Patut dicatat bahwa kepemimpinan itu hanya ada dalam kelompok atau dalam masyarakat. Kepemimpinan itu ikut berubah jika masyarakat itu berubah.
Oleh Muhamad Hanif, Guru di SMK N 1 Jambu Kabupaten Semarang
Persoalan “pemimpin” dan “kepemimpinan” bukanlah suatu persoalan zaman abad kelas XI saja. Sejarah telah membuktikan bahwa sejarah suatu negara atau bangsa sebenarnya berkisar pada sejarah tokoh-tokohnya, pemimpin-pemimpinnya, yakni pemimpin pemerintahan, politik, pemimpin agama, dan pemimpin masyarakat dan lain sebagainya.
Seorang sejarawan terkemuka, Thomas Carlyle mengemukakan bahwa sejarah umat manusia tidak lain daripada sejarah pemimpin-pemimpinnya. Hal itu disebabkan antara lain karena pentingnya pemimpin sebagai motor penggerak masyarakat pada umumnya di mana sejarah itu terjadi.
Di samping itu juga karena peranannya, maka dalam setiap cerita sejarah para pemimpin merupakan “the key person” atau “the central person”. Sebagai contoh dalam ceritera sejarah politik dan pemerintahan selalu berpusat pada raja-raja, kaisar, presiden, negarawan atau juga para politikus.
Dalam sejarah peperangan, berpusat pada jenderal atau panglima, walaupun mereka tidak ikut berperang. Merujuk pada kerangka pemahaman seperti itu dapat kita simpulkan bahwa pertama, kepemimpinan itu adalah penting. Kedua, kepemimpinan itu ada dalam sejarah umat manusia.
Patut dicatat bahwa kepemimpinan itu hanya ada dalam kelompok atau dalam masyarakat. Kepemimpinan itu ikut berubah jika masyarakat itu berubah.
Dalam hal ini timbul pengaruh timbal balik antara kepemimpinan dan perubahan masyarakat. Sebagai contoh, sejarah fasisme Jerman tak dapat dipelajari lepas dari Adolf Hitler, sejarah China dan Mao Tse-tung, sejarah kemerdekaan RI dan Soekarno-Hatta.
Arti kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakan orang-orang untuk mencapai tujuan tertentu (Abdulrahman, 1971:32). Menurut Terry (1960:122) “leadership is the relationship in whichone person, the leader influencies others to work together willingly on related tasks to attain that which the leader desires.” Hersey dan blanchard (Onduko, 1994:104) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah “suatu proses mempengaruhi perilaku orang lain.”
Ketiga takrif di atas mengindikasikan bahwa kepemimpinan merupakan suatu usaha mempengaruhi orang lain untuk bekerja dalam rangka mencapai tujuan.
Untuk dapat meletakkan hubungan baik dan menyenangkan antara pemimpin yang dipimpin maka seorang pemimpin harus mampu menggunakan alat-alat komunikasi kepemimpinan yang tepat dan mampu berperilaku, sehingga dapat memberikan rangsangan yang kuat terhadap yang dipimpinnya.
Hersey dan Blanchard (Onduko, 1994:104) mengemukakan perilaku kepemimpinan sebagai gaya pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sebagai berikut:
- Melibatkan (participacing)
- Mengajak (consulting)
- Melimpahkan (delegating)
- Memerintah (telling)
Perilaku kepemimpinan tersebut di atas, memiliki bobot pengaruh yang variatif terhadap tinggi rendahnya sikap ikutan para bawahan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Kada (1978:1) mengemukakan alat-alat komunikasi sebagai berikut: “bahasa, nada suara, sikap, perintah atau instruksi.”
Bahasa merupakan alat berkomunikasi. Tanpa bahasa manusia tak dapat berbuat sesuatu, tak dapat mempengaruhi orang lain terutama dalam posisi sebagai seorang pemimpin.
Bahasa yang baik tepat dan jelas dan mudah dimengerti akan memudahkan komunikasi antara pemimpin dan yang dipimpin. Bahasa seorang pemimpin memiliki warna serta pengaruh yang lain daripada bahasa seorang bawahan. Karena itu seorang pemimpin harus menggunakan bahasa yang baik, baik dalam bentuk oral maupun written language.
Nada suara yang diperdengarkan oleh seorang pemimpin merupakan manifestasi dari keadaan jiwa atau sikap jiwa pemimpin yang ingin berhasil dalam kepemimpinannya. Kehalusan dan kelemahlembutannya merupakan kunci untuk dapat menyelami watak dan keinginan yang dipimpin.
Sikap seorang pemimpin merupakan manifestasi dari suasana batin yang didasarkan pada aspek pengekangan diri. Sikap seorang tidak permanen tapi tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi.
Dalam tautan dengan hal tersebut di atas Lewin (1975:37) mengemukakan empat tipe kepemimpinan, yakni: (1) tipe otokratis, (2) tipe demokratis, (3) tipe laissez faire, dan (4) tipe pseudo demokratis.
Tipe-tipe kepemimpinan seperti yang disebutkan Lewin diaplikasikan sesuai situasi kondisi yang dihadapi. Seorang pemimpin bisa bersikap otoriter dalam menghadapi bawahannya, tetapi sebaliknya dapat bersikap demokratis jika menghadapi anak istrinya atau sebaliknya.
Perintah atau instruksi biasanya disertai dengan sanksi-sanksi. Bila perintah tidak dijalankan maka tindakan pemimpin adalah memberikan sanksi, terutama sanksi administratif.
Akibatnya selalu muncul hubungan yang kurang harmonis, bahkan terjadi jurang komunikasi atau communication gap. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan kemanusiaan perlu dibina tanpa paksaan seperti dikemukakan Wiles (1967:41) “good human relationship can not be attained by comannding or requesting them. They are built by living and working with fellow staff members in such a way they can practice good human relations to.” Masing-masing pihak harus memelihara hubungan tersebut serta saling menghormati dan menghargai.
Selanjutnya sifat seorang pemimpin juga berpengaruh terhadap bawahannya. Sifat merupakan tindakan dan perilaku sebagai manifestasi dari keadaan batin yang melekat erat pada diri seseorang. Sifat tidak dapat dimanipulasi karena merupakan bagian dari seseorang.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut Rifai (1979:41) mengemukakan sifat seorang pemimpin adalah: “(1) sifat suka bergaul dengan orang lain serta mudah menyesuaikan diri dengan orang-orang disekitarnya, (2) sifat ramah tamah, berbudi bahasa baik, sehingga dapat memikat bawahannya, (3) sifat suka menolong bagi orang lain, (4) percaya pada diri sendiri, (5) jujur, adil, dan dapat dipercaya, (6) ahli dalam bidangnya.”
Macam kepemimpinan
Dilihat dari munculnya atau kehadirannya, ada pemimpin formal dan ada pemimpin informal. Kepemimpinan formal menunjukkan adanya pengangkatan resmi yang diatur dalam organisasi secara hierarkis.
Dilihat dari cara kerja atau praktik kepemimpinan. Kita dapat membedakan kepemimpinan yang otoriter, laissez-faire, demokratis dan pseudo demokratis.
Munculnya kepemimpinan otoriter karena pemimpin memiliki keyakinan bahwa peranan pemimpin adalah mengarahkan memberi petunjuk membimbing, menyuruh, memerintah, dan menguasai. Kepemimpinan otoriter mengutamakan kekuasaan dan pengawasan.
Kepemimpinan demokratis menunjuk pada pengertian penggunaan asas demokrasi dalam kepemimpinan. Karena itu tipe kepemimpinan demokratis mengutamakan prinsip musyawarah untuk mufakat, dalam segala proses kepemimpinan. Antara lain: dalam mengambil keputusan, merumuskan kebijakan, mengutamakan persuasi dalam hal memerintah dan sebagainya.
Kepemimpinan yang laissez-faire. Kepemimpinan ini seringkali kurang diakui karena tidak ada peranannya yang positif. Akan tetapi dalam kelompok tertentu tipe ini ada karena adanya seseorang yang menduduki posisi pemimpin, walaupun tidak dimainkan peranan sebagaimana mestinya.
Para pemimpin yang memainkan peranan ini bisa disebabkan: pertama, karena situasi kelompok yang mengakibatkan ia takut mempengaruhinya atau kedua, karena ia mengalami frustasi karena situasi kelompok atau keadaan pribadi.
Ciri-ciri pokok dari tipe ini ialah adanya kebebasan yang berlebihan, tanpa kebijakan umum dan keputusan yang mengikat serta menurunnya moral kerja dan disiplin.
Kepemimpinan yang pseudo demokratis. Biasanya disebut juga manipulasi demokrasi. Artinya bentuk dan cara-caranya demokratis tapi isinya atau keputusannya adalah otoriter.
Dengan tipe ini semua konsep mengenai kebijakan, keputusan, prosedur, dan tata cara kerja yang lainnya semua sudah diatur dan disiapkan oleh pemimpin.
Sedangkan pendapat atau usulan dan saran-saran dari bawahan diminta melalui rapat dan lain-lain hanya merupakan suatu dukungan bagi konsep yang tersedia. Para pemimpin yang memainkan tipe ini biasanya merasa diri cukup super dalam segala hal.
Perlu dicatat bahwa keempat tipe ini hampir tidak tampak dalam bentuknya yang murni pada seorang pemimpin. Ini disebabkan pengaruh situasi dalam kepemimpinan sehingga dalam penampilannya, tipe-tipe ini selalu tampak secara berganti-ganti walaupun salah satunya atau beberapa tipe yang kelihatannya dominan dari pada tipe yang lain.
Di samping patut diingat bahwa masing-masing tipe tersebut di atas mempunyai kelemahan-kelemahan.
Dilihat dari peranan yang dimainkan oleh pemimpin
Kepemimpinan nomotetik, yaitu kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan umum kelompok dari pada kepentingan perseorangan atau pribadi. Tipe kepemimpinan yang demikian, sangat tepat pada masyarakat yang memiliki sifat gotong royong murni. Seluruh perhatian dan tindakan pemimpin, selalu tertuju kepada kepentingan bersama.
Kepemimpinan ideografis. Tipe kepemimpinan ini umumnya menitikberatkan pada kepentingan perorangan dengan mengabaikan kepentingan umum.
Dalam kehidupan sehari-hari, tipe ini hidup dengan subur pada negara-negara liberal. Di mana setiap orang mendapat kesempatan bersaing yang seluas-luasnya, sehingga kepentingan individual diutamakan dengan mengorbankan kepentingan bersama.
Sedangkan pada negara-negara demokratis murni, di mana sangat mempertentangkan pendapat kepentingan kelompok, maka kepemimpinan ideografis tak dapat dijalankan.
Kepemimpinan transaksi. Yang dimaksud dengan kepemimpinan transaksi ialah tipe kepemimpinan yang merupakan kompromi antara kepemimpinan nomotetik dengan kepemimpinan ideografis, atau dengan singkat disebut kepemimpinan kompromis.
Kepemimpinan pendidikan yang demokratik
Dalam sejarah pendidikan selama Orde Baru, kita selalu mendengar “ganti menteri ganti kebijakan”. Masyarakat, orang tua, pendidik dan siswa selalu dipusingkan oleh kebijakan-kebijakan pendidikan yang tumpang tindih.
Fenomena empirik tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari kepemimpinan seorang menteri. Setiap orang yang berkecimpung dalam profesi kependidikan, mulai dari guru, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas hingga menteri dalam konteks pendidikan disebut sebagai pemimpin pendidikan.
Setiap pemimpin pendidikan diharapkan menerapkan tipe kepemimpinan yang demokratis, seperti diuraikan pada bagian terdahulu. Namun, tidak jarang kita lihat adanya pemimpin pendidikan yang bersikap otoriter, yang juga sangat berhasil dalam memimpin. Hal ini disebabkan oleh situasi kondisi di mana orang tersebut menjadi pemimpin pendidikan.
Dalam dunia pendidikan saat ini, ada persaingan yang seru antara ahli pendidikan dan perencana pendidikan, yang berinduksi pada kualitas pendidikan (Umbu Tagela, 2000:56).
Ahli pendidikan dalam kiprah dan kiblatnya lebih mumpuni pada ketersediaan biaya pendidikan. Dalam praktiknya cenderung dilakukan penggabungan antara gagasan ahli pendidikan dengan gagasan perencana pendidikan.
Setiap pemimpin termasuk pemimpin pendidikan menurut Kouzes dan Posner (1999:329) harus membina komitmen kepada tindakan. Artinya apa yang diperbuat oleh pemimpin harus dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam tautan makna yang demikian maka seorang pemimpin pendidikan harus memikirkan dengan matang setiap tindakan sebelum melakukannya. Sebab tindakannya merupakan manifestasi dari dirinya sebagai pemimpin.
Dalam tautan yang sama, Ametembun (1975:66) mengatakan bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen dalam menentukan kebijakan dan dalam mengambil keputusan.
Penutup
Memang masalah kepemimpinan merupakan masalah yang sangat penting untuk diberi perhatian serius. Oleh karena masalah tersebut adalah merupakan motor penggerak organisasi.
Jika kepemimpinan diberi perhatian yang besar itu sebenarnya wajar sebab di dalamnya kita akan bertemu dengan masalah ‘human relation’ tidak jalan maka dapat kita bayangkan apa yang bakal terjadi dengan pencapaian tujuan organisasi tersebut. Sebab faktor manusia merupakan faktor penentu maju mundurnya organisasi.