Kupang, detakpasifik.com – Gerakan mendukung Presiden Joko Widodo tiga periode terus bergulir. Baik pada skala nasional maupun daerah, gerakan ini terus digemakan. Terakhir, dan secara masif gerakan menambah masa jabatan presiden itu seperti secara terencana dilakukan di dua tempat yang berbeda, di Jakarta Relawan Jokowi-Prabowo (JokPro) mendeklarasikan diri, pun di Provinsi Nusa Tenggara Timur Panitia Referendum Terbatas pada Konstitusi 1945 dideklarasikan.
Kedua gerakan ini memiliki tujuan yang sama, mendukung Jokowi menjabat hingga tiga periode sebagai presiden.
Direktur Eksekutif Surveylink Indonesia (SULINDO), Wempy Hadir, dalam sebuah diskusi politik daring ‘Wacana PRESIDEN 3 PERIODE: Dari Mana Asalnya, Ke Mana Arahnya’ yang digelar Para Syndicate, Rabu (23/6/2021) mengatakan, gerakan yang tengah menarik perhatian publik Indonesia itu, didesign oleh barisan kelompok yang ingin memperoleh keuntungan secara politik. Kelompok ini adalah orang-orang yang takut hilangnya kekuasaan pasca berakhirnya kepemimpinan Presiden Jokowi.
“Menarik ini menurut saya, dalam tempo yang singkat ada dua gerakan yang sama, ada gerakan di Jakarta ada juga gerakan di NTT. Itu hampir sama temanya, pertama mendorong presiden tiga periode, yang kedua mencoba mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 bicara soal masa jabatan presiden. Yang bertanggung jawab terhadap gerakan politik hari ini (wacana presiden tiga periode) adalah mereka yang takut hilangnya kekuasaan ekonomi, politik dan sosial setelah kepemimpinan Jokowi berakhir di tahun 2024,” kata Wempy dalam diskusi itu.
Menurut Wempy, kelompok partai politik juga terlibat dalam gerakan Jokowi 3 periode. Pandangan Wempy dengan dasar tidak adanya partai politik yang berani mengambil sikap secara jernih di hadapan publik untuk menolak wacana menambah jabatan presiden yang akan berimbas pada berubahnya konstitusi 1945.
Menguatnya wacana Jokowi tiga periode, demikian Wempy, sekaligus menggambarkan kekuatan politik Jokowi.
“Ini menunjukkan memang Jokowi mempunyai power politik. Kita tahu Jokowi mempunyai kekuatan 74,26 persen di koalisi pemerintah hari ini. Kekuatan ini sangat absolut. Karena apa? Lebih dari 70 persen kekuatan politik mendukung Jokowi. Dengan demikian perubahan UUD 45, bisa terjadi, karena kekuatan politik yang begitu memadai dan sebagainya,” ungkap Wempy.
Selain itu, ia menyoroti sikap Presiden Jokowi yang belum jelas mengatakan tidak akan maju kembali.
Ia menduga, Jokowi tidak kuat dengan rayuan dan godaan yang dibuat orang-orang yang mengendalikan kekuasaan dari dalam istana dan memiliki saham politik yang dapat melanjutkan kepemimpinannya.
Karena itu, menurutnya, kelompok ini mendesain agar terjadi hegemoni dan kelanggengan kekuasan untuk tetap; pertama, akumulasi ekonomi (harta), kedua kekuasaan politik dan ketiga, kenaikan sosial bagi orang-orang di lingkaran Jokowi.
Hal itu, kata Wempy, membuat orang-orang dekat Jokowi bermain dengan segala cara mengubah undang-undang, menabrak demokrasi, dan bisa saja menjadi skenario menjebak Jokowi dan bahkan mencetak sejarah kelam untuk bangsa ini.
Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus mengatakan, wacana mengamandemen konstitusi untuk mengubah masa jabatan presiden itu, bukan baru bergulir di era Presiden Jokowi.
“Di era SBY, di tahun 2010 lalu, sudah menggadang-gadang wacana untuk mengubah konstitusi demi memperpanjang masa jabatan presiden,” kata Lucius.
Lucius menjelaskan, baik di era Jokowi maupun era SBY wacana penambahan masa jabatan presiden muncul menjelang berakhirnya jabatan di periode kedua.
“Itu artinya, dorongan utama yang memunculkan wacana ini sebenarnya adalah ketakutan atau post power syndrome. Orang-orang yang merasa menikmati kekuasaan, takut kehilangan kekuasaan itu,” ungkapnya.
Bagi mereka, kata Lucius, konstitusi adalah hambatan untuk memperpanjang kekuasaan. Karena itu, ia mengira dorongan kuat untuk mengamandemen kostitusi itu selalu muncul di era kedua pemerintahan SBY maupun Jokowi.
Namun, menurut Lucius, yang mengherankan dari wacana ini muncul dengan sangat liar dan dibicarakan di ruang publik tanpa ada pernyataan resmi dari partai politik, DPD, DPR dan MPR. Karenanya menjadi sulit menemukan orang yang paling bertanggung jawab di balik wacana presiden tiga periode.
Menurut Lucius, wacana ini terus bergulir karena MPR membuka ruang untuk terjadinya amandemen konstitusi. Pada saat yang sama, ‘pikiran nakal’ yang muncul di banyak tokoh belakangan ini dipelihara.
Ia menduga, wacana bukan saja tentang presiden 3 periode, tetapi ada banyak kelompok dengan kepentingan masing-masing punya agenda terkait amandemen konstitusi itu.
“Misalnya DPD untuk memperkuat kewenangannya dan kelompok yang ingin presiden dipilih MPR,” ungkapnya.
Wacana-wacana itu, kata Lucius, akan terus bergulir manakala DPR tidak mengeluarkan pernyataan bahwa mereka menarik agenda mengamandemen konstitusi untuk mengembalikan GBHN dalam konstitusi, ruang dan peluang kelompok-kelompok dengan agenda masing-masing untuk melakukan perubahan dalam konstitusi dapat terjadi. (Irfan, Kristo)