Media Indodian.com berusaha menyalakan api humanisme dengan tagline kritis dan humanis.
Kupang, detakpasifik.com – Media Indodian.com memperingati hari ulang tahun ke-1 pada tanggal 9 Mei 2022 mendatang. Dalam merefleksi dan meneguhkan konsistensi sebagai media penyala cahaya inspirasi melalui konten-konten yang berkualitas, Indodian.com menggelar webinar dengan tema “Media: Antara Idealisme dan Pragmatisme” pada hari Senin, 9 Mei 2022.
Webinar ini akan menghadirkan dua pakar yang sungguh memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing. Mereka adalah Wijayanto dan Made Supriatma.
Wijayanto adalah Direktur Pusat Media dan Demokrasi pada Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Ia juga merupakan dosen senior sekaligus direktur program internasional di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah. Selama lima belas tahun terakhir, ia menekuni penelitian terkait dengan isu-isu jurnalisme, korupsi kebebasan media, pemilu, aktivisme media sosial dan demokrasi di Indonesia.
Sedangkan Made Supriatma adalah Visiting Research Fellow (peneliti tamu) pada ISEAS -Yusof Ishak Institute di Singapore. Pria kelahiran Denpasar Bali ini, pernah belajar di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Cornell University, Ithaca, New York. Adapun topik penelitian yang pernah dikerjakannya adalah tentang politik militer, konflik etnik/komunal, desentralisasi, dan politik elektoral.
Pemimpin Redaksi Indodian.com Rio Nanto menyatakan, sejak awal berdirinya, media Indodian.com berikhtiar menjadi media yang lebih mengejar ketepatan dari pada kecepatan.
“Sebagaimana dian yang berarti cahaya, media Indodian.com berusaha menyalakan api humanisme dengan tagline kritis dan humanis. Indodian.com berusaha menyalakan cahaya inspirasi melalui konten-konten yang berkualitas agar pembaca menyaring data menjadi informasi, informasi menjadi pengetahuan dan pengetahuan menjadi kebijaksanaan hidup,” kata Rio kepada detakpasifik.com.
Idealisme dan pragmatisme media
Rio Nanto menyebutkan, selama satu dekade terakhir, media (jurnalisme media) merupakan salah satu topik diskursus yang hangat dibicarakan dan diperdebatan di ruang publik. Diskursus itu, berpusat pada persoalan tentang idealisme media dan praksis bermedia yang tidak luput dari logika bisnis dan praktik pragmatis-oportunis.
Menurut Rio, salah satu contoh paling krusial dari fenomena ini ialah terkuaknya skandal Cambridge Analytica, sebuah perusahaan teknologi yang berspesialisasi dalam bidang pesan terpusat (centralized messages).
Kasus itu berhasil diketahui publik berkat penelitian Carole Cadwalladr, jurnalis investigatif berkebangsaan Inggris, dan Christopher Wylie, konsultan data asal Kanada. Kedua jurnalis ini membongkar peran Cambridge Analytica dalam Referendum Uni Eropa dan pemilihan Presiden AS pada 2016.
Dalam penelitian setahun itu, perusahaan analisis data (Cambridge Analytica) menggunakan data dari 87 juta pengguna Facebook tanpa persetujuan mereka untuk kepentingan ekonomi dan politik pada pemilihan Presiden AS 2016 dan Referendum Uni Eropa (Brexit). Disebutkan pula bahwa Robert Mercer, bilionair AS dan kerabat dekat Donald Trump turut mendanai perusahaan Cambridge Analytica.
Rio menjelaskan, skandal Cambridge Analytica sekurang-kurangnya menghadirkan beberapa gejala.
Pertama, idealisme media selalu ditantang oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik yang melingkupinya. Media selalu politis. Artinya, media merupakan elemen fundamental untuk kepublikan atau keadaban publik. Prototipenya ialah Areopagus di Athena yang menjadi tempat untuk berdiskursus, deliberasi publik, dan edukasi orang-orang muda. Namun, gagasan ideal tersebut telah rusak oleh praktik politisasi dan instrumentalisasi media untuk kepentingan ekonomi, politik, dan kekuasaan.
Kedua, pendanaan media yang bersumber dari konglomerat. Untuk konteks Tanah Air, hanya sedikit media yang independen secara finansial. Ribuan media lainnya bergantung pada donasi dari pihak ketiga, seperti perusahaan, konglomerat, bahkan pemerintah. Sumber pendanaan media yang tidak akuntabel, transparan, dan independen menyebabkan media mesti beradaptasi dengan kepentingan penyuplai dana.
Ketiga, media menjadi instrumen strategis untuk mencapai tujuan politik. Dalam konteks kontestasi demokratis, media sering dimanfaatkan untuk demagogi politik. Pemanfaatan media untuk kampanye politik beresonansi dengan tingginya jumlah pengguna media. Pencitraan politisi melalui media-media digital merupakan jalan pintas untuk memobilisasi dukungan massa pemilih.
Keempat, media turut serta dalam produksi konten hoaks. Dalam banyak kasus, media secara sengaja menyebarkan hoaks tentang topik tertentu untuk menambah jumlah pembaca atau agar media tersebut dikenal luas.
Rio melanjutkan, di tengah realitas tersebut, media tetap menjadi elemen penting untuk keadaban publik. Bahwa daya hidup media tidak pernah mati.
“Mari kita kembali pada kasus Cambridge Analytica. Ketika Cambridge Analytica dikooptasi oleh kepentingan politik, masih ada segelintir jurnalis yang berani membongkar praktik tersebut. Aksi heroik dari Carole Cadwalladr dan Christopher Wylie tidak hanya membuka mata publik tentang praktik gelap media, tetapi juga menyadarkan publik bahwa idealisme media itu tetap ada, hidup, dan bertahan di tengah kepungan praktik bermedia yang tidak sehat,” katanya.
Namun, persoalan tentang media belum dan tidak akan pernah tuntas. Pertanyaan yang jauh lebih radikal ialah apa yang dimaksudkan dengan idealisme media? Apakah idealisme tentang media itu perlu direkonstruksi dan dikontekstualisasikan dengan perkembangan-perkembangan terkini? Apa yang utopis dalam idealisme tentang media? Apakah idealisme media yang sesungguhnya ialah seni merawat keseimbangan antara yang ideal dan yang riil? Bagaimana mempertahankan idealisme itu di hadapan logika bisnis, korporasi media? Apakah media sekarang sedang dalam situasi krisis?
“Pertanyaan-pertanyaan ini patut menjadi fokus dialektika rasional. Dengan cara demikian, kita membangun wacana yang sehat tentang media, dan membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap media,” sebut Rio.
Realitas tersebutlah yang mendorong Indodian.com untuk menyelenggarakan seminar daring bertajuk “Media: Antara Idealisme dan Pragmatisme”. Dengan topik ini, diharapkan terciptanya suatu diskursus yang mampu meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya kritik terhadap media dan kritik diri media itu sendiri.
Webinar ini akan dimoderatori oleh Maria Goreti Ana Kaka (Community Development Narasi TV). Dan bagi peserta yang berminat mengetahui diskursus media, dapat melakukan pendaftaran atau registrasi melalui link ini secara gratis. Peserta yang terlibat dalam webinar ini akan mendapatkan e-sertifikat.
(dp)