Labuan Bajo, detakpasifik.com – Ini pertemuan para pemimpin NTT. Pertemuan konsolidasi kekuatan politik kesehatan. Untuk apa? Untuk merapatkan barisan memerangi stunting di NTT menyusul fakta memilukan, memalukan dan mengerikan. NTT salah satu provinsi penyumbang stunting terbesar di Indonesia.
Rapat konsolidasi itu, terasa dalam cahaya nuansa kolaboratif berbagai pihak di Aula Hotel Silvya, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Senin (11/10/2021). Gubernur, para bupati dan wali kota atau para delegatusnya, sungguh bertekad. Mereka bertekad menurunkan angka stunting di daerah masing-masing hingga 10 persen.
Pertemuan itu dipimpin langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan NTT, dr Messerassi B V Ataupah. Pada kesempatan itu, Gubernur NTT, Viktor B Laiskodat memaparkan pandangannya. Tajam, lugas, provokatif dan solutif.
Mereka bertekad agar status NTT sebagai provinsi stunting itu bebas sudah. Kondisi eksisting 21,9 persen kini akan tersisa 12,3 persen pada tutup tahun 2022. Tekad itu disampaikan dalam kesepakatan rapat yang dibabtis dengan nama “Rapat Koordinasi Percepatan Penurunan Stunting Provinsi NTT 2021”. Kesepakatan itu kemudian ditandatangani masing-masing pihak dengan Gubernur Viktor B Laiskodat.
Hadir pada kesempatan bersejarah itu antara lain, 9 bupati, 6 wakil bupati, 5 sekretaris daerah dan dua asisten, Kepala Bappeda/Bappelitbangda Kabupaten dan Kota, pimpinan perangkat daerah provinsi, kepala dinas kesehatan kabupaten kota, perwakilan BKKBN Provinsi NTT, pimpinan lembaga mitra, Satgas Stunting Sarah Lerry Mboeik dan tiga Staf Khusus Gubernur NTT, masing-masing dr Stef Bria Seran, Dr David Pandie dan Anwar Pua Geno, S.H.
Tak tampak di pertemuan itu Wali Kota Kupang, Bupati Sumba Barat Daya, Sumba Timur dan Nagekeo, dan Malaka.
Pertemuan ini pun bermakna sebagai pertemuan untuk menyatukan langkah dalam upaya percepatan penurun stunting di provinsi yang dikenal sebagai provinsi yang bakal sangat kaya di Indonesia.
Dalam laporan panitia disebutkan, masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan atau 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah periode percepatan tumbuh kembang yang dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun.
1000 HPK merupakan periode yang sangat kritis yang berpotensi ke arah angka kejadian kematian ibu, bayi, balita serta angka kejadian balita gizi buruk dan balita pendek. Jika masa 1000 HPK tidak dilewati dengan baik, maka konsekuensinya bagi kecerdasan dan kesehatan bersifat permanen dan sulit diperbaiki. Ada dampak jangka panjang pada gangguan kognitif, peningkatan risiko penderita penyakit tidak menular dan mempengaruhi dua generasi berikutnya, serta stunting di masa dewasa.
Menyadari bahwa stunting merupakan permasalahan yang kompleks, maka dibutuhkan intervensi lintas sektor yang dilaksanakan secara terkoordinatif, terpadu/kolaborasi dan terarah melalui Aksi Konvergensi Stunting.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah, maka tugas pemerintah provinsi dalam kaitan dengan aksi konvergensi stunting yakni melakukan pembinaan, evaluasi dan monitoring/supervisi terhadap pelaksanaan aksi konvergensi stunting di kabupaten/kota.
Provinsi telah melakukan penilaian kinerja aksi konvergensi selama tiga tahun berturut-turut (2019, 2020, 2021). Penilaian kinerja aksi konvergensi stunting merupakan salah satu bentuk evaluasi terhadap kinerja kabupaten dalam upaya percepatan penurunan stunting di masing-masing kabupaten.
Penilaian kinerja yang dilakukan pada 2021 berfokus pada pelaksanaan aksi 5 sampai aksi 8 tahun 2020 terhadap 21 kabupaten di NTT. Kota Kupang tidak termasuk dalam penilaian kinerja, karena Kota Kupang baru masuk menjadi Locus Stunting pada tahun 2022 mendatang. Tetapi, setiap even penilaian kinerja, Kota Kupang selalu terlibat sebagai pengamat aktif.
Pemerintah provinsi patut memberikan apresiasi dan penghargaan bagi kabupaten yang telah bekerja keras melalui kerja-kerja nyata serta berbagai inovasi yang telah dibuat oleh masing-masing kabupaten.
Melalui kerja nyata dan berbagai inovasi kabupaten, kondisi stunting Provinsi NTT terus menurun di mana tahun 2020 hasil pengukuran terhadap 374.524 anak, terdapat 90.602 anak stunting (24,2%). Kemudian berdasarkan Laporan Sementara Data e-PPGBM/hasil pengukuran bulan Agustus tahun 2021 terhadap 394.383 anak, kasus anak stunting berjumlah 80.760 anak atau 21,0%.
Jika dibandingkan capaian 2020, maka terjadi penurunan stunting 3,2%. Cakupan pengukuran bulan Agustus mencapai 97,7%. Pemerintah provinsi terus mendorong agar cakupan pengukuran terhadap anak di tingkat kabupaten/kota mencapai 100 % pada tahun mendatang.
Kabupaten yang telah melakukan penginputan data ke e-PPGBM hingga 100%, yaitu: Sumba Timur, Kabupaten Kupang, TTS, Ende, Ngada, Manggarai, Rote Ndao, Manggarai Barat, Nagekeo, Sabu Raijua.
Rapat koordinasi Labuan Bajo ini pun merupakan rapat yang pertama kali terjadi sejak dilaksanakannya pelaksanaan Aksi Konvergensi Stunting. Meski NTT dihajar badai Covid-19 dan Seroja, di mana terjadi refocusing anggaran penanganan Covid, tetapi pemerintah tetap teguh berkomitmen melalui kerja kolaboratif, konvergensi dan integrasi semua stakeholder dalam rangka menyatukan komitmen bersama untuk percepatan pencegahan dan penurunan stunting di NTT.
Pertemuan ini pun bertujuan sebagai moment evaluasi terhadap kinerja pelaksanaan aksi konvergensi stunting kabupaten/kota dalam upaya percepatan penurunan stunting. Pemerintah provinsi memberikan penghargaan/reward bagi kabupaten yang telah mengikuti penilaian kinerja terhadap aksi 5 – 8 tahun 2020.
Juga dilakukan komitmen bersama provinsi dan kabupaten/kota untuk percepatan penurunan stunting pada tahun 2021 sampai dengan tahun 2023.
Kesepakatan Para Bupati/Wali Kota
Kesepakatan ini punya dasar. Apa itu? Stunting atau keadaan gagal tumbuh pada anak pada 1000 hari kelahiran hidup adalah masalah mendasar dalam pembangunan mutu manusia. Dari Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) 2018 menunjukkan, NTT menduduki angka tertinggi stunting di Indonesia, yakni 42,6% atau setara dengan 4 dari 10 anak NTT mengalami stunting.
Sejak 2018, Pemerintah NTT melakukan kebijakan konvergensi penurunan stunting secara intensif yang melibatkan seluruh kabupaten/kota dan seluruh lembaga terkait. Hasilnya, terjadi penurunan stunting sangat tajam menjadi 20,9% (2021).
Memang, diperlukan komitmen untuk menurunkan stunting sebagai masalah kemanusiaan yang mendasar berkaitan dengan pengakuan, penghargaan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak secara universal. Karena itu, diperlukan konsolidasi untuk melakukan percepatan pencegahan dan penanganan stunting secara sistematis dan berkelanjutan menuju stunting 0 (zero stunting) di NTT. Komitmen yang disepakati adalah sebagai berikut:
Pertama, melaksanakan program konvergensi percepatan penurunan stunting (zero stunting) untuk menciptakan Generasi Muda Unggul NTT 2045-2050 dan bonus demografi.
Kedua, bersepakat untuk masing-masing kabupaten/kota menurunkan stunting sampai 10%.
Ketiga, mendesign system pendeteksian gejala stunting dan pendataan stunting pada ibu hamil dan anak dalam 1000 kelahiran pertama hidup yang mutakhir dan akurat melalui pengukuran tinggi dan berat badan 100% serta pemberian makanan tambahan.
Keempat, mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mendukung program konvergensi percepatan penurunan stunting.
Kelima, membangun kolaborasi kelembagaan pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan) swasta, LSM serta lembaga agama dan adat dalam konvergensi percepatan penurunan stunting.
Keenam, mengintegrasi percepatan penurunan dan penanganan stunting dengan program penanggulangan kemiskinan nasional dan daerah.
Ketujuh, pendayagunaan berbagai potensi lokal sebagai menu bergizi untuk makanan tambahan bagi ibu dan bayi.
Kedelapan, melakukan peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparat pemerintah yang profesional dalam pencegahan dan penanganan stunting.
Kesembilan, melakukan supervisi, monitoring-evaluasi, dan pengawasan secara berkala dan berkelanjutan terhadap implementasi program konvergensi stunting. (dpr)