Oleh Edi Danggur
Perluasan Geothermal Ulumbu di Pocoleok diprediksi tetap berjalan. Demo penolakan para aktivis yang berjilid-jilid itu memang ada. Namun dipastikan demo-demo tersebut tidak sedikitpun dapat menghentikan langkah PT PLN untuk tetap merealisasikan proyek strategis nasional tersebut.
Tetapi dalam konteks demokrasi, demo sebagai perwujudan hak atas kebebasan berekspresi, tetap harus dihargai. Sebab hak atas kebebasan berekspresi tidak hanya diakui sebagai hak konstitusional, tetapi juga hak universal. Asalkan demo dilaksanakan dengan damai tanpa merusak fasilitas publik.
Mengapa demo penolakan para aktivis itu tidak berpengaruh? Mengapa demo para aktivis itu tidak mendapat dukungan luas dari masyarakat? Sebab dalam setiap demo, mereka hanya meneriakkan banyak narasi manipulatif.
Narasi Manipulatif
Narasi-narasi manipulatif itu diviralkan ke berbagai media online dan grup Whatsapp. Salah satu narasi manipulatif yang paling menonjol adalah klaim bahwa telah terjadi perampasan tanah komunal, tanah lingko, atau tanah masyarakat adat Pocoleok oleh PT PLN.
Senyatanya, tanah-tanah dalam objek perluasan geothermal itu adalah tanah milik adat perorangan. Buktinya, yang melepaskan hak atas tanah tersebut ke PT PLN adalah perorangan. Orang per orang itu pula yang mendapatkan uang ganti untung dari PT PLN.
Di berbagai media terbaca jelas legalitas hak warga masyarakat perorangan tersebut. Sebab, mereka mendapat penegasan tertulis dari tua adat, pemerintah desa dan kecamatan bahwa benar tanah-tanah dalam area perluasan geothermal merupakan tanah adat milik perorangan.
Tetapi seringkali orang malas ingin cari tahu akar masalah, atau fakta hukum sesungguhnya di lapangan. Paling mudah menuduh Bupati Manggarai tidak memahami esensi konsep _gendangn one lingkon pe’ang_ dalam adat dan budaya Manggarai.
Bahkan Bupati Manggarai dituduh bersekongkol dengan PT PLN ikut merampas tanah adat masyarakat Pocoleok melalui penerbitan SK Penlok. Dituduhkan pula ada suap-menyuap. Melemparkan tuduhan tanpa dasar adalah ciri orang yang malas berpikir.
Lantaran malas berpikir, maka sampai dengan saat ini tidak ada aktivis dan warga masyarakat yang berani membawa masalah ini ke ranah hukum. Sebab berperkara ke pengadilan butuh rajin berpikir dan bahkan berpikir keras.
Negara menjamin hak setiap warga negara untuk mempertahankan haknya di pengadilan. Maka sebagai warga negara yang sadar hukum, seharusnya masyarakat menggugat Bupati dan PT PLN ke Pengadilan, jika merasa dirugikan karena tanah adatnya diduga dirampas, misalnya.
Aktivis dan masyarakat dipersilakan mengajukan dalil-dalil gugatannya dalam sidang yang terbuka untuk umum. Jelaskan apa jenis hak mereka yang dirampas, dan berapa besar kerugian akibat perampasan hak tersebut.
Tentu saja hakim dapat memenangkan gugatan masyarakat tersebut. Syaratnya, minimal dua. _Pertama_, masyarakat dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya. _Kedua_, PT PLN dan Bupati Manggarai tidak dapat membantah dalil-dalil gugatan masyarakat tersebut.
Diprediksi masyarakat dan para aktivis tidak berani mengajukan gugatan. Sebab, mereka tidak mampu mencari dan menemukan cacat hukum dalam setiap kebijakan Bupati dan langkah PT PLN di Pocoleok.
Dalam konteks demikian, menggugat Bupati dan PT PLN tidaklah mudah. Masyarakat diibaratkan mencari kucing hitam dalam ruang yang gelap. Apalagi jika tidak bisa menyediakan penerangan ke ruang gelap itu. Bisanya hanya mengutuk kegelapan itu.
Berburu Ilusi
Apa yang dikejar oleh para aktivis dan pendukungnya di Pocoleok? Jika kebenaran yang dicari oleh para aktivis maka seharusnya klaim kebenaran itu diuji di pengadilan. Bukan sekedar demo dan terus demo, apalagi kalau orasi dalam demo-demo itu hanya berisi narasi manipulatif.
Selebihnya, melalui demo, para aktivis hanya menabur ilusi kepada masyarakat. Demo dianggap sebagai obat mujarab untuk menghentikan perluasan geothermal. Nyatanya itu semua adalah kesia-siaan belaka.
Itu sama sia-sianya dengan kerja mendorong batu besar dari Pocoleok menuju Puncak Golo Lusang. Yang terjadi, bahwa mereka hanya ikut menyaksikan batu besar itu menggulung turun kembali ke Pocoleok.
Jika demikian demo dengan tujuan menghentikan perluasan geothermal adalah ilusi. Para aktivis dan para pendukungnya sedang berburu ilusi di Pocoleok, bukan memburu kebenaran.
Persis sama dengan kata-kata yang pernah diucapkan oleh Anais Nin (1903—1977), seorang seorang penulis, esais, dan diarist: _“It was not the truth they wanted but an illusion they could bear to live with”_ (bukan kebenaran yang mereka inginkan tetapi hanya ilusi yang bisa mereka terima untuk dihidupi).
Dengan kata-kata itu, Anais Nin hendak mengangkat ke permukaan sebuah kecenderungan destruktif di tengah masyarakat, bahwa ilusi dapat lebih mudah diterima daripada kebenaran. Manusia seringkali lebih suka hidup dengan ilusi daripada menghadapi kebenaran yang pahit.
Bagi praktisi hukum, kata-kata Anais Nin selalu dijadikan pedoman bahwa kebenaran harus menjadi dasar dari segala hukum. Hukum harus berdasarkan pada kebenaran dan keadilan, bukan pada ilusi atau kepentingan pribadi.
Anais Nin juga memberikan moral politik, bahwa politik harus dijalankan berdasarkan pada kebenaran. Wujud kebenaran ada dalam kebijakan yang transparan, dalam bentuk lisan maupun tertulis (SK Penlok misalnya).
Maka, SK Penlok adalah bentuk transparasi kerja politik. Terbuka untuk diuji kebenarannya melalui pengadilan. Tidak bisa kebijakan di bidang politik diuji melalui ilusi yang justru menyebabkan kerusakan dan ketidakadilan.
Dalam etika umum pun, kebenaran dan kejujuran harus menjadi pedoman dalam tindakan kita. Kita diajarkan untuk selalu mencari kebenaran dan berusaha untuk hidup berdasarkan pada kebenaran tersebut.
Pernyataan Anais Nin mempunyai relevansinya dengan hak-hak dasar setiap manusia untuk mencari kebenaran. Hak-hak tersebut diakui sebagai hak universal maupun hak konstitusional.
Sebagai hak universal, kebenaran itu dicari melalui pemenuhan HAM atas hak kebebasan berekspresi, kebebasan untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi melalui media (Vide Pasal 19 dan 21 Deklarasi Universal HAM).
Hak-hak tersebut sekaligus merupakan wujud partisipasi warga masyarakat dalam pemerintahan negaranya, baik secara langsung maupun melalui perwakilannya (Pasal 19 dan 25 _International Covenant on Civil and Political Rights_).
Dalam rumusan yang agak berbeda tetapi sama esensinya, hak atas kebebasan berekspresi diatur sebagai hak konstitusional (Vide Pasal 28 dan 28E UUD 1945), yang kemudian diuraikan lebih lanjut dalam Pasal 7 dan 10 UU No. 30 Tahun 1999 tentang HAM.
Kebenaran Melahirkan Kebencian
Ilusi memang dapat memberikan kita rasa nyaman, tetapi sifatnya hanya sementara. Apalagi kalau kita menebar ilusi hanya demi meraih menarik simpati dan populisme semu.
Sebaliknya kebenaran itu dapat menyakitkan bagi orang yang membenci kebenaran. Tetapi kebenaran itu sebenarnya sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kita. Kebenaran dapat memberikan kita kebebasan dan kesadaran yang sebenarnya.
Itu sebabnya ilusi dapat lebih mudah diterima. Sebaliknya kebenaran tidak selalu dapat diterima dengan mudah oleh orang lain. Bahkan orang yang mengatakan kebenaran serta-merta dibenci. Persis sama dengan sebuah frasa Bahasa Latin: _”Veritas odium parit”_ (kebenaran melahirkan kebencian).
Pertarungan antara kebenaran dan ilusi di ruang publik sejatinya adalah pertarungan antara orang jujur dan pembohong. Orang yang jujur tidak memerlukan banyak alasan untuk menjelaskan tindakannya. Sebab mereka memiliki kesadaran yang jelas tentang apa yang benar dan apa yang salah.
Sebaliknya, para pembohong yang menebar ilusi, akan selalu mencari alasan untuk membenarkan tindakannya. Bahkaan untuk pembenaran pun, mereka berani membuat alasan yang tidak masuk akal alias berbohong atau membodohi masyarakat.
Menghadapi kecenderungan destruktif seperti itu, Abraham Lincoln mengingatkan: _“You can fool all the people some of the time and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time”_ (Kamu dapat membohongi semua orang pada suatu waktu tertentu dan membohongi orang-orang tertentu sepanjang waktu, tetapi kamu tidak dapat membohongi semua orang sepanjang waktu).
Abraham Lincoln hendak mengajak kita untuk menghargai kejujuran, keadilan dan tanggung jawab. Hindari kebohongan dan narasi manipulatif. Sebab kebenaran akan selalu terungkap, kapan saja dan dimana saja. Sebaliknya, kebohongan sebagai bagian dari upaya pembodohan tidak dapat bertahan lama.
_Penulis adalah seorang praktisi hukum, tinggal di Jakarta_