Oleh Marselus Natar
Di pengadilan, Arman bisa berdiri tegak, suara lantang, mata menyala, menyebut “menuntut maksimal” seolah-olah malaikat keadilan menunggang di pundaknya. Tapi begitu sampai di rumah, jaksa itu berubah. Toga digantung, martabat ditaruh di gantungan kunci.
Nadia tak pernah mengangkat suara. Ia lebih memilih membisikkan ambisinya dengan nada manis: ”Sayang, aku lihat koleksi tas baru di butik itu. Katanya istri pejabat bea cukai udah punya. Masa aku kalah?”
Dan seperti sulap murahan, sang jaksa yang garang di ruang sidang tiba-tiba plonga-plongo, mengangguk kecil sambil menyesap teh tanpa rasa.
Korupsi pertama dimulai dari simpati. Katanya, “Kasihan, istriku Cuma punya tiga jam tangan mahal. Masa jaksa segini gajinya?”
Lalu datanglah pengusaha tambang. Lemah, penuh rasa bersalah. Tapi Arman, si boneka yang sudah diberi skrip oleh dalangnya, berkata: “Bisa kita atur. Hukum itu fleksibel, asal tahu arah anginnya.” Dan arah angin itu, sialnya, selalu mengarah ke lemari Nadia.
Tiap lembar rupiah yang diterima bukan lagi hasil kejahatan, tapi semacam tiket masuk ke kelompok elite—undangan ke pesta, arisan jet set, dan geng sosialita yang ukur harga diri dari harga tas.
Arman sendiri tak lagi tahu siapa dirinya. Di ruang sidang, ia bicara soal moral dan konstitusi. Di rumah, ia bicara soal diskon dan kurs dolar terhadap euro.
Sampai akhirnya pagi itu datang. Mobil hitam. Rompi oranye. Sorot kamera. Jeritan tetangga yang pura-pura kaget.
Nadia menangis. Bukan karena suaminya ditangkap, tapi karena tak sempat menyembunyikan gelang barunya.
Dan Arman… hanya tersenyum kecil saat digiring masuk mobil tahanan. “Akhirnya jadi juga,” bisiknya pelan. “Boneka juga butuh istirahat.”
Dalangnya berdiri di ambang pintu, wajah tanpa air mata, hanya kebingungan: “Kalau kamu ditahan, aku dapat uang dari mana?”
Begitulah kisahnya. Di negeri antah berantah, bukan hukum yang paling berkuasa. Tapi cinta… dalam bentuk kartu kredit platinum dan permintaan manja dari wanita yang tak kenal puas.
Pada tahun ke tujuh, pasca Arman digiring paksa masuk ke dalam sebuah mobil hitam, pasca Arman mengenakan rompi oranye, hari-hari hidupnya di penjara segera berakhir setelah mendapatkan remisi. Dunia luar menyambut Arman dengan kekakuan yang tak bersuara. Tak ada spanduk selamat datang, tak ada pelukan. Bahkan langit pun terlalu sibuk untuk mendung.
Ia berjalan sendirian keluar dari gerbang penjara, membawa koper kecil dan satu dunia besar yang tak lagi cocok ia tinggali. Seseorang dari lembaga perlindungan mantan narapidana menawarkan pekerjaan administratif di kantor desa. Arman menolak dengan sopan. Ia tak ingin kembali menyentuh dokumen-dokumen yang mengingatkannya pada tinta palsu dan tanda tangan tipu-tipu.
Ia memilih kota kecil, jauh dari ibu kota, dan membuka kedai kopi dengan hasil honorarium buku memoarnya yang tak terlalu laku tapi cukup menghentak kalangan terbatas. Di kota itu, tak ada yang mengenalnya. Ia hanya Pak Arman, pria tua yang tahu cara menyeduh kopi dengan khidmat dan membuat pengunjung merasa sedang berziarah ke masa lalu mereka sendiri.
Di dinding kedainya, tergantung satu foto: ia bersama istrinya, Nadia, saat baru menikah. Foto itu ia biarkan menguning, bukan karena ia tak ingin melupakan, tapi karena ia sadar: beberapa luka tak perlu dihapus, cukup dibiarkan duduk diam di sudut ruangan, sebagai pengingat akan batas-batas manusia.
Setiap sore, ia menyalakan radio tua. Lagu-lagu tahun ’80-an mengalun pelan, bercampur dengan bunyi sendok mengaduk cangkir dan suara langkah pengunjung yang keluar-masuk. Ia tak banyak bicara, tapi kalau ada yang bertanya, ia akan menjawab dengan jawaban yang lebih seperti sajak:
“Dulu saya bekerja dengan palu keadilan. Kini saya hanya butuh cangkir yang bersih.”
Suatu hari, seorang perempuan muda datang. Wajahnya mirip seseorang dari masa lalu—alis melengkung, tatapan sinis yang lembut, dan suara yang tegas tapi dingin. Ia memperkenalkan diri sebagai Tiara.
“Aku anak dari Nadia,” katanya.
“Anak tirimu.”
Arman tak terkejut. Dunia ini punya selera humor yang aneh.
“Apa yang kamu cari di sini?”
“Jawaban. Kenapa kamu diam saja waktu ibuku menuntut kemewahan dari korupsi. Kenapa kamu tak melawan?”
Arman tersenyum, getir.
“Karena dalam cinta yang salah, kita sering kali lebih takut ditinggalkan daripada ditelan neraka.”
Tiara menatapnya dalam, seperti mencoba memahami bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang pernah dicintai secara salah. Ia tak berkata apa-apa lagi. Hanya memesan kopi, duduk, dan menatap keluar jendela.
Hari-hari berjalan lambat. Dalam diam, Arman mulai menulis lagi. Bukan memoar. Bukan pengakuan. Tapi fiksi. Cerita-cerita pendek tentang pria tua, tentang jaksa yang kehilangan kompas, tentang cinta yang berubah menjadi transaksi, dan tentang boneka yang akhirnya membakar benangnya sendiri.
Ia menulis bukan untuk dibaca orang. Tapi untuk mengurangi rasa getir yang kadang muncul tiba-tiba—seperti aroma parfum Nadia yang sesekali masih tercium entah dari mana.
Malam hari, saat kedai sudah tutup, ia berbicara sendiri. Kepada kursi kosong. Kepada langit-langit. Kepada dirinya dua puluh tahun lalu. “Jika aku bisa mengulang, aku akan lebih mencintai kebenaran daripada cinta itu sendiri.”
Tapi hidup, seperti hukum yang buruk, jarang memberi kesempatan untuk banding.
Dan pada akhirnya, ketika usianya mendekati senja, dan rambutnya putih seluruhnya, Arman menulis satu kalimat terakhir di buku hariannya. Kalimat itu ia tulis pelan-pelan, dengan tangan yang mulai gemetar tapi hati yang lebih tenang dari sebelumnya:
“Di dunia ini, tidak semua boneka bisa memilih siapa yang menggerakkan tali-tali hidupnya. Tapi mereka bisa memilih untuk berhenti menari ketika sadar bahwa panggung yang mereka pijak dibangun dari kebohongan.”
Lalu ia menutup bukunya, menyimpan pena, dan duduk menatap langit. Tanpa rasa dendam, tanpa ingin dikenang. Karena ia tahu, hidup bukan soal siapa yang paling benar. Tapi siapa yang berani mengakui bahwa ia pernah salah—dan tetap hidup setelahnya.
Tentang Penulis: Marselus Natar merupakan rohaniawan Katolik pada kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus atau yang kerap dikenal Frater-Frater BHK. Ia lahir di Manggarai Timur pada 21 Mei 1992. Belajar menulis -yang kemudian menjadi hobinya – sejak masuk biara. Buku kumpulan cerpen dengan judul USAHA MEMBUNUH TUHAN merupakan buku perdananya. Beberapa karya tulis, baik fiksi maupun non-fiksi tersebar di beberapa platform media online. Sekarang tinggal dan menetap di Ende, Flores NTT sebagai pembina asrama putra SMAK Frateran Ndao Ende.