Hakikat Studi Doktor di Indonesia: Antara Ideal dan Realitas

Dr. Wilson M.A Therik. Dok. uksw.edu

Hakikat utama studi doktor adalah menghasilkan kontribusi baru dalam bidang ilmu pengetahuan, baik melalui penemuan konsep, metode, atau teori baru, maupun penerapan solusi inovatif untuk masalah-masalah yang kompleks.

Oleh Wilson M.A. Therik, Dosen Pascasarjana S3 Studi Pembangunan UKSW Salatiga/Redaktur Eksekutif detakpasifik.com

Studi doktoral adalah puncak dari perjalanan akademik yang menuntut dedikasi, ketekunan, dan kemampuan intelektual tingkat tinggi. Dalam konteks pendidikan tinggi, studi doktoral diharapkan menjadi salah satu sarana utama untuk menghasilkan inovasi, memperluas cakrawala pengetahuan, dan menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat. Namun, di Indonesia, harapan ini sering kali terhalang oleh berbagai kendala sistemik dan struktural yang membuat perjalanan studi doktoral lebih menantang dibandingkan ideal yang digambarkan.

Hakikat utama studi doktor adalah menghasilkan kontribusi baru dalam bidang ilmu pengetahuan, baik melalui penemuan konsep, metode, atau teori baru, maupun penerapan solusi inovatif untuk masalah-masalah yang kompleks. Kontribusi ini bersifat orisinal dan dapat diverifikasi melalui proses ilmiah yang ketat. Dalam konteks global, standar ini dijadikan patokan untuk menilai kualitas program doktoral. Namun, ketika standar ini diterapkan dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia, banyak tantangan yang muncul, mulai dari keterbatasan infrastruktur hingga budaya akademik yang kurang mendukung kemandirian.

Sayangnya beberapa pengelola program studi doktor di Indonesia justru mengabaikan hakikat studi doktor, salah satu di antaranya adalah Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia menangguhkan gelar doktor Bahlil Lahadalia karena diduga melanggar kode etik karena masa studinya kurang dari empat semester (Kompas, 15/11/2024) begitu juga dengan praktik pemberian gelar doktor honoris causa dan profesor kehormatan pada sejumlah public figure dari kalangan politisi maupun selebriti yang secara akademis justru tidak punya kontribusi strategis pada perkembangan Ilmu, Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS) namun dianggap hal yang lumrah.

Ekspektasi Orisinalitas dalam Studi Doktoral

Mahasiswa doktor di Indonesia, seperti di negara lain, dituntut untuk menghasilkan penelitian yang orisinal. Orisinalitas ini seharusnya tercermin dalam disertasi yang mereka hasilkan, yang idealnya menjadi dokumen akademik yang mencerminkan kontribusi baru dalam bidangnya. Sayangnya, banyak mahasiswa yang kesulitan memenuhi tuntutan ini karena kurangnya akses terhadap fasilitas riset, data, atau literatur ilmiah yang memadai.

Salah satu masalah mendasar adalah keterbatasan anggaran riset. Menurut laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), anggaran untuk riset di Indonesia masih jauh di bawah negara-negara maju. Pada tahun 2022, anggaran riset Indonesia hanya sekitar 0,23% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih rendah dibandingkan Korea Selatan (4,8%) atau Jerman (3,1%). Dampaknya, banyak mahasiswa doktor yang harus berjuang sendiri untuk mendapatkan dana riset tambahan atau bahkan menggunakan dana pribadi untuk menyelesaikan proyek mereka.

Klik dan baca juga:  Para Mahasiswa Wajib Konsultasi Tugas dalam Bahasa Inggris

Selain itu, orisinalitas penelitian sering kali terhambat oleh tuntutan publikasi di jurnal internasional bereputasi. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing global mahasiswa doktor Indonesia, dalam praktiknya, banyak mahasiswa yang hanya mengejar kuantitas publikasi tanpa benar-benar memastikan kualitas dan relevansi penelitian mereka. Tidak jarang, tekanan untuk mempublikasikan justru mendorong mahasiswa menggunakan jalan pintas, seperti memanfaatkan jurnal predator atau melakukan plagiarisme. Hal ini menunjukkan bahwa sistem saat ini belum sepenuhnya mendukung hakikat studi doktor sebagai proses untuk menghasilkan inovasi yang bermakna, bahkan ada yang memanfaatkan jasa joki (Kompas, 10/2/2023).

Kemandirian Akademik dan Tantangan Budaya

Kemandirian akademik adalah salah satu aspek utama yang diharapkan dari seorang mahasiswa doktor. Mereka diharapkan mampu merancang dan menjalankan penelitian secara mandiri, dengan tetap mendapatkan bimbingan dari pembimbing akademik. Namun, dalam konteks Indonesia, hubungan antara mahasiswa doktor dan pembimbing sering kali terlalu didominasi oleh hierarki akademik.

Budaya akademik di Indonesia, yang masih sangat hierarkis, sering kali membuat mahasiswa merasa enggan untuk menantang atau berbeda pendapat dengan pembimbing mereka. Akibatnya, banyak mahasiswa yang cenderung mengikuti arahan pembimbing tanpa mempertanyakan relevansi atau orisinalitas ide yang diajukan. Hal ini tidak hanya menghambat kreativitas, tetapi juga mengurangi kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan inovatif.

Di sisi lain, beban kerja pembimbing juga menjadi tantangan tersendiri. Dalam banyak kasus, seorang pembimbing di Indonesia harus menangani banyak mahasiswa sekaligus, baik di tingkat S1, S2, maupun S3. Kondisi ini membuat proses bimbingan sering kali kurang optimal, karena pembimbing tidak memiliki cukup waktu untuk memberikan perhatian penuh pada setiap mahasiswa doktor. Lebih konyol lagi dosen pembimbing yang sudah bergelar doktor tidak diperkenankan menjadi promotor hanya karena belum mencapai jabatan fungsional akademik lektor kepala atau guru besar (profesor) padahal The Conversation (14/11/2024) melaporkan bahwa 8 dari 10 guru besar di Indonesia terindikasi menerbitkan artikel di jurnal ‘predator’.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan budaya akademik yang lebih egaliter. Pembimbing harus dilatih untuk menjadi fasilitator yang mendukung pengembangan ide-ide mahasiswa, bukan sekadar memberi arahan yang harus diikuti. Mahasiswa, di sisi lain, harus diberi ruang untuk mengeksplorasi ide-ide mereka secara mandiri, dengan dukungan infrastruktur yang memadai. Jabatan fungsional akademik dosen seharusnya tidak menjadi penghalang bagi dosen yang sudah bergelar doktor untuk membimbing mahasiswa doktor baik sebagai promotor atau ko-promotor meskipun belum mencapai jenjang lektor kepala atau profesor.

Infrastruktur Penelitian yang Belum Memadai

Infrastruktur penelitian merupakan elemen kunci dalam proses studi doktoral. Tanpa laboratorium yang memadai, akses ke jurnal-jurnal internasional bermutu, dan dukungan teknologi modern, sulit bagi mahasiswa doktor untuk menghasilkan penelitian yang kompetitif di tingkat global. Sayangnya, banyak universitas di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa, masih menghadapi keterbatasan infrastruktur ini.

Klik dan baca juga:  Investasi Sumber Daya Manusia

Mahasiswa doktor yang melakukan penelitian eksperimental, misalnya, sering kali harus bekerja dengan peralatan yang sudah usang atau bahkan tidak tersedia. Sementara itu, mahasiswa yang membutuhkan data primer sering kali menghadapi tantangan birokrasi untuk mendapatkan izin penelitian, terutama jika mereka ingin melakukan penelitian di instansi pemerintah atau perusahaan swasta.

Selain itu, akses ke literatur ilmiah juga menjadi masalah besar. Meskipun beberapa universitas ternama di Indonesia sudah memiliki akses ke database jurnal internasional, banyak universitas lain yang masih belum mampu menyediakan fasilitas ini. Sebagai alternatif, mahasiswa sering kali harus mengandalkan sumber terbatas seperti artikel gratis di internet atau bahkan meminta bantuan dari kolega di luar negeri.

Tekanan Administratif dan Kebijakan Publikasi

Salah satu isu yang sering disoroti dalam studi doktoral di Indonesia adalah tekanan administratif, terutama terkait dengan kewajiban publikasi. Sejak beberapa tahun terakhir, publikasi di jurnal internasional bereputasi menjadi salah satu syarat wajib untuk lulus program doktor. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing global lulusan doktor Indonesia. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini justru sering menjadi beban tambahan bagi mahasiswa.

Publikasi di jurnal bereputasi membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Proses peer review yang ketat dan panjang sering kali membuat mahasiswa harus menunda penyelesaian disertasi mereka. Selain itu, biaya untuk mengirimkan artikel ke jurnal tertentu, terutama yang bersifat open access, juga cukup mahal dan sering kali tidak didukung oleh anggaran universitas.

Akibatnya, banyak mahasiswa yang mencari alternatif seperti jurnal ‘predator’, yang menawarkan proses publikasi cepat dengan biaya tertentu, tetapi tidak diakui oleh komunitas akademik global. Masalah ini menunjukkan bahwa kebijakan publikasi yang ada saat ini masih perlu dievaluasi, terutama dalam hal bagaimana universitas dapat mendukung mahasiswa untuk memenuhi persyaratan ini tanpa mengorbankan kualitas penelitian mereka.

Peluang dan Masa Depan Studi Doktoral di Indonesia

Di balik semua tantangan yang ada, studi doktoral di Indonesia juga memiliki banyak peluang untuk berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dan universitas-universitas di Indonesia mulai mengambil langkah-langkah penting untuk meningkatkan kualitas program doktoral.

Misalnya, Kemendikbudristek telah meluncurkan berbagai program hibah penelitian yang dapat diakses oleh mahasiswa doktor. Selain itu, beberapa universitas mulai memperkuat kerja sama internasional dengan institusi luar negeri, yang membuka peluang bagi mahasiswa doktor untuk mendapatkan pengalaman penelitian di luar negeri atau bekerja dengan pembimbing dari universitas ternama dunia.

Klik dan baca juga:  Bank NTT Sebagai Agen Perubahan Sosial Pedesaan di NTT

Pemerintah juga mulai menggalakkan program beasiswa, seperti Beasiswa Unggulan, LPDP, dan program-program lain yang memberikan dana tidak hanya untuk biaya pendidikan, tetapi juga untuk penelitian dan publikasi. Langkah-langkah ini menunjukkan adanya komitmen untuk meningkatkan daya saing mahasiswa doktor Indonesia di tingkat global.

Namun, untuk memastikan bahwa hakikat studi doktor benar-benar tercapai, diperlukan langkah yang lebih strategis dan menyeluruh. Berikut beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan:

a) Meningkatkan Anggaran Riset: Pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran untuk riset, terutama di bidang-bidang strategis yang memiliki potensi besar untuk memberikan dampak sosial dan ekonomi. Dana ini harus dikelola secara transparan dan disalurkan langsung ke universitas dan lembaga riset;

b) Memperbaiki Infrastruktur Penelitian: Universitas perlu diberikan dukungan untuk meningkatkan fasilitas riset mereka, termasuk laboratorium, akses ke jurnal internasional, dan teknologi penelitian terbaru;

c) Mengubah Budaya Akademik: Budaya akademik yang lebih egaliter dan kolaboratif perlu dibangun, sehingga mahasiswa doktor merasa lebih nyaman untuk mengeksplorasi ide-ide baru tanpa tekanan hierarki atau birokrasi;

d) Merevisi Kebijakan Publikasi: Kebijakan publikasi perlu disesuaikan agar tidak hanya berfokus pada kuantitas, tetapi juga kualitas. Universitas perlu memberikan dukungan teknis dan finansial kepada mahasiswa untuk membantu mereka mempublikasikan penelitian di jurnal bereputasi;

e) Mendorong Kolaborasi Internasional: Kolaborasi dengan universitas dan lembaga riset internasional perlu terus ditingkatkan untuk memberikan mahasiswa doktor akses ke jejaring akademik global.

Hakikat Studi Doktor

Hakikat studi doktoral adalah melahirkan pemikir-pemikir kritis yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat. Di Indonesia, perjalanan untuk mencapai hakikat ini masih penuh tantangan, mulai dari keterbatasan infrastruktur hingga tekanan administratif yang menghambat kreativitas. Namun, dengan komitmen yang lebih kuat dari semua pemangku kepentingan, studi doktoral di Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak kemajuan ilmu pengetahuan global.

Kuncinya adalah menciptakan ekosistem yang mendukung kemandirian, inovasi, dan orisinalitas, serta memberikan ruang bagi mahasiswa doktor untuk berkembang menjadi pemimpin intelektual yang mampu menghadapi tantangan zaman. Dengan begitu, studi doktoral tidak hanya menjadi simbol pencapaian akademik, tetapi juga menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih cerah bagi Indonesia.