Oleh Juan Pesau
Pada era 2000 hingga awal 2010 Kecamatan Lelak di Kabupaten Manggarai, Flores, dikenal dengan buah unggulannya yang sangat diminati pasar: jeruk manis, atau yang lebih dikenal dengan nama jeruk Cina.
Pada musimnya, setiap pohon yang ditanam di kebun-kebun petani di Kecamatan Lelak memiliki buah yang lebat dan segar. Buah ini tidak hanya menjadi kebanggaan petani setempat, tetapi juga menjadi salah satu sumber penghidupan yang cukup menguntungkan. Di pasar-pasar lokal seperti Pasar Sotor, yang terletak di persimpangan jalan Trans Flores menuju kantor Kecamatan Lelak, jeruk Cina Lelak selalu laris manis.
Proses perdagangan jeruk Cina ini cukup khas. Para pedagang biasanya datang ke petani untuk membeli jeruk langsung dari kebun. Ketika jeruk mulai berubah warna dari hijau ke kekuningan, itulah saat bagi para pedagang untuk memborong jeruk. Pada masa itu, jeruk Cina Lelak tidak hanya memenuhi pasar lokal, tetapi juga tersebar ke berbagai daerah lainnya, menjadikannya komoditas yang sering dicari.
Bagi petani di Kecamatan Lelak, jeruk Cina memberikan keuntungan yang cukup, meskipun hanya berbuah sekali dalam setahun. Satu pohonnya, jeruk ini bisa menghasilkan 400 hingga 700 ribu rupiah, tergantung pada seberapa lebat hasil buahnya. Jika seorang petani memiliki 10 pohon jeruk yang semuanya berbuah lebat, mereka bisa meraup pendapatan sekitar 7 juta rupiah. Di tahun 2000-an, jumlah ini sangat berarti bagi keluarga di Kecamatan Lelak, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya pada bertani. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka berkat hasil jeruk yang melimpah.
Pada masa itu, jeruk Cina, yang dikenal sebagai tanaman jangka panjang, menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga di daerah ini. Meskipun memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mencapai hasil yang optimal, jeruk Cina memberikan kepastian bagi petani.
Namun, memasuki tahun 2015 dan seterusnya, keberadaan jeruk Cina di Lelak semakin menurun. Pohon-pohon jeruk yang dulunya rimbun dan berbuah lebat di kebun-kebun petani mulai hilang satu per satu. Kini, jika seseorang mencari jeruk Cina di daerah tersebut, menemukannya bukanlah hal yang mudah. Lahan-lahan yang dulunya dipenuhi dengan kebun jeruk kini banyak yang beralih fungsi atau bahkan terbengkalai. Keberadaan jeruk Cina yang dahulu begitu ikonik di Lelak kini menjadi kenangan masa lalu.
Penyusutan jumlah pohon jeruk Cina di Lelak tidak hanya menghilangkan salah satu sumber pendapatan bagi banyak keluarga, tetapi juga menghapus sebuah tradisi pertanian yang telah lama ada.
Berbagai faktor mungkin menjadi penyebab hilangnya jeruk Cina di daerah ini. Mulai dari perubahan iklim yang memengaruhi pola pertumbuhan tanaman, hingga beralihnya para petani ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan atau lebih mudah dirawat.
Pada Oktober 2024 lalu, saya berkesempatan menikmati jeruk manis atau jeruk Cina di tepi jalan di Kecamatan Lelak. Saya sama sekali tidak terkejut ketika mengetahui bahwa jeruk yang dijual bukanlah hasil dari kebun petani lokal di Kecamatan Lelak. “Ini jeruk dari luar Pak,” kata seorang ibu paruh baya yang sedang menjaga stan jualannya. Jeruk itu jelas bukan lagi jeruk Cina yang dulu terkenal dengan rasa manisnya yang khas dari kebun-kebun di Kecamatan Lelak.
Kini, bagi warga Kecamatan Lelak, mengenang kejayaan jeruk Cina menjadi semacam nostalgia. Buah yang dulunya menjadi salah satu sumber kehidupan, kini hanya bisa ditemukan dalam cerita dan kenangan.*