Humanisme dan Implikasinya dalam Pendidikan

whatsapp image 2022 05 04 at 00.20.39
Umbu Tagela. Foto/dok ist.
  • Tiga pendekatan yang paling berpengaruh adalah ruang kelas terbuka, sekolah yang bebas, dan sekolah tanpa kegagalan.
  • Peran guru bukanlah mengawasi siswanya, melainkan membantu mereka agar dapat membuat keputusan-keputusan dan mengajar apa yang menjadikannya tertarik.

Oleh Umbu Tagela, Pengajar di FKIP UKSW

Progresivisme yang terorganisir berkembang hingga akhir abad IX, akan tetapi ide pemikirannya tetap eksis dan berpengaruh melalui berbagai gerakan yang secara umum mengacu sebagai humanisme kependidikan. Kalangan humanis mengadopsi sebagian besar prinsip-prinsip progresif yang mencakup keterpusatan pada anak, peran guru yang tidak otoritatif, pumpunan pada subjek didik yang terlibat aktif, dan sisi-sisi pendidikan yang kooperatif dan demokratis.

Namun, progresivisme bukanlah satu-satunya sumber humanisme pendidikan. Eksistensialisme juga bertindak sebagai stimulan gerakan ini. Sebagai akibatnya, humanisme pendidikan lebih memberikan penekanan secara signifikan pada keunikan anak secara perorangan daripada yang telah diberikan kalangan progresif yang cenderung lebih memahami anak (subjek didik) dalam kaca mata unit sosial. Geliat kalangan eksistensialis dalam humanisme pendidikan telah membawa ke arah penekanan pada pencarian makna persoalan dalam eksistensi manusia.

Adanya pemusatan pada anak secara perorangan dalam pendidikan humanistik telah semakin dipertegas lagi oleh penyumbang utama ketiga terhadap humanisme pendidikan – kalangan psikolog eksistensial atau humanistik. Kalangan psikolog ini dengan tokoh-tokoh seperti Carl Rogers, Abraham Maslow dan Arthur Combs. Para psikolog ini, bersamaan dengan banyak kolega mereka, telah memberi pengaruh signifikan dan langsung terhadap pendidikan humanistik. Pumpunan (fokus) mereka adalah pada pemberian bantuan subjek didik agar dapat menjadi ‘terhumanisasikan’ atau ‘teraktualisasikan’ – membantu subjek didik secara perorangan (individual) dalam menemukan, menjadi, dan mengembangkan kedirian sejatinya, serta keutuhan potensinya.

Rangsangan keempat bagi humanisme kependidikan adalah kritikus-kritikus romantik. Para penulis kritis mengemuka selama gejolak sosial tahun 1960-an dalam suatu ketegangan protes terhadap keadaan sekolah-sekolah yang represif, tidak manusiawi, dan tidak nalar. Mereka menandaskan bahwa sekolah-sekolah menjadi mematikan secara intelektual dan deskruktif secara psikologis karena mereka lebih disibukkan dengan aturan dan hukuman daripada kesehatan dan perkembangan manusia. Contoh tipikal jenis tulisan kependidikan mereka adalah karya John Holt, How Children Fail (1964), karya Herbert Kohl, 36 Children (1967), karya Jonathan Kozol, Death at an Erly Age (1967) dan karya George Dennison, The Lives of Children (1969). Karya susastra yang dihasilkan oleh kritikus-kritikus romantik sedemikian menarik, menyentuh perasaan dan populer. Sehingga, ia mampu memberikan pengaruh luas terhadap publik pembaca dan mengembangkan simpati lapisan bawah akan ekspresimentasi pendidikan humanistik.

Prinsip

Pembicaraan tentang humanisme kependidikan di sini tidak akan berupaya memberikan paparan terperinci mengenai prinsip-prinsip humanistik karena hal ini akan menuntut dimasukkannya banyak materi yang ‘dijelajah’ dalam bahasan tentang progresivisme. Pembicaraan di sini tampaknya lebih menyorot pada penekanan-penekanan humanistik dan menguji beberapa bentuk kelembagaan yang menjadi sarana kalangan humanis dalam mengungkapkan gagasan dan pendirian mereka.

Baca juga:

Hal inti bagi gerakan humanistik dalam pendidikan adalah keinginan untuk mewujudkan lingkungan-lingkungan belajar di mana para anak akan terbebas dari kompetisi yang seru, kedisiplinan yang keras, dan takut gagal. Kalangan humanis berupaya pindah dari hubungan berlawanan yang acapkali ditemukan di antara subjek didik dan guru, dan di sisi lain, mewujudkan hubungan kependidikan yang diresapi dengan kepercayaan serta rasa aman. Mereka percaya bahwa suasana semacam itu akan membebaskan subjek didik dari ketakutan-ketakutan yang menghabiskan energi dan destruktif, dan akan memungkinkan energi lebih banyak dikembangkan ke arah penumbuhkembangan kreativitas. Holt mengutip pandangan humanistik tentang hakikat (watak dasar) manusia dan menghubungkannya dengan belajar ketika ia menuliskan:

Bahwa anak-anak itu pada dasarnya pintar, energik, ingin tahu, besar kemauan untuk belajar, dan baik dalam belajar; bahwa mereka tidak perlu disuap dan digertak untuk belajar; bahwa mereka belajar dengan baik ketika mereka senang, aktif, terlibat, dan tertarik pada apa yang sedang mereka lakukan; mereka belajar kurang baik, atau bahkan sama sekali tidak baik, ketika mereka bosan, takut (diancam), dihina, dan cemas.

Klik dan baca juga:  Hakikat Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia

Singkat kata, kalangan humanis bergerak melampaui ‘mentalitas penjara’ dari sebagian besar sekolah dalam upaya menghadirkan lingkungan-lingkungan belajar yang akan mengarah pada pertumbuhan individual. Dari sini, tujuan mendasar pendidikan bagi kalangan humanis lebih terpusat pada aktualisasi diri daripada sekadar penguasaan penuh pengetahuan sebagai tujuan akhirnya. Dengan demikian, keterbukaan, penggunaan imajinasi, sementara pengujian yang dibakukan dan pengajaran massa (skala besar) tidak disetujui. Kalangan humanis mengusulkan bahwa para guru dapat secara amat gampang meraih tujuan mereka melalui kerja sama dengan individu-individu dan kelompok kecil. Sejalan dengan akar keberadaannya, humanisme kependidikan berupaya menghindari orientasi utama masyarakat modern.

Bentuk kelembagaan

Penekanan pada individualitas oleh para ahli pendidikan humanistik menimbulkan persoalan besar menyangkut keragaman dalam berbagai pendekatan persekolahan. Tiga pendekatan yang paling berpengaruh adalah ruang kelas terbuka, sekolah yang bebas, dan sekolah tanpa kegagalan. Hal-hal ini menjadi alternatif yang tersebar luas bagi pendekatan-pendekatan kependidikan tradisional di akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Ruang kelas terbuka memberikan sebuah pengalaman yang berupaya membongkar kekakuan ruang kelas tradisional. Ruang kelas terbuka adalah sebuah ruang kelas yang terdesentralisasikan, di mana meja-meja disekat-sekat ke dalam kluster-kluster dan ruang yang terbagi-bagi ke dalam wilayah-wilayah belajar. Wilayah-wilayah ini dipisah (disekat) oleh tempat-tempat buku, tabir-tabir, dan benda-benda lainnya.

Baca juga:

Ruang kelas semacam itu bisa saja mempunyai wilayah kegiatan untuk membaca, berhitung (matematika), dan seni. Setiap wilayah belajar (kajian) dilengkapi dengan beragam bahan-bahan belajar yang para subjek didik dapat menggunakan, memainkan atau membacanya di kala perlu. Ruang kelas terbuka tidak mempunyai jadwal yang kaku, baik dalam hal waktu ataupun materi (bahan ajar). Peralatan pun cukup tersedia untuk kerja sama dan mobilitas fisik subjek didik. Guru dan para asistennya sebagian besar menghabiskan waktu bersama beberapa orang dan kelompok kecil daripada dengan keseluruhan kelas. Ruang kelas terbuka berupaya menyediakan sebuah komunitas belajar di mana para guru dan subjek didik untuk bekerja bersama. Kohl mencatat bahwa dalam ruang kelas terbuka:

Peran guru bukanlah mengawasi siswanya, melainkan membantu mereka agar dapat membuat keputusan-keputusan dan mengajar apa yang menjadikannya tertarik. Dalam sebuah ruang kelas terbuka, seorang siswa bertindak selaras dengan keinginannya sendiri daripada dengan apa yang diharapkan (guru) padanya. Guru tidaklah harus mengharapkan hal yang sama kepada semua siswanya. Sebaliknya, guru harus belajar menerima perbedaan, namun hal ini harus muncul dari apa yang secara nyata terjadi dalam ruang kelas selama tahun ajaran, dan tidak dari prakonsepsi-prakonsepsi. Gerakan sekolah bebas dapat dilihat secara luas sebagai sebuah gejolak dari pendidikan publik (umum) yang tidak bisa memberikan kondisi yang layak untuk pendidikan humanistik karena corak ‘anak-manisnya’ (baby-sitting) dan fungsi-fungsi indoktrinasinya. Sekolah-sekolah bebas telah dikembangkan oleh kalangan orang tua dan guru yang tidak puas yang menginginkan anak-anak mereka terbebas dari sistem otoritatif dengan penekanannya pada kurikulum yang terstrukturkan dan tuntutan-tuntutan persesuaian.

Sekolah-sekolah bebas didirikan di seluruh tempat dari kawasan kumuh hingga ke barak militer. Tidak ada dua dari sekolah-sekolah semacam itu yang serupa dan masing-masing mempunyai alasan keberadaannya sendiri. Sebagian banyak sekolah-sekolah semacam itu amat kecil ukurannya dan tingkat ‘keambrukannya’ sangat tinggi – beberapa ada yang hanya berjalan satu atau dua tahun.

Sekolah-sekolah bebas menarik bagi beragam kelompok sosial dari kalangan kulit putih pinggiran kota hingga kalangan kulit hitam tengah kota. “Beberapa tampaknya ingin ke-pastoran bebas dari riuh konflik modern, sedangkan yang lain merupakan uji coba sengaja dalam pendidikan yang multibahasa dan multibudaya.” Semua mereka berupaya mengembangkan ‘anak-anak bebas’ yang akan menjadi orang-orang yang independen dan pemberani yang sanggup bergumul dengan kompleksitas dunia modern yang senantiasa berubah.

Klik dan baca juga:  Mencari dan Menemukan Wali Kota Terbaik

William Glasser, seorang psikiatri yang mengembangkan ‘terapi realitas’, mengajukan sebuah pendekatan humanistik bagi pendidikan dalam karyanya Schools without Failure. Glasser berpendapat bahwa ada dua macam kegagalan manusia, “gagal mencinta dan gagal meraih harga diri.”

Menurut Glasser, sekolah-sekolah secara tradisional telah gagal karena mereka tidak membangun hubungan-hubungan interpersonal yang hangat yang melalui ini kebutuhan subjek didik akan cinta dan rasa harga diri terpuaskan. Peran sekolah harus dimaksudkan untuk menyediakan lingkungan yang hangat dan tidak mengancam sehingga dengannya kebutuhan subjek didik tersebut bisa terpenuhi. Atmosfer semacam ini akan memberikan konteks yang efektif bagi kegiatan belajar. Schools without Failure menyodorkan beberapa saran yang terperinci tentang bagaimana tujuan itu dapat dicapai.

Kelas terbuka, sekolah bebas dan sekolah tanpa kegagalan adalah (hanya) tiga dari sekian banyak ragam yang diajukan oleh kalangan humanis kependidikan untuk memanusiakan persekolahan. Perlu dicatat bahwa sebagian besar usulan-usulan humanistik ditujukan pada pendidikan dasar.

Implikasi

Tokoh aliran humanisme adalah Abraham Maslow dan Carl Rogers. Aliran ini memandang bahwa perilaku manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh faktor internal dirinya dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuannya. Manusia yang mencapai puncak perkembangan yaitu yang mampu mengaktualisasikan diri, mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya itu utuh (seutuhnya) bermakna dan berfungsi (fully functioning person).

Aliran humanisme menolak proses mekanisasi dalam belajar. Belajar merupakan fungsi keseluruhan pribadi. Belajar tidak akan terjadi bila faktor intelektual dan emosional tidak terlibat di dalamnya. Aliran ini yakin bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam diri individu.

Belajar dikatakan bermakna apabila belajar itu melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi siswa. Proses belajar yang akan melibatkan proses intelektual, dan tidak relevan dengan keseluruhan pribadi adalah belajar yang tidak bermakna. Belajar yang bermakna ialah belajar yang menembus kepribadian individu (pervasive), perubahannya (perilaku dan sikap) dirasakan oleh individu, memungkinkan individu melakukan penilaian diri sendiri. Ini berarti bahwa belajar bermakna adalah belajar yang dapat menemukan kebutuhan nyata dari individu. Dalam pada itu Rogers mengemukakan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut:

Manusia mempunyai dorongan untuk belajar, dorongan ingin tahu, melakukan eksplorasi dan mengasimilasikan pengalaman baru.

  1. Belajar akan bermakna apabila yang dipelajari itu relevan dengan kebutuhan anak.
  2. Belajar diperkuat dengan jalan mengurangi ancaman eksternal, seperti hukuman, penilaian, sikap merendahkan murid, mencemoohkan dsb. Pengurangan ancaman seperti itu memungkinkan individu menggunakan kesempatan untuk meningkatkan diri.
  3. Belajar atas inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik formal, intelektual maupun perasaan.
  4. Sikap berdiri sendiri, kreativitas dan percaya diri diperkuat dengan penilaian diri sendiri. Penilaian oleh pihak luar merupakan hal yang sekunder.

Pandangan kaum humanis tentang proses belajar mengimplikasikan perlunya penataan prioritas pendidikan dan peranan guru. Pendidikan yang didasarkan pada pandangan humanisme lebih menekankan pada pertumbuhan siswa baik kognitif maupun afektif daripada menekankan aspek isi yang dipelajari. Dalam pandangan humanisme guru lebih berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar (instruktur) belaka (ini lebih sesuai dengan tipe ideal dari Tut Wuri Handayani)

Apa yang menjadi tujuan pendidikan bagi kaum humanisme, telah dicoba diikhtisarkan oleh Mary Johnson (1973), sebagai berikut:

  1. Kaum humanis berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan kesadaran dan identitas dirinya yang melibatkan perkembangan konsep diri dan sistim nilai.
  2. Kaum humanis lebih mengutamakan komitmen terhadap prinsip pendidikan yang memperhatikan faktor perasaan, emosi, motivasi, dan minat siswa akan mempercepat proses belajar yang bermakna dan terintegrasi secara pribadi.
  3. Perhatian kaum humanis lebih terpusat pada isi pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa sendiri. Siswa harus memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk memilih dan menentukan apa, kapan dan bagaimana dia belajar.
  4. Kaum humanis berorientasi kepada upaya memelihara perasaan pribadi yang efektif, yakni suatu gagasan yang menyatakan bahwa siswa dapat mengendalikan arah belajarnya sendiri, mengambil dan memenuhi tanggung jawab secara efektif serta mampu memilih tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.
  5. Kaum humanis yakin belajar adalah pertumbuhan dan perubahan yang berjalan cepat sehingga kebutuhan siswa lebih dari sekadar pengetahuan hari kemarin.
Klik dan baca juga:  Perguruan Tinggi di Indonesia: Lembaga Sosial atau Lembaga Ekonomi

Pendidikan humanistik mencoba mengadaptasi siswa terhadap perubahan-perubahan. Pendidikan melibatkan siswa dalam perubahan membantu belajar tentang bagaimana belajar, bagaimana memecahkan masalah, dan bagaimana melakukan perubahan di dalam kehidupannya.

Apabila prinsip-prinsip tersebut ditelaah lebih jauh, nampak bahwa tujuan pendidikan menurut aliran humanisme adalah realisasi diri, yakni suatu kondisi di mana individu mencapai kesadaran akan diri sendiri, lingkungan dan sistem nilai. Individu yang mencapai realisasi diri akan merasa dirinya penuh makna, bebas karena mampu hidup dalam keragaman, sadar akan tanggung jawab, kreatif dan produktif.

Baca juga:

Agar tujuan tersebut tercapai, maka guru harus merancang strategi belajar mengajar yang memungkinkan dirinya tidak menjadi orang yang paling penting. Guru lebih berperan sebagai narasumber, fasilitator belajar, daripada sebuah figur sentral yang mengendalikan kelas.

Sebutan fasilitator (orang yang memberikan kemudahan) belajar, mengandung arti juga sebagai orang yang memegang peranan aktif karena fasilitator bertugas (Rogers,1969):

  1. Membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap belajar.
  2. Membantu siswa mengklasifikasi tujuan belajar. Guru memberikan kesempatan belajar secara bebas kepada siswa untuk menyatakan apa yang hendak dan ingin mereka pelajari.
  3. Membantu siswa mengembangkan dorongan dan tujuannya sebagai kekuatan belajar.
  4. Menyediakan sumber-sumber belajar, termasuk juga menjadikan dirinya sebagai sumber belajar bagi siswa.

Proses belajar mengajar yang belandaskan pandangan humanisme menekankan kepada pentingnya hubungan interpersonal, sikap menerima murid sebagai seorang pribadi yang mempunyai kemampuan dan peranan guru sebagai partisipan dalam proses belajar bersama.

Guru dituntut untuk bermoral dan bertanggung jawab, bersikap jujur, autentik, terbuka, tidak berpura-pura dan tidak memaksakan kehendaknya agar dapat berempati (beridentifikasi dengan siswanya).

Prinsip belajar yang bermakna yang melibatkan faktor afektif dan kognitif siswa, mengimplikasikan tidak perlu adanya kurikulum yang kaku, latihan atau tugas-tugas yang baku, tes kuliah dan penilaian akan tingkat keberhasilan siswa. Bukankah tujuan pendidikan ke arah keselarasan (yaitu melalui pembinaan diri dan disiplin diri sendiri) akhirnya ditentukan oleh ujud kepribadian masing-masing orang?

Belajar bermakna tidak memerlukan rangsangan dari luar maupun rancangan yang dibuat seperti RPP, laporan hasil belajar, melainkan belajar itu didorong oleh suatu hasrat dan intensitas keingintahuan dari siswa tentang mata pelajaran tertentu. Hal ini memungkinkan siswa mempelajari segalanya tentang mata pelajaran tersebut.

Kurikulum lebih menekankan kepada pendekatan terpadu. Terpadu dalam arti memungkinkan siswa dalam mempelajari apa yang ingin ia pelajari. Adalah hal penting bagi guru lebih memahami keunikan karakteristik setiap siswa. Guru harus menerima cara berpikir dan perasaan siswa tanpa kritik secara pribadi.