Kebijakan Prabowo dan Nasib Janji Para Kepala Daerah

Di belahan dunia lain, Vietnam justru memilih merampingkan kabinetnya untuk efisiensi, sementara Amerika Serikat dan Jerman tetap bertahan dengan model kabinet yang minimalis. Namun, Indonesia berjalan di jalurnya sendiri: kabinet gemuk di tengah seruan penghematan yang terus digaungkan.

Pius Rengka. Dokpri.

Oleh Pius Rengka

detak-pasifik.com- Pidato Prabowo Subianto dalam perayaan HUT Partai Gerindra baru-baru ini menjadi panggung besar bagi retorika politik yang bermakna. Di balik kata-kata yang terukur dan nada suara yang tegas, tersimpan narasi yang mengundang tafsir beragam.

Sebagai seorang politisi ulung, Prabowo paham betul bahwa menjaga dukungan publik bukan hanya soal kebijakan konkret, tetapi juga tentang citra dan simbolisme. Kabinetnya, yang tercatat sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah Indonesia, mencerminkan strategi akomodasi dan moderasi kekuatan politik di tengah dinamika kepemimpinan nasional yang amat sering fragmentaris.

Di belahan dunia lain, Vietnam justru memilih merampingkan kabinetnya untuk efisiensi, sementara Amerika Serikat dan Jerman tetap bertahan dengan model kabinet yang minimalis. Namun, Indonesia berjalan di jalurnya sendiri: kabinet gemuk di tengah seruan penghematan yang terus digaungkan.

Paradoks ini, bagi Prabowo, bukanlah suatu keganjilan. Dalam kalkulasinya, mungkin, seekor kuda yang besar dan gagah tetap harus mampu bertahan dengan porsi makanan seekor kambing. Ada logika tersendiri yang mendasarinya.

Lebih jauh, kepentingan Prabowo tidak sekadar berkutat pada politik domestik. Hasratnya menjadikan Indonesia sebagai kekuatan utama di kawasan Pasifik menuntutnya untuk merancang kebijakan luar negeri yang luwes. Dukungan kepada Palestina tetap ditunjukkan dalam konteks diplomasi global, namun komunikasi dengan berbagai negara tetap dijaga sesuai prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Bebas menentukan sikap dan bebas memilih teman main, tetapi aktif beraksi untuk mendorong perdamian dunia di antara para pemain.

Sementara itu, kebijakan penghematan yang menjadi keharusan politik membawa konsekuensi besar. Di tahun 2025, banyak kepala daerah, terutama di kawasan Indonesia Timur, terpaksa menelan kenyataan pahit: proyek-proyek provinsi dan daerah yang sempat dijanjikan dalam kampanye kemungkinan mulai meredup. Tetapi, di tengah ketidakpastian ini, Gubernur NTT terpilih, Melki Laka Lena berkeliling ke Jakarta, mengetuk berbagai pintu sahabat politiknya, mencari dukungan dalam sunyi, tetapi disiarkan dengan gegap gempita melalui media online.

Panggung politik

Perayaan ulang tahun ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center (SICC) menjadi panggung besar bagi para elite politik Koalisi Indonesia Maju (KIM). Megawati Soekarnoputri, yang mendapat undangan, berhalangan hadir karena sedang menjalankan ibadah umroh. Namun, kehadiran Jokowi justru menyita perhatian. Paradoks sejenis ini menarik ditafsir.

Klik dan baca juga:  Kebenaran Itu Tak Akan Pernah Tersekap

Ribuan kader Gerindra menyambutnya dengan antusias, dan susunan tempat duduk semakin menegaskan dinamika kekuasaan yang kian terjalin: Prabowo diapit oleh Jokowi dan Wapres Gibran, dengan menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang baru saja menerima kartu anggota Gerindra ditugasi membaca amanat.

Dalam pidatonya, Prabowo menegaskan tekadnya untuk kembali maju dalam Pilpres 2029, dengan satu syarat: ia tidak akan mencalonkan diri jika program-program pemerintahannya dalam lima tahun ke depan gagal. Ia juga menunjukkan sikap hormat kepada Megawati, menolak narasi yang berupaya menjelek-jelekkan Presiden ke-5 RI itu. Terkait kritik atas kabinet gemuknya, Prabowo bersikap tegas—baginya, yang terpenting bukanlah jumlah menteri, melainkan hasil kerja yang dapat dirasakan rakyat.

Menariknya, pidato Jokowi di acara tersebut turut membangun citra Prabowo sebagai pemimpin yang memiliki legitimasi kuat. Dengan dukungan rakyat yang mencapai lebih dari 80% dan parlemen yang dikuasai oleh koalisinya, Prabowo disebut-sebut sebagai salah satu presiden terkuat di dunia.

Namun, dalam nada bercanda, Jokowi tak lupa mengingatkan bahwa ia pernah dua kali mengalahkan Prabowo dalam Pilpres 2014 dan 2019. Sebagai tanda penghormatan, Prabowo menghadiahi Jokowi sebilah keris berwarna emas.

Di balik hingar-bingar perayaan Gerindra, keputusan Kongres Luar Biasa (KLB) Gerindra untuk kembali mencalonkan Prabowo dalam Pilpres 2029 mendapat respons beragam. Bahlil Lahadalia dari Golkar secara terbuka menyatakan dukungan, menyebutnya sebagai kado ulang tahun bagi Gerindra. Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, menyuarakan sikap serupa. Namun, Muhaimin Iskandar dari PKB lebih berhati-hati dalam merespons, memilih untuk tidak menyatakan dukungan secara eksplisit. Muhaimin sebagaimana biasa, selalu luput dari penggusuran politik. Bukan karena dia lincah, tetapi dia diperhitungkan karena masih ada dalam bayang-bayang kaum Nadhliyin.

Sementara itu, di kediaman Prabowo di Hambalang, digelar pertemuan silaturahmi para ketua umum partai KIM. Di forum tersebut, Prabowo menawarkan konsep koalisi permanen yang melibatkan Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, serta partai lain yang kemudian menyusul, seperti PKS, PKB, dan NasDem. Surya Paloh dari NasDem menyambut baik ide ini, tetapi tetap menegaskan posisi partainya yang tidak masuk kabinet, namun tetap memberikan dukungan melalui jalur legislatif. Untuk kasus ini, pertanyaan tersembul adalah ini: Siapa partai yang menjadi center of gravity? Untuk berapa lama? Pertanyaan itu persis sama dengan pertanyaan manusia tentang cnita. Ditanya, apa itu cinta, lalu untuk berapa lama?

Klik dan baca juga:  Tak Ada Masalah Sangat Serius di TNK Komodo

Di sisi lain, gelombang protes mahasiswa menguat. Demonstrasi dengan tema “Indonesia Gelap” merebak di berbagai kota besar, menuntut pencabutan Inpres No. 1/2025, menolak dwifungsi TNI, serta menuntut pertanggungjawaban atas kebijakan Jokowi. Namun, Mensesneg Prasetyo Hadi tidak sejalan dengan narasi mahasiswa, menyebut kondisi Indonesia tetap stabil dan terkendali.

Di tengah situasi ini, revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi isu yang mengemuka. Salah satu pasal yang direvisi membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa harus mengundurkan diri dari TNI, sebuah langkah yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai upaya menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Muhammad Najib Azca, PhD, mengkritisi hal ini sebagai kemunduran demokrasi.

Di luar dinamika politik nasional, isu ekonomi juga menjadi sorotan. Pemerintah merilis Peraturan Pemerintah (PP) No. 8/2025 yang mengatur wajib penempatan 100% Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) di dalam negeri. Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) mengkritisi kebijakan ini, terutama terkait masuknya sektor perkebunan ke dalam regulasi tersebut.

Di ranah tenaga kerja, pemerintah mengkaji kebijakan terkait status hukum pengemudi ojek online. Wamenaker Immanuel Ebenezer menyatakan, pemerintah mempertimbangkan untuk mengubah status mereka dari mitra menjadi pekerja dengan hak-hak lebih jelas. Regulasi ini ditargetkan rampung setelah Idul Fitri 2025.

Sementara itu, Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, mengusulkan pemberian lahan gratis di IKN bagi negara sahabat sebagai strategi untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan daya tarik ibu kota baru. Kebijakan ini tentu saja mengundang perdebatan, terutama terkait implikasi geopolitik dan kedaulatan nasional.

Klik dan baca juga:  Agus Adil: NTT Tidak Miskin, Tetapi NTT Belum Mengerjakan Seluruh Kekayaannya

Di bawah kepemimpinan Prabowo, lanskap politik Indonesia terus bergerak dinamis. Janji-janji kampanye menghadapi realitas politik dan ekonomi, sementara kepentingan elite terus bersinggungan dalam permainan strategi jangka panjang. Pada akhirnya, sejarah akan mencatat: apakah kebijakan Prabowo akan melahirkan transformasi atau sekadar menjadi catatan kaki dalam lembaran panjang perjalanan bangsa?

Kita tentu saja tetap mengikuti dinamika politik di tanah air sambil tetap kritis melihat ke arah mana gerangan tanai air ini akan dibawa berlari. Hal serupa mungkin dialami NTT.

Ketika anggaran belanja daerah mengurus (asal kata: kurus), lalu siapa yang akan mengurus (kelola) perubahan di daerah? Tidak ada kata lain, kecuali gubernur mengajak para bupati dan walikota untuk sama-sama bekerja dan bekerja sama. Tetapi, bagaimana? Pertanyaan ini tentu bukan pertanyaan teknis, tetapi pertanyaan politik yang meminta perilaku politik juga. Melki Laka Lena mungkin tahu, tetapi dia belum berseru.

Untuk melihat ke arah mana NTT dibawa, maka gerakan politik Melki-Johny akan mulai tampak enam bulan pertama ketika anggaran daerah telah diketuk sebelum dia dilantik. Tetapi, mengingat lobying politik ke Jakarta selama periode sebelum pelantikannya, saya menduga ada semburat sinar harapan yang menyembul di ujung lorong kegelapan. Karenanya, saya menyarankan membangun postur birokrasi NTT sekiranya tetap dengan semangat lintas sekat, bebas beban primordial dan bangkitkan petani, peternak, nelayan dan gelorakan selalu pariwisata sambil terus membenah infrastruktur atas nama akses dan kontrol rakyat jelata.