi 2.146 pada tahun 2024. Hingga Maret 2025, sudah 651 warga NTT yang memilih jalan mengadu nasib di negeri orang. Antusiasme ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apa gerangan yang mendorong masyarakat NTT sedemikian bersemangat menjadi PMI, sementara provinsi ini juga dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar kasus perdagangan orang?
Tragisnya, korelasi antara tingginya angka PMI asal NTT dan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) bukanlah isapan jempol. Mabes Polri telah mengidentifikasi NTT sebagai salah satu wilayah penyumbang korban TPPO terbesar. Penelitian Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhanas RI) memberikan sedikit pencerahan. Faktor ekonomi keluarga yang sulit menjadi pendorong utama. Kemiskinan yang merajalela, tingkat pendidikan yang rendah, dan minimnya lapangan pekerjaan di dalam negeri memaksa sebagian masyarakat NTT untuk mencari penghidupan di seberang lautan.
Namun, ironisnya, keterdesakan ekonomi ini justru seringkali menjerumuskan mereka ke dalam jaringan ilegal. Iming-iming proses yang cepat dan tidak berbelit menjadi daya tarik utama bagi calon PMI yang kurang teredukasi. Mereka abai terhadap konsekuensi mengerikan yang menanti di balik pintu keberangkatan non-prosedural.
Anindito, akademisi Politeknik Imigrasi, pun mengamini bahwa kebutuhan ekonomi dan minimnya edukasi menjadi biang keladi maraknya PMI non-prosedural. Senada dengan itu, Direktur Intelijen Keimigrasian, Ratna Pristiana Mulya, dalam wawancara dengan Lemhanas RI, telah jauh-jauh hari mengingatkan betapa rentannya PMI yang berangkat tidak sesuai prosedur.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebenarnya tidak tinggal diam. Ratifikasi Konvensi Pekerja Migran PBB, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, hingga berbagai Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah di tingkat Provinsi NTT, adalah bukti nyata upaya perlindungan tersebut. Berbagai regulasi ini hadir untuk memastikan hak-hak PMI terlindungi, mulai dari proses rekrutmen hingga kepulangan.
Pemerintah Provinsi NTT bahkan telah menerbitkan sejumlah peraturan daerah dan keputusan gubernur yang secara spesifik mengatur pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang serta perlindungan PMI asal NTT. Namun, mengapa upaya-upaya ini belum mampu membendung arus keberangkatan ilegal dan menekan angka kasus PMI yang menimpa warga NTT secara signifikan?
Data BP2MI kembali memberikan gambaran yang memprihatinkan. Meskipun terdapat fluktuasi, persentase kasus PMI asal NTT yang berangkat melalui jalur non-prosedural tetap mendominasi. Rata-rata, dari tahun 2019 hingga Februari 2025, sekitar 89,2% PMI NTT yang terlibat masalah berangkat secara ilegal. Angka ini adalah alarm yang berbunyi nyaring, menandakan bahwa regulasi dan upaya penegakan hukum yang ada belum sepenuhnya efektif.
Sudah saatnya Pemerintah Provinsi NTT mengambil langkah yang lebih konkret dan inovatif dalam mencegah keberangkatan PMI melalui jaringan ilegal. Upaya kuratif saja tidak cukup; pencegahan adalah kunci utama. Imigrasi, sebagai garda terdepan penjaga pintu negara, memegang peranan krusial dalam hal ini. Pengawasan yang lebih ketat terhadap penerbitan paspor, terutama di wilayah-wilayah yang rawan praktik perekrutan ilegal, harus ditingkatkan. Kolaborasi antara Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta pihak Imigrasi harus diperkuat untuk memverifikasi keabsahan dokumen dan tujuan keberangkatan calon PMI.
Namun, pengawasan administratif semata tidak akan cukup membendung rayuan maut para agen ilegal. Pemerintah daerah perlu bergerak lebih jauh dengan menggandeng tokoh masyarakat, tokoh agama, dan organisasi kemasyarakatan untuk membangun kesadaran di tingkat akar rumput. Informasi yang akurat mengenai prosedur migrasi yang aman dan risiko menjadi PMI non-prosedural harus disosialisasikan secara masif dan berkelanjutan, dengan menggunakan bahasa dan pendekatan yang mudah dipahami oleh masyarakat setempat.
Pembentukan tenaga pendamping (mediator organik) di tingkat desa dan kelurahan bisa menjadi solusi inovatif. Mereka adalah warga setempat yang direkrut dan dilatih untuk memberikan informasi, pendampingan, dan melakukan upaya pencegahan keberangkatan ilegal. Dengan pemahaman mendalam terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat, mereka akan lebih efektif dalam menyampaikan pesan dan membangun kepercayaan.
Selain itu, ruang komunikasi dua arah antara pemerintah daerah, mantan PMI (terutama yang pernah menjadi korban), dan masyarakat perlu dibuka secara luas. Kesaksian langsung dari para korban perdagangan orang atau PMI non-prosedural yang mengalami perlakuan buruk di luar negeri akan memberikan dampak psikologis yang lebih kuat dan menyadarkan masyarakat akan bahaya yang mengintai.
Tentu saja, upaya pencegahan ini membutuhkan kolaborasi dan sinergi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, lembaga swadaya masyarakat, organisasi buruh migran, serta lembaga pendidikan dan pelatihan. Penanganan masalah migrasi pekerja bukan lagi urusan satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama.
Gelombang migrasi dari NTT adalah fenomena kompleks yang dipicu oleh berbagai faktor struktural. Remitansi memang memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan, namun jangan sampai kita terlena dan mengabaikan sisi gelapnya. Eksploitasi, perdagangan manusia, dan berbagai risiko lain terus mengintai para PMI yang memilih jalur ilegal.
Sudah saatnya pemerintah Provinsi NTT tidak hanya mengeluarkan regulasi di atas kertas, tetapi juga memastikan implementasinya berjalan efektif hingga ke pelosok desa. Pengawasan yang ketat, edukasi yang masif, pemberdayaan masyarakat, dan penegakan hukum yang tegas adalah beberapa langkah yang harus dioptimalkan. Jangan biarkan antusiasme masyarakat NTT untuk mencari penghidupan yang lebih baik justru menjadi pintu masuk menuju penderitaan dan tragedi.
Perlindungan terhadap para calon pahlawan devisa ini adalah amanah yang tidak boleh diabaikan. NTT tidak boleh terus menerus menjadi lumbung PMI ilegal dan korban perdagangan orang. Saatnya mengurai benang kusut ini demi martabat dan kesejahteraan seluruh masyarakat NTT.**