Oleh Marsel Natar
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia kembali menoleh ke akar sejarah perjuangan pendidikan melalui peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal ini dipilih untuk mengenang lahirnya Ki Hadjar Dewantara—bapak pendidikan nasional—yang tidak sekadar mencetuskan konsep pendidikan sebagai alat pembebasan, tetapi juga menanamkan gagasan bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara, tanpa kecuali. Tahun ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Sebuah tema yang sarat makna, dan pada saat bersamaan, menjadi pengingat akan pekerjaan rumah yang belum juga tuntas: kesejahteraan guru.
Guru: Pilar Pendidikan yang Sering Terlupakan
Di ruang-ruang kelas yang sederhana, di sudut-sudut pelosok negeri yang tak terjangkau sinyal atau jalan aspal, para guru tetap berdiri. Mereka mengajar bukan hanya dengan papan tulis dan spidol, melainkan dengan ketulusan dan semangat pengabdian yang nyaris tak tergantikan. Namun di balik dedikasi itu, tak sedikit dari mereka hidup dalam kondisi yang jauh dari kata layak. Ribuan guru honorer di Indonesia menerima gaji bulanan yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Ada yang digaji Rp300 ribu sebulan, ada pula yang bergantung pada honor dari jam mengajar tambahan yang tidak menentu jumlahnya.
Realitas ini menjadi ironi dalam wajah pendidikan Indonesia. Guru yang menjadi pelaku utama dalam proses pendidikan justru berada dalam posisi yang rentan dan termarginalkan. Dalam banyak kasus, mereka tidak hanya harus berjuang mencerdaskan anak bangsa, tetapi juga bertarung dengan kecemasan akan masa depan mereka sendiri. Ketika guru hidup dalam ketidakpastian ekonomi, mustahil mengharapkan pendidikan yang bermutu lahir dari kondisi tersebut. Seorang guru yang setiap harinya dihantui kekhawatiran soal biaya makan, transportasi ke sekolah, atau kebutuhan anak sendiri, tentu tak bisa sepenuhnya fokus dalam menjalankan perannya sebagai pendidik.
Pendidikan bermutu bukan hanya soal kurikulum yang baik atau teknologi yang canggih. Pendidikan yang bermutu bermula dari guru yang sejahtera. Sebab mereka adalah fondasi utama dalam membentuk karakter, kecerdasan, dan visi generasi penerus.
Partisipasi Semesta: Bukan Sekadar Slogan
Tema Hardiknas 2025 mengandung semangat kolaborasi: bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tugas bersama seluruh lapisan masyarakat. Namun pertanyaannya, seberapa serius kita memahami “partisipasi semesta”? Apakah hanya sebatas menghadiri upacara dan membagikan ucapan di media sosial, ataukah betul-betul terlibat dalam mendukung keberlangsungan pendidikan yang adil dan berkualitas?
Partisipasi semesta berarti bahwa semua pihak—mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, lembaga pendidikan, komunitas masyarakat, hingga keluarga—harus mengambil peran aktif dalam menjawab tantangan pendidikan. Dan salah satu tantangan terbesar hari ini adalah bagaimana kita memperlakukan guru: apakah sebagai mitra strategis pembangunan peradaban, atau hanya sebagai pekerja jasa yang mudah diganti?
Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan utama, memikul tanggung jawab untuk menjamin status kerja yang jelas bagi guru honorer, memastikan gaji dan tunjangan dibayarkan tepat waktu, dan menciptakan sistem pembinaan berkelanjutan yang berpihak pada kualitas hidup guru. Dunia usaha, terutama BUMN dan korporasi besar, bisa mengambil bagian dalam program CSR yang menyasar pelatihan guru, pengadaan rumah layak bagi guru di daerah terpencil, atau beasiswa pengembangan profesional. Sementara itu, masyarakat sipil dan organisasi keagamaan bisa menciptakan budaya hormat terhadap profesi guru, termasuk dengan menghindari narasi yang merendahkan peran guru dalam masyarakat.
Jika kita sepakat bahwa pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa, maka partisipasi dalam membela hak-hak guru harus menjadi bagian integral dari gerakan pendidikan nasional. Tanpa itu, tema Hardiknas tahun ini akan tinggal sebagai slogan tanpa makna.
Masa Depan Terang Dimulai dari Guru yang Sejahtera
Ada hubungan yang tidak bisa diabaikan antara kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan. Berbagai studi pendidikan di tingkat global telah menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem pendidikan unggul adalah negara yang menempatkan guru pada posisi yang mulia—bukan hanya secara simbolik, tetapi juga secara struktural dan ekonomi. Finlandia, misalnya, dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Salah satu kuncinya adalah penghormatan terhadap profesi guru yang diwujudkan melalui gaji yang layak, pelatihan profesional berkualitas tinggi, dan otonomi dalam mengelola kelas.
Di Indonesia, potensi guru luar biasa besar. Banyak guru yang tetap bersemangat, kreatif, dan berinovasi di tengah segala keterbatasan. Namun potensi itu tak akan berkembang optimal bila tidak didukung oleh sistem yang adil dan memanusiakan. Ketika guru dihargai, diberi ruang untuk tumbuh, dan dijamin kesejahteraannya, maka akan lahir pendidikan yang penuh semangat dan kebermaknaan. Anak-anak akan belajar bukan hanya dengan kepala, tetapi juga dengan hati.
Masa depan cerah bangsa Indonesia sangat bergantung pada kualitas generasi mudanya. Dan kualitas generasi muda itu, tidak bisa dilepaskan dari siapa yang mendidik mereka hari ini. Guru yang hidup dalam kecemasan dan kekurangan akan sulit membangun generasi yang percaya diri, kritis, dan berdaya saing. Sebaliknya, guru yang hidup dalam lingkungan yang mendukung dan sejahtera akan mentransmisikan energi positif, rasa percaya diri, dan kemauan untuk belajar kepada anak didik mereka.
Pendidikan Bermutu Dimulai dari Keberanian Berpihak
Hardiknas bukan sekadar momentum tahunan untuk mengenang sejarah. Ia adalah cermin tempat kita bertanya: sudah sejauh mana kita menghormati para pelaku utama pendidikan? Tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” harus dibaca secara utuh, tidak hanya sebagai ajakan kolaborasi, tetapi juga sebagai tantangan moral: apakah kita cukup berani untuk berpihak kepada guru?
Karena sejatinya, pendidikan tidak bisa dimajukan hanya dengan membangun gedung sekolah atau mengganti silabus. Pendidikan bermutu dibangun dari hubungan yang sehat antara semua unsur—dan itu dimulai dari memperjuangkan kesejahteraan mereka yang menjadi tulang punggung pendidikan.
Sudah waktunya kita berhenti menjadikan guru sebagai simbol, dan mulai memperlakukan mereka sebagai subjek utama perubahan. Guru yang sejahtera adalah syarat utama bagi lahirnya pendidikan yang manusiawi, berkeadilan, dan bermutu untuk semua.
Penulis merupakan rohaniwan Katolik pada kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus. Penulis buku kumpulan cerita dengan judul Usaha Membunuh Tuhan. Sekarang menetap di Ndao, Ende Flores NTT.