Akhirnya disarankan agar para ekonom pendidikan (para ahli dalam pengembangan sumber daya manusia) untuk mulai menggunakan pendekatan model rate of return, baik di bidang pendidikan, maupun di bidang pengembangan sumber daya manusia lainnya seperti migrasi, gizi kesehatan, dan pelatihan kerja. Dalam bidang pendidikan, hampiran ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat keputusan pendidikan, khusus dalam menangani isu-isu di bawah ini.
Oleh Umbu Tagela, Pengajar di FKIP-UKSW Salatiga
Pidato Theodore W. Schultz tahun 1960 berjudul “Investment in Human Capital “di hadapan The American Economic Assosiation merupakan peletak dasar teori human capital. Makna substansial yang terkandung dalam isi pidato itu adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi merupakan suatu investasi. Pada 1966 Bawman memperkenalkan suatu konsepsi revolusi investasi manusia dalam pemikiran ekonomi.
Gagasan-gagasan tersebut di atas pada waktu itu sangat mempengaruhi pola pikir pemerintah, para perencana, lembaga-lembaga internasional, juga para pendidik di seantero dunia dalam merencanakan dan mengembangkan sumber daya manusia. Akibatnya, terjadi eskalasi permintaan pendidikan di negara-negara berkembang yang ditandai dengan massalisasi pendidikan yang hingga saat ini masih merupakan salah satu trademark pendidikan di sebagian besar negara-negara berkembang (Singh,1986).
Pemaknaan pendidikan pada hampiran massalisasi di atas masih berada pada upaya menikmati kesempatan memperoleh pendidikan dan belum sampai pada upaya serius menikmati layanan pendidikan yang berkualitas. Pada pilihan inilah negara-negara berkembang termasuk Indonesia, terjebak pada kebanggaan semu, lantaran angka partisipasi kasar terutama tingkat sekolah dasar telah mencapai 100%. Itu berarti equality of access telah berada pada aras optimal. Namun equality of survival belum berada pada tingkat penikmatan yang sama karena angka drop out pada jenjang sekolah dasar masih cenderung tinggi. Fenomena ini akan makin galat (erroneous) akibat equality of output masih berupa keinginan subjektif dan belum sampai pada kenyataan.
Merujuk pola pikir yang demikian, dibutuhkan suatu telaah secara menyeluruh, termasuk telaah ekonomi. Dalam tautan makna yang demikian, Cohn (Wardiman dan Suryadi, 1999) memformulasikan takrif ekonomi pendidikan sebagai berikut: “Suatu studi tentang bagaimana manusia baik secara perorangan maupun kelompok membuat keputusan dalam rangka mendayagunakan sumber-sumber daya yang terbatas agar dapat menghasilkan berbagai bentuk latihan, pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan, buah pemikiran, sikap dan nilai, khususnya melalui pendidikan formal serta bagaimana mendistribusikannya secara merata dan adil di antara berbagai kelompok masyarakat.”
Pada awalnya Beeby (Rangkuti, 2015) mempertahankan bahwa ekonomi pendidikan hanya mempercakapkan aspek-aspek di luar sistem pendidikan, seperti dampak pendidikan terhadap ekonomi dan pasar kerja. Kualitas pendidikan hanya diukur dengan model kemampuhasilan (produktivitas).
Aspek-aspek di dalam proses pendidikan itu sendiri dianggap bukan garapan para ekonom. Dalam perkembangan selanjutnya (sesuai takrif di atas) para ekonom mulai memperluas wawasannya dengan membahas sistem pendidikan secara komprehensif sesuai kerangka pemikiran education as an industry yang meliputi input, proses, output dan outcome pendidikan.
Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh tumbuh dan berkembangnya perspektif investasi sumber daya manusia sejak zaman doktrin klasik, neo klasik hingga zaman human capital modern. Pandangan yang mengatakan manusia sebagai cost of production approach sejak masa Ernst Engel (1883) dan Theodore Wittstein (1867) berubah ke arah manusia sebagai sumber inspirasi yang mampu melipatgandakan produksi di luar perhitungan biaya produksi.
Teori human capital modern merupakan suatu aliran pemikiran yang menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagaimana bentuk kapital lainnya seperti: teknologi, uang, tanah dan mesin yang sangat menentukan terhadap tingkat kemampuhasilan nasional. Melalui investasi diri seseorang dapat memperluas kementakan (alternatve) untuk memilih profesi, pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang lain untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Perspektif lain yang tidak semata-mata tercurah pada sisi teknis pendidikan adalah teori credentialism atau screening hypothesis. Teori ini kurang menaruh perhatian pada proses berlangsungnya pendidikan. Pandangan ini menganggap proses pendidikan tidak penting: yang penting adalah peranan pendidikan sebagai public goods yang menyediakan kesempatan yang adil dan merata sehingga berinduksi pada pendistribusian pendapatan secara merata.
Perspektif lain yang dapat digolongkan ke dalam Neo Marxism ialah teori dual labor market hypothesis yang disponsori oleh para pemikir segmentist seperti Cain (Hendrawan, 2006), yang mencoba menggabungkan sisi psikologis, sisi politis dalam konteks proses melalui screening.
Dalam kegamangan makna yang kontroversial itu pada akhirnya para ekonom sepakat tentang ilmu ekonomi pendidikan yang merupakan hasil pengembangan teori human capital. Dalam tautan yang demikian, teori human capital menganggap tenaga kerja sebagai pemegang kapital yang tercermin dalam keterampilan, pengetahuan dan kemampuhasilan (produktivitas) kerjanya (Todaro, 1994).
Kalau tenaga kerja sebagai pemegang kapital, maka mereka dapat menginvestasikan dirinya dan bukan untuk dimanfaatkan bagi keuntungan seseorang, kelompok, tuan tanah, majikan, pemilik modal, dan sebagainya. Jika eksploitasi terjadi, tenaga kerja hanya memiliki fungsi sebagai alat produksi terhadap kekayaan pemilikan proses produksi, maupun hasil produksi. Dengan begitu keuntungan potensial tenaga kerja dipindahkan ke tangan para pemilik modal. Hal inilah yang oleh Korten (1997) disebut “tenaga kerja hanya dijadikan obyek dan bukan sebagai subyek”.
Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi
Hampiran di dalam menganalisis hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi menggunakan beberapa model yang berbeda. Model-model tersebut secara langsung tidak melakukan hubungan antara indikator pendidikan di satu pihak dan indikator ekonomi di lain pihak. Untuk maksud itu akan dipaparkan beberapa model sebagai berikut:
Pertama, model fungsi produksi. Para perintis analisis sumbangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi seperti Denison (1960) telah menggunakan pendekatan perhitungan pertumbuhan (growth accounting approach). Hampiran ini didasarkan pada konsep fungsi produksi (production function) yang menghubungkan antara output dengan faktor-faktor input yang terdiri dari faktor kapital dan faktor tenaga kerja.
Bentuk yang paling sederhana dari fungsi produksi ini seperti tercermin dalam andaian yang digunakan untuk studi fungsi produksi linear homogen. Jika pertumbuhan ekonomi ini secara komprehensif ditentukan oleh modal fisik dan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang ditentukan oleh komponen tenaga kerja dapat ditafsirkan sebagai sumbangan pendidikan terhadap pertumbuhan.
Kedua, hampiran rate of return. Analisis cost-benefit merupakan hampiran yang sering digunakan dalam menganalisis investasi pendidikan. Hampiran ini membantu para pengambil keputusan untuk memilih di antara kementakan alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas yang mampu memberi keuntungan yang paling tinggi.
Dan, salah satu alat yang digunakan untuk sampai pada keputusan memilih kementakan investasi dalam pendidikan adalah dengan menggunakan social rate of return. Model ini digunakan juga untuk membandingkan investasi pendidikan dengan investasi fisik, akan tetapi lebih sering digunakan untuk membandingkan kementakan investasi antar jenis dan jenjang pendidikan (Balitbang Depdiknas, 2011).
Dalam aplikasi komparatif tersebut di atas, social rate of return merupakan besaran hasil perbandingan antara keuntungan sosial (social benefit) dan biaya social (social cost) yang berfungsi sebagai alat ukur dari investasi pemerintah dan masyarakat.
Proyek-proyek pendidikan yang memiliki social rate of return lebih rendah dapat dianggap sebagai investasi sosial yang tidak menguntungkan. Selanjutnya membandingkan social rate of return dengan jenis investasi lain, di mana proyek yang dapat dikatakan paling menguntungkan adalah menawarkan social rate of return paling tinggi. Tapi, langkah yang harus dilakukan secara hati-hati dalam membandingkan cost dan benefit adalah dalam mengidentifikasi dan mengukur cost dan benefit itu sendiri.
Ketiga, model keuntungan pendidikan. Model ini kurang sensitif terhadap keuntungan pendidikan yang sifatnya eksternalitas, karena eksternalitas bersifat kualitatif yang tidak mudah dihitung dengan nilai rupiah. Dalam model ini, jenis keuntungan pendidikan yang mudah untuk diterjemahkan menjadi nilai rupiah, seluruhnya diperhitungkan. Namun, karena tujuannya adalah mengukur dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi, maka perlu digunakan suatu andaian bahwa seluruh penghasilan seseorang merupakan proksi dari produktivitas (kemampuhasilan) yang dimilikinya. Kemampuhasilan ini dianggap sebagai fungsi dari keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan.
Keuntungan pendidikan diukur dengan menggunakan pola penghasilan seumur hidup (life income profile). Pola penghasilan seseorang sepanjang hidupnya dimulai dengan penghasilan agak rendah pada umur muda hingga meningkat pada umur berikutnya, dan menurun pada usia lanjut (Boediono dan Mc Mahon, 1991). Untuk memperoleh pola penghasilan seumur hidup dilakukan dengan dua cara yakni, (1) “cost sectional” dengan jalan mengukur penghasilan dalam waktu bersamaan kepada sejumlah orang yang bervariasi usianya, selanjutnya dicari rata-rata penghasilan dari orang-orang yang usianya sama, (2) “longitudinal” dengan jalan mengikuti sejumlah orang yang seusia dan penghasilannya diukur pada setiap tingkat usia (Cummings, 1980). Keuntungan yang diukur dari seorang lulusan ialah ”marginal benefit” yaitu tambahan penghasilan rata-rata lulusan suatu tingkat pendidikan dikurangi dengan rata-rata penghasilan lulusan pendidikan di bawahnya. Hal ini dilakukan pada setiap tingkat umur tertentu.
Keempat, mengukur biaya pendidikan. Konsep biaya pendidikan sifatnya lebih kompleks dari keuntungan, karena komponen biaya terdiri dari berbagai jenis bentuk dan sifatnya. Biaya pendidikan bukan hanya yang berbentuk rupiah tetapi juga berbentuk biaya kesempatan (opportunity cost). Biaya kesempatan ini sering disebut “income forgone” yaitu potensi penghasilan seorang lulusan misalnya SMTA yang tidak diterima di perguruan tinggi (Clark,1983).
Dengan demikian, biaya pendidikan di SMTA adalah gabungan antara seluruh biaya yang langsung dibayarkan untuk bersekolah di SMTA ditambah dengan jumlah rata-rata penghasilan tamatan SMP selama bersekolah di SMTA. Kesimpulannya adalah biaya pendidikan di SMTA adalah penjumlahan nilai sekarang dari biaya yang telah dikeluarkan ditambah dengan rata-rata penghasilan lulusan SMP sejak bekerja sampai saat ini.
Analisis Temuan Para Ahli
Denison telah menerapkan analisis fungsi produksi pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat sekitar tahun 1910-1960, namun menghasilkan komponen residu yang sangat besar. Komponen residu yang sangat besar inilah yang telah menjadi tantangan bagi para peneliti selanjutnya untuk menguji seberapa besar komponen residu ini diterangkan oleh efek pendidikan dalam meningkatkan mutu tenaga kerja, dan seberapa besar diterangkan oleh efek dari kesangkilan (efisiensi) pendayagunaan modal fisik.
Pada akhirnya Denison menemukan 23% dari pertumbuhan output di Amerika Serikat (1930-1960) merupakan efek dari meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan tenaga kerja. Sumbangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara industri maju sangat variatif: Jerman 12%, Inggris 14%, Belgia 14%, negara-negara Amerika Latin 7%, Argentina 16,5% sampai Kanada 25%. Sementara negara-negara di Asia rata-rata sumbangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi tinggi, dan negara-negara di Afrika sangat tinggi (Psacharopoulos, 1985).
Theodore Schultz (1963) melakukan pengukuran mengenai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan teknik “rate of return”. Theodore membandingkan tingkat balik terhadap investasi sumber daya manusia (rate of return to human capital) dengan tingkat balik terhadap modal fisik (rate of return to physical capital).
Atas hasil perbandingan tersebut Schultz menemukan proporsi yang cukup tinggi dari tingkat pertumbuhan output di USA yang disebabkan oleh pendidikan sebagai salah satu bentuk investasi pengembangan sumber daya manusia. Merujuk pada paparan tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, bahwa besar dan variasi penghasilan dari kelompok masyarakat yang berbeda di jadikan ukuran tentang kontribusi pendidikan terhadap output.
Kedua, bahwa lebih tingginya penghasilan tenaga kerja terdidik menunjukkan kemampuhasilan yang lebih tinggi dari tenaga-tenaga terdidik, sehingga kelompok berpendidikan lebih tinggi ini memberikan kontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, bahwa hubungan antara input dan output bersifat sederhana dan makro (aggregate) yang dapat dianalisis dengan fungsi produksi yang bersifat aggregate pula.
Ketiga konklusi dalam bentuk andaian tersebut di atas memperoleh kritik tajam karena beberapa pihak meragukan kebenarannya, sehingga melemahkan argumentasi yang mengatakan bahwa investasi pendidikan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pada awal 1980-an Hicks (Suryadi, 2004) dengan hasil penelitiannya kembali membuktikan bahwa ada hubungan yang erat antara pengembangan sumber daya manusia dengan pertumbuhan ekonomi. Hicks menguji hubungan antara pertumbuhan ekonomi, perkembangan pendidikan dan angka harapan hidup (life expectancy rate). Dan dari 83 negara negara yang dipelajari 12 negara di antaranya yang memiliki pertumbuhan ekonomi tercepat, ternyata memiliki tingkat melek huruf dan harapan hidup di atas rata-rata, seperti Korea dan Thailand (Suryadi, 2004).
Hal serupa juga dilakukan oleh Kaser (1966), Anderson (1963), Wheeler (1980), Marris (1982), Jamison dan Lau (1982), Earterlin (1981), Psacharopoulos (1985) yang semuanya menghasilkan kesimpulan yang sama yaitu ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan pendidikan.
Tingkat balik (rate of return) dari upaya pengembangan sumber daya manusia memang cenderung lebih tinggi dibanding nilai balik terhadap upaya penanaman kapital atau modal fisik, tetapi tingkat pendidikan mana dan keterampilan macam apa yang lebih banyak memberi kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan belum terungkap seluruhnya. Walau begitu pengeluaran untuk pendidikan harus diperhitungkan sebagai investasi yang produktif dan bukan sebagai konsumsi semata-mata.
Analisis Rate of Return di Indonesia
Belum cukup banyak analisis rate of return yang dilakukan di Indonesia. Dari beberapa sumber yang ada disebutkan beberapa studi tentang hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Payaman (1981), Psacharopoulos (1977, 1978), David Clark (1983), McMahon (1989), dan Educational Sector Review (1985) dengan menggunakan data Sakernas 1983. Analisis-analisis rate of return dilakukan lebih banyak di daerah perkotaan.
Dari studi-studi tersebut diperoleh gambaran regularitas yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menggunakan model ini pada masa yang akan datang, sebagai berikut:
Pertama, social rate of return pada umumnya cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan masih merupakan suatu investasi yang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan kemampuhasilan (produktivitas) nasional.
Kedua, social rate of return cenderung menurun pada tingkat-tingkat pendidikan yang lebih tinggi, disebabkan meningkatnya ongkos kesempatan yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Hal itu berarti bahwa investasi pada tingkat pendidikan dasar cenderung lebih menguntungkan di banding tingkat pendidikan di atasnya.
Ketiga, private rate of return cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan social rate of return. Hal itu dapat diartikan bahwa orientasi pendidikan terhadap aktivitas ekonomi pada sektor swasta dan kewiraswastaan tampak lebih menguntungkan daripada orientasi pada sektor pemerintah.
Keempat, private rate of return terhadap sekolah menengah lebih rendah dibanding private rate of return terhadap tingkat-tingkat pendidikan lainnya. Itu terjadi lantaran tingginya biaya pendidikan menengah yang harus ditanggung oleh perorangan seperti, buku, alat-alat, uang bangunan, iuran komite sekolah dan sebagainya.
Kelima, private rate of return untuk diploma dan sarjana teramat tinggi, jika dibandingkan dengan keadaan mana pun di dunia. Hal itu disebabkan oleh tingginya tingkat subsidi dari pemerintah. Khususnya untuk universitas negeri yang mengakibatkan rendahnya biaya yang ditanggung oleh mahasiswa secara perorangan.
Keenam, David Clark menemukan bahwa rate of return terhadap lulusan SMTA sangat tinggi (32%) bahkan lebih tinggi dibanding rate of return terhadap sekolah-sekolah kejuruan. Temuan ini menunjukkan tingkat gaji yang diterapkan oleh pemerintah pada tingkat ini sangat tinggi bahkan lebih tinggi dibanding harga pasar yang sebenarnya. Hal ini membutuhkan analisis tersendiri mengingat adanya distorsi pemaknaan atas sekolah kejuruan dan sekolah umum, baik oleh masyarakat, pengusaha maupun pemerintah.
Sampai saat ini telah ditemukan banyak model yang ditujukan untuk analisis investasi sumber daya manusia (analisis kebutuhan tenaga kerja, analisis perataan pendapatan, analisis ekonometrik) yang dapat digunakan. Namun tanpa melupakan kelemahannya, model rate of return dapat dianggap sebagai model yang sanggup menawarkan alternatif kebijakan yang jelas, dari sudut pandang ilmu ekonomi mengenai kebijakan pendidikan apa yang dapat diprioritaskan agar memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya disarankan agar para ekonom pendidikan (para ahli dalam pengembangan sumber daya manusia) untuk mulai menggunakan pendekatan model rate of return, baik di bidang pendidikan, maupun di bidang pengembangan sumber daya manusia lainnya seperti migrasi, gizi kesehatan, dan pelatihan kerja. Dalam bidang pendidikan, hampiran ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat keputusan pendidikan, khusus dalam menangani isu-isu sebagai berikut:
Pertama, perlu dikaji, apakah dampak perluasan pendidikan dasar hingga SMP merupakan suatu investasi sumber daya manusia yang menguntungkan dalam persfektif pertumbuhan ekonomi?
Kedua, apakah sekolah kejuruan setingkat SMTA merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia yang menguntungkan pertumbuhan ekonomi?
Ketiga, perlu diperjelas program-program keahlian mana yang perlu dikembangkan lebih jauh dan keahlian mana yang perlu diperlambat di perguruan tinggi.
Keempat, perlu dianalisis program-program pendidikan strata atau profesional yang perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Kelima, perlu diperjelas apakah kebijakan otonomi pendidikan tinggi memiliki dampak yang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi? Dan sebagainya.
Jawaban perenungan atas persoalan-persoalan di atas oleh sebagian besar pemerhati pendidikan dan bahkan mungkin para ahli pendidikan dianggap kurang memiliki signifikansi yang makul (rational), mengingat lembaga pendidikan pada hakikatnya merupakan lembaga sosial.
Penulis berpendapat justru di situlah letak keunikan lembaga pendidikan, karena diperkaya oleh berbagai analisis. Khusus untuk lembaga pendidikan yang berafiliasi keagamaan diperlukan analisis teologis yang memayungi kiblat serta kiprah lembaga tersebut.
Idealnya sebuah lembaga pendidikan yang bercirikan keagamaan, mesti memiliki panduan yang mengakomodasi aspek agama, aspek sosial dan juga aspek ekonomi. Upaya menonjolkan salah satu aspek dari ketiga aspek tersebut di atas, hanya akan merugikan pencapaian keragaan aspek yang lain. Untuk mengakhiri tulisan ini penulis mengutip pandangan Everett Reimer (1987) yang mengatakan, “It isn’t what you do, it’s the way that you do it”.