Oleh: P. Kons Beo, SVD
Kisah Bicara Kita dalam Keseharian
Ini repotnya bila kita bagaya su tau semua. Saat bicara tentang satu keadaan seolah-olah kita terlibat di dalamnya. Kita lukiskan satu kenyataan seperti kita berperan di dalamnya. Atau macamnya kita adalah saksi seperti telah melihatnya dengan mata kepala kita sendiri. Lihatlah dalam keseharian. Ada yang bicaranya lancar. Gaya ceritanya laju. Tak terputus. Tanpa titik. Lagi pula mimik bicaranya benar-benar meyakinkan. Saya teringat seorang senior yang selalu ingatkan sekenanya, “Hati-hati! Sebab musuh itu tidak boleh dipercayai, bukan?”
Tetapi, apakah laju bicara penuh ekspresi itu berisi dan bertolak dari kenyataan? Ada yang amat jarang atau bahkan tak pernah ke rumah tetangga. Tetapi lihatlah, betapa ia pung isi carita tentang rumah tetangganya sekian runut. Sepertinya, ia bicara tanpa beban. Mungkin saja hanya karena punya modal kecepatan bicara. Pun pula karena ia sekian piawai dalam mendramatisasi keadaan rumah sesamanya.
Bukankah keributan antar tetangga terjadi karena soal bicara yang kurang tertib? Tetangga atau sesama datang ngamok karena merasa dilecehkan nama baiknya? Banyak ketersinggungan terjadi sana-sini karena perang isi bicara yang tidak pada tempatnya. Ujung dari semua itu adalah rasa hati menjadi dingin. Diam membisu bila bersua. Pun ambil jalan lain agar tak berjumpa! Yang bikin geger, itu tadi, andaikan terjadi baku perang kata dengan nada-nada super tinggi! Atau juga tidak lagi baku tegur memang.
Relasi, komunikasi atau hubungan di dalam keluarga (besar), dalam kelompok, dalam masyarakat, di tempat kerja, atau dalam persahabatan menjadi kendor dan keropos akibat dinamika komunikasi yang kebablasan. Artinya, tak sesuai kenyataan. Dan parahnya lagi ketika kisah bicara itu dimuncratkan secara tak elok. Tidak pada suasana dan tempatnya. “Ini benar-benar parah,” kata orang, “Kalau memang berbakat mulut ember dan cerewet mati punya, suasana akrab dan kekariban segera pergi jauh.”
Ini baru soal bicara bersisi minus. Tentu tentang orang lain atau sesama. Ada lagi yang bagaya omong tinggi semua! Ini jurus dari orang yang gaya bicaranya hebat-hebat semua tentang diri sendiri, tentang orang-orang dari kelompoknya, tentang kampung asalnya, tentang keluarganya. Pokoknya macam-macamlah. Yang pentingnya ‘yang hebat-hebat ini mesti berpautan dengan dirinya.’
Di titik ini, style bicara seperti ini agaknya sedikit dimaklumi. Terkadang demi suasana lebih santai dan meriah dibutuhkan tipe manusia yang suka bicara tinggi dan omong enak semua. No problem. Karena terkadang ganda-ganda berbumbu joak gaya Manggarai juga disukai dan perlu. Atau jago ngeri untuk wora mati punya ala orang Ende, seperti gaya bahasa berbunga-bunga itu memang dirindukan. Semuanya untuk membunuh suasana dingin dan serius. Tak usah terlalu diseriusi sejadinya.
Tetapi menjadi soal bila gaya omong tinggi itu mesti terjadi dengan rendahkan atau lecehkan orang lain. Toh, komunikasi yang benar, segar dan sehat tak pernah dibangun di atas perendahan terhadap orang lain. Tak boleh juga demi satu pencitraan diri sendiri yang ‘ok’ dengan tegah menggarap kelemahan atau kekurangan pihak yang lain. Karena toh sering terjadi, kita bisa berfoya-foya dengan pesta pora di bibir ke sana ke mari berbekal menu kelemahan, kekurangan, ketidakhebatan, kegagalan, kesesatan, atau ketidakberuntungan orang lain. Inilah yang merusakkan rasa kebersamaan dan semangat kekeluargaan serta sikap saling menerima.
Segurat Pesan Pada Hari Komunikasi Sedunia 2021
Minggu, 16 Mei 2021 ini ditetapkan sebagai Hari Komunikasi Sedunia. Pesan Paus Fransiskus pada hari ini dibalut dalam tema: ‘Datang dan Lihatlah: Berkomunikasi Dengan Menjumpai Orang Apa Adanya.’ Sekian banyak pesan bermakna yang disampaikan Paus demi satu dialog atau komunikasi yang benar dan jujur antara manusia. Mari kita simak sekilas makna di baliknya.
Amat menyentuh bahwa Paus memulai seruannya agar siapapun berani “Menghabiskan sol sepatu”: Turun ke Jalan. Dunia menjadi kacau oleh cerita dan berita yang jauh dari kenyataan dan melawan kejujuran. Kualitas investigatif aneka media komunikasi atas dasar kebenaran telah terplintir secara amat tendensius demi kepentingan semata. Diperparah oleh reaksi dan sikap tak kritis dari para konsumen berita atas kesesatan informasi, situasi keruh penuh kemelut dapat dengan mudah terlahir.
Oleh karena itulah perlu direnungkan dan disikapi serius dari apa yang dipesan Paus Fransiskus, bahwa adalah satu risiko akan kebenaran jika ‘Tanpa “menghabiskan sol sepatu” (turun ke jalan), tanpa bertemu orang untuk mencari cerita atau memverifikasi situasi tertentu dengan mata kepala sendiri. Jika kita tidak membuka diri pada perjumpaan, kita tetap tinggal sebagai penonton dari luar…’
Bersama Paus Fransiskus, dunia mesti berterimakasih pada para jurnalis. Para pemburu berita ini miliki nyali yang luar biasa pergi ke tempat tak seorang pun pergi. Itulah para jurnalis yang miliki keberanian dan terbuka pada kenyataan yang sesungguhnya. Paus pun sadar bahwa kegembiraan sebagai wartawan tentu mengumpan risiko bagi hidupnya sendiri. Tidak kah kebenaran seringkali berubah menjadi taruhan nyawa seorang peliput berita?
Kita pasti tak sekedar nikmati sekian banyak info, cerita dan berita yang tersampaikan oleh para jurnalis. Bayangi saja perjuangan mereka untuk merilis tentang kisah-kisah pilu kehidupan dunia: perang, kemiskinan, kelaparan, sakit dan penderitan, berbagai macam kekerasan. Bukankah para wartawan itu pun bertarung dalam berpegang pada prinsip kenyataan yang dilihat dan dialaminya? Kekuatan dari semuanya adalah bahwa mereka datang dan melihat serta berkisah tentang apa adanya!
Patut pula direnungkan dalam konteks kita apa yang disebut Paus sebagai ‘Peluang dan Jebakan Website.’ Masa kini sungguh telah terbuka dengan pelbagai kemudahan oleh karena teknologi komunikasi yang semakin berkembang. Siapapun tak mau dianggap ketinggalan zaman dalam berita dan berbagai info. Segala dimensi kehidupan manusia dengan semua isi berita, kisah dan uraiannya telah tersaji dalam dapur informasi cepat saji. Inilah yang disebut peluang yang menggembirakan.
Tetapi, tentu ada perangkap atau jebakan hebat di balik semuanya. Bukankah satu berita dapat dibelok arah tujuannya? Manipulasi berupa editan berita, kisah, gambar, atau percakapan, dengan mudah pula terjadi. Bukankah banyak pembaca, penikmat, peminat berita atau info pada akhirnya sadar bahwa ia telah terkecoh oleh jebakan manipulatif dari satu pemberitaan?
Sayang, sekian banyak orang tersekap dalam kebohongan dan kepalsuan setelah ditarik masuk dalam kebenaran dan kenyataan yang sesungguhnya. Satu kisah, kini, diterima sungguh sebagai cerita sesungguh-sungguhnya, saat telah lewati satu dua cek fakta dan investigasi lapangan. Tentu inilah yang menjadi alasan Paus Fransiskus tegaskan, “Melihat secara langsung sungguh tak tergantikan.”
Akhir Kata
Sekian banyak cerita, kisah, peristiwa yang tergambar sebagai informasi telah menjadi tamu di mata dan telinga kita. Dan kita bergembira pun karenanya. Semuanya tentu menuntut perjuangan untuk menelisiknya agar tak terjerembab dalam kepalsuan. Keluar dari diri sendiri menuju sesama dalam keadaannya adalah langkah bijak menuju kebenaran. Kita butuh kesejukan hati. Kekuatan dan kedalaman iman mesti dimiliki untuk memaknai aneka pemberitaan. Kita butuhkan pancaindra ilahi untuk meneropong kisah-kisah kehidupan ini.
Komunikasi sejuk dapat terbangun saat kita datang dan melihat secara langsung. Sepantasnyalah kita bebaskan diri dari sudut tinjau dan tafsiran milik kita sendiri untuk ditempelkan pada satu keadaan atau situasi tertentu. Ya, datang dan lihat sendiri, adalah modal telak untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai bagian utuh dari satu dua peristiwa yang tengah dialami.
Akhirnya, mari kembali pulang ke kisah harian kita. Tentu, ribut-ribut dengan tetangga pasti terhindarkan, kalau kita tak asal bicara sesuka hati. Enyahkanlah tendensi bicara yang tak mempertenggangkan kekuatan perasaan hati orang lain. Karena itulah, yang terbaik adalah “Jika kita tak tahu, bagusnya kita diam…”
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro-Roma