Kupang, detak-pasifik.com- Kupang gerbang selatan Indonesia, seharusnya menjadi etalase peradaban Nusa Tenggara Timur, sebuah kota yang tidak hanya hidup dalam denyut lalu lalang warganya, tetapi juga bernafas dalam keasrian dan keteraturan. Tetapi, kenyataan berkata lain.
Kupang hari ini, dalam pandangan pengamat politik dan ekonomi NTT, Drs. Guido Fulbertus, M.Si., lebih menyerupai lelaki gondrong yang membiarkan rambutnya tumbuh liar tanpa pernah dirapikan. Dahan pohon meranggas dan menjulur tanpa kendali, menutupi rambu-rambu lalu lintas, mengaburkan arah bagi para pengguna jalan yang melintas. Sementara itu, sampah berserakan, terbawa angin seperti kekacauan kecil yang tak kunjung teratasi.
Di awal masa kepemimpinannya, Walikota Kupang, dr. Christ Widodo, dan wakilnya, Serena Francis, diharapkan mampu menjadikan pembenahan kota sebagai prioritas. Bukan sekadar penataan fisik, tetapi juga perbaikan wajah peradaban.
Salah satu kebijakan yang mendapat apresiasi dari Guido adalah instruksi untuk menjadikan pohon hidup sebagai hadiah dalam setiap event sosial. Bukan pohon plastik yang mati dalam kemewahan semu, tetapi bibit pohon buah-buahan yang kelak akan tumbuh subur di sepanjang jalan utama kota.
“Bayangkan, pepohonan itu bukan hanya menjadi peneduh bagi para pejalan kaki, tetapi juga menyediakan buah yang bisa dinikmati siapa saja, sebuah simbol kesejahteraan yang dapat dipetik oleh semua penduduk,” kata Guido.
Dalam percakapannya dengan detakpasifik.com pada Kamis, 27 Februari 2025, Guido menegaskan bahwa menanam pohon adalah lebih dari sekadar menjaga ekosistem dan suplai oksigen bagi kota. Menanam pohon adalah tindakan merawat kehidupan, sebuah langkah kecil yang dapat mengubah kesemrawutan menjadi ketertiban, kekumuhan menjadi keindahan.
“Kupang harus dirapikan. Rambutnya sudah terlalu panjang dan kusut. Dahan-dahan yang menjuntai perlu dipangkas, agar kota ini bisa bernafas lega,” ujarnya.
Ia pun mengenang impian lamanya saat mencalonkan diri sebagai Walikota, sebuah gagasan sederhana tetapi penuh makna: menanam pohon buah-buahan dari Penfui hingga Polda.
“Siapa yang akan memetik buahnya? Itu urusan nanti. Yang terpenting adalah memberikan contoh bagi masyarakat kota untuk memanfaatkan setiap jengkal tanah yang mereka miliki dengan sesuatu yang bernilai,” katanya, sembari mengisyaratkan bahwa hijau dan bersih saja tidak cukup. Kupang juga harus produktif.
Saat ini, yang lebih banyak tumbuh di sudut-sudut kota bukanlah taman-taman bunga yang rapi, melainkan rumput liar yang tak terurus. Padahal, slogan Green and Clean yang kerap didengungkan mestinya lebih dari sekadar kata-kata. Kota ini perlu lebih dari sekadar bersih dan hijau; ia harus hidup, tumbuh, dan berbuah bagi warganya, bagi lingkungannya, bagi masa depannya.* (dp/pr)