Keterangan Korban dalam Kasus Kekerasan Seksual: Cukupkah?

Kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan di kantor atau tempat ibadah, umumnya terjadi tanpa kehadiran saksi lain. Jika keterangan korban terus dianggap lemah hanya karena berdiri sendiri, sistem hukum justru melemahkan korban dan memperkuat impunitas.

istockphoto 1088189480 1024x1024 1

Oleh Exwin Agustinus Hotan, S.H., M.H.
Akademisi dan Praktisi Hukum

Nusa Tenggara Timur sedang berada dalam status darurat kekerasan seksual. Deretan kasus terus bermunculan—dari oknum vikaris di Alor, mantan Kapolres Ngada, hingga tujuh pemuda di Belu yang memperkosa seorang remaja. Tak ketinggalan kasus kekerasan seksual oleh oknum polisi di Sikka. Semuanya menunjukkan pola berulang: kekerasan terjadi di ruang tertutup, melibatkan pelaku dengan relasi kuasa, dan sering kali tanpa saksi.

Pertanyaan yang muncul: apakah kesaksian korban cukup untuk menjerat pelaku? Dalam praktik hukum, banyak perkara kekerasan seksual kandas karena dianggap tak memiliki cukup bukti. Asumsi ini berbahaya karena bisa menimbulkan ketakutan di kalangan korban untuk melapor, apalagi jika hanya mereka yang mengalami dan mengetahui kejadiannya.

Korban Adalah Saksi

UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) hadir sebagai jawaban atas kekosongan hukum yang selama ini mempersulit korban. Pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan akibat kekerasan seksual, baik fisik, mental, ekonomi, maupun sosial. Sementara itu, Pasal 1 ayat (6) memperluas definisi saksi menjadi setiap orang yang memberi keterangan, meskipun tidak mendengar, melihat, atau mengalami sendiri peristiwa pidana.

Artinya, korban kekerasan seksual adalah juga saksi. Keterangan mereka, menurut hukum, bisa menjadi alat bukti. Selama ini, aparat penegak hukum masih banyak yang berpegang pada doktrin klasik dalam KUHAP dan hukum pidana: “unus testis nullus testis”—satu saksi bukan saksi. Dalam kasus kekerasan seksual, pendekatan ini jelas tidak memadai.

Kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan di kantor atau tempat ibadah, umumnya terjadi tanpa kehadiran saksi lain. Jika keterangan korban terus dianggap lemah hanya karena berdiri sendiri, sistem hukum justru melemahkan korban dan memperkuat impunitas.

Menggeser Paradigma Pembuktian
UU TPKS menggeser paradigma pembuktian dalam perkara kekerasan seksual. Pasal 25 menyebutkan, keterangan korban dapat dijadikan dasar pembuktian yang cukup, asalkan disertai satu alat bukti sah lain dan hakim memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana.

Apa alat bukti lainnya? Bisa berupa visum et repertum dari dokter, hasil forensik, atau bukti elektronik seperti rekaman atau percakapan. Pasal 24 bahkan menyebutkan dokumen elektronik, barang bukti, hingga surat dari psikolog dan psikiater sebagai bagian dari alat bukti yang sah.

Dengan demikian, sistem pembuktian dalam perkara kekerasan seksual tidak lagi kaku seperti KUHAP. UU TPKS adalah lex specialis yang secara hukum mengesampingkan aturan umum yang lebih dulu ada. Ini membuka peluang besar bagi korban untuk mendapatkan keadilan, bahkan ketika kesaksiannya adalah satu-satunya yang terdengar.

Urgensi Laporan Segera

Satu hal yang tak kalah penting: waktu. Korban harus segera melapor. Semakin lama kejadian dibiarkan, semakin sulit membuktikan. Jejak kekerasan bisa hilang, baik secara fisik maupun digital. Visum tidak bisa dibuat tanpa luka yang terlihat atau tanpa pemeriksaan dini. Bukti DNA bisa hilang karena waktu. Semakin lama korban diam, semakin kecil kemungkinan pelaku dijerat hukum.

IMG 20250423 125719
Exwin Agustinus Hotan, S.H., M.H.

UU TPKS memang menetapkan bahwa kekerasan seksual adalah delik aduan. Namun untuk anak-anak dan penyandang disabilitas, laporan bisa diproses tanpa harus ada aduan. Ini bentuk keberpihakan hukum yang patut diapresiasi.

Namun demikian, pelaporan tetap harus dilakukan dalam kerangka waktu tertentu. KUHP mengatur daluarsa penuntutan pidana dalam Pasal 78 sampai 85. Jika waktu kedaluwarsa terlewati, hak menuntut hilang. Menurut pakar hukum Leden Marpaung maupun EY. Kanter, daluarsa penting untuk mencegah memudarnya ingatan dan hilangnya bukti.

Syarat Pembuktian: Bukti + Keyakinan Hakim

Dalam sistem hukum Indonesia, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana jika ada dua alat bukti sah yang mendukung keyakinannya (Pasal 183 KUHAP). UU TPKS menyediakan jalur untuk memenuhi syarat itu dengan memberikan legitimasi kepada keterangan korban sebagai alat bukti pertama, lalu didukung oleh alat bukti lain seperti visum atau dokumen elektronik.

Artinya, korban tak perlu lagi takut karena merasa sendiri. Kesaksian mereka sah secara hukum, dan negara memiliki kewajiban untuk memastikan aparat penegak hukum paham betul mengenai hal ini.

Negara Harus Hadir

Kekerasan seksual bukan kejahatan biasa. Ia adalah extraordinary crime yang membutuhkan penanganan luar biasa. Bukan hanya dalam bentuk regulasi, tapi juga dalam implementasi: pelatihan aparat, ruang aman untuk korban, dan keberanian menindak pelaku tanpa pandang bulu.

UU TPKS sudah memberi fondasi hukum yang kuat. Tapi hukum tidak menegakkan dirinya sendiri. Ia memerlukan keberanian aparat, kepekaan hakim, serta kesadaran masyarakat untuk tidak mengabaikan suara korban hanya karena mereka berdiri sendiri.

Sudah waktunya kita menyadari: satu suara korban, jika didengar dan diperkuat oleh hukum, cukup untuk melawan ketidakadilan.