Harun Masiku diisukan telah tewas atau disembunyikan, sementara Nurhadi cs diisukan dilindungi dalam golden premium protection di salah satu tempat di Jakarta.
Oleh Pius Rengka
Hari Rabu (6/4/2022) genap 500 hari, Harun Masiku senyap ditelan gelap. Sunyi nian. Tak seorang jua pun di negeri ini sanggup menemukannya. Seolah-olah negara ini dibuatnya tak berdaya. Negeri ini seolah-olah tak memiliki aparatur yang sanggup menemukannya di semua jenis lubang belantara kembaranya. Siapa pun yang ada di baliknya, hilangnya Masiku adalah sejenis definisi tentang kekejian yang melampaui nalar kemanusiaan. Apa pun mungkin alasan yang ditakar.
Kecuali poster bergambar wajahnya telah beredar luas. Poster wajahnya sungguh tampak nan teduh, damai dan berarti. Poster dirinya telah viral dikirim entah oleh siapa ke berbagai grup media online. Semua pembaca, sesungguhnya maklum.
Meski foto Harun Masiku tersiar luas, tetapi dia tetap tegar mengaso di lubang persembunyian. Tak ada tanda-tanda nyata yang tandas menjelaskan di manakah gerangan dia berada.
Masiku dicari di setiap kisi-kisi bumi, tetapi tetaplah senyap, diam sejuta kata dan jauh dari gaduh pencarian orang. Tampaknya, aparatur negara seperti tak berdaya. Polisi Indonesia yang bereputasi seolah-olah sulit menemukannya, meski aparatur negara penegak hukum di negeri ini telah banyak prestasi dan reputasi berhasil menangkap teroris yang bersembunyi entah di lubang batu sekalipun.
Lantaran itu, Masiku adalah satu dan mungkin satu-satunya makhluk dari aneka jenis makhluk sakti yang masih tersisa di bumi. Dia ada, tetapi tiada. Dia tiada, tetapi ada. Dia diam dalam ada dan ada dalam diam. Sepertinya, Masiku sedang menggenapi apa kata filsuf Martin Heideger. Dia adalah ada begitu saja. Hal itu sama dengan dasein, yaitu dia ada di sana dan bukan di sini. Dia ada di sana begitu saja. Dia terlempar.
Di foto yang disebar luas, Masiku mengenakan seragam partai. Dia tampak klimis, rapi dan senyum di kulum seolah-olah dia sedang mengolok khalayak ramai sambil bermain cilukba. Dia buat banyak orang sia-sia.
Kita pun tidak wajib membencinya. Karena para pembenci sesungguhnya adalah kelompok orang yang mencintai budaya kematian, menerima tipu daya. Pecinta budaya kematian pastilah tidak suka menyaksikan kebaikan dan kebenaran. Maka para pecinta budaya kematian atau para pembenci adalah kaum pelindung keburukan, menabur kebusukan dan menolak kejujuran.
Jika waktu 500 hari tak bakal pernah kembali, maka menghabiskan waktu di lubang persembunyian adalah sejenis buang waktu. Dan, buang waktu adalah sejenis omong kosong. Omong kosong terbesar itu sungguh ada ketika manusia menunda waktu karena waktu yang ditunda adalah sejenis membuang waktu itu sendiri atau perbuatan menghabiskan waktu. Kahlil Gibran berkata, waktu tak pernah dan tak bakal pernah berjalan surut.
Maka waktu adalah gelombang yang menghempas hidup manusia ke tepian jurang kehidupan. Jika dia (Masiku) tidak untuk dirinya sendiri, lalu siapakah yang akan menjadi dia? Jika dia untuk dirinya sendiri, lalu apakah dia sesungguhnya? Jika tidak sekarang lalu kapan?
Amir Syamsudin (Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) menulis di harian Kompas edisi Senin, 16 Maret 2020 hlm. 6, menyebutkan, calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan (PDI-P) itu menghilang dan membuat perang media antara KPK dan petinggi Partai PDI-P. Kita juga diramaikan dengan kasus dugaan penerima suap, gratifikasi mantan Sekretaris MA Nurhadi cs yang digadang-gadang dapat membuka kotak pandora mafia peradilan di Mahkamah Agung.
Perang media antara penasihat hukum dan KPK juga terjadi. Baik Harun Masiku maupun Nurhadi cs telah ditetapkan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Harun diisukan telah tewas atau disembunyikan, sementara Nurhadi cs diisukan dilindungi dalam golden premium protection di salah satu tempat di Jakarta. KPK sebagai lembaga penegak hukum telah mengancam akan memidanakan pihak-pihak yang melindungi para buron DPO (Kompas, Ibid).
Saya kira dalam kasus hilangnya si orang hilang, kita semua pantas bertanya, Harun Masiku di manakah dikau gerangan berteduh?