Oleh Jermy Haning, Phd
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 1 dari 3 anak mengalami stunting. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023 mencatat angka 35,3%—tertinggi ketiga secara nasional, dan jauh di atas rata-rata nasional yang sudah turun ke 21,5%. Ini bukan sekadar data gizi. Ini adalah lonceng darurat bagi masa depan.
Stunting bukan sekadar tubuh pendek. Ia adalah kerusakan permanen pada otak dan potensi hidup anak. Ukuran otak anak stunting bisa hanya setengah dari anak sehat. Dan kerusakan itu tak bisa diperbaiki jika lewat usia dua tahun. Jadi, saat stunting terjadi, masa depan dikerdilkan sejak dalam gendongan.
Luka yang Tak Tampak
Banyak anak di NTT tumbuh dengan luka tak terlihat. Mereka lahir dari orang tua yang dulu juga stunting—tumbuh dengan gizi minim, tanpa stimulasi cukup, dan di lingkungan yang tidak ramah perkembangan. Ini warisan biologis dan sosial yang berlangsung diam-diam.
Refleksi di Rote menguatkan ini. Tahun 2022, saya menyimpulkan: akar stunting adalah kurang kasih sayang. Dan di tahun 2024, saya tambahkan: karena kita lupa adat. Ketika kasih sayang menghilang, anak tak lagi dipeluk dengan kehadiran. Ketika adat dilupakan, anak kehilangan perlindungan yang seharusnya diwariskan.
Padahal, adat Rote dulu mengatur dengan rinci:
Peran ayah dan ibu yang setara dalam mengasuh Pantangan dan anjuran makanan untuk ibu hamil dan menyusui Tradisi menyusui 2–3 tahun Aturan memberi makan pertama dan merawat pusar bayi
Adat bukan sekadar budaya, tapi sistem perlindungan holistik—biologis, sosial, dan spiritual. Ketika adat ditinggalkan karena tergesa modernisasi, kita kehilangan salah satu alat proteksi paling kuat.
Ketika Anak Menjadi Produk Samping
Di banyak rumah, anak lahir tanpa rencana. Kehamilan dianggap “kecelakaan”, bukan anugerah yang disambut. Banyak ibu yang sudah punya lima atau enam anak, saat ditanya kenapa masih terus melahirkan, menjawab sambil tertawa: “Son tau ju, Bapa…”
Tawa itu menyimpan ironi. Anak-anak lahir bukan karena cinta, tapi karena ketidaktahuan. Padahal, 80% solusi stunting ada di tangan orang tua. Jika mereka kehilangan peran sebagai pusat cinta dan pengasuh utama, negara takkan mampu menggantikannya.
ASI: Senjata yang Ditinggalkan
ASI adalah makanan terbaik di dunia—alami, gratis, dan penuh perlindungan. Tapi kini, hanya sekitar 30% ibu menyusui dengan optimal. Dulu, ibu-ibu di Rote menyusui anak 2 sampai 3 tahun. Sekarang, banyak yang hanya 2–3 bulan, lalu anak tumbuh bersama botol dan ponsel.
ASI 6 bulan eksklusif, dilanjutkan MPASI bergizi sampai usia 2–3 tahun, adalah fondasi otak anak. Tanpa ini, otak anak bisa gagal berkembang.
Dan di sinilah kunci utama: Ibu harus bahagia. Karena hanya ibu yang sehat, cerdas, dan terlindungi yang mampu menyusui dengan cinta.
Sehat, agar kuat hamil, melahirkan, menyusui Cerdas, agar paham pentingnya 1000 hari pertama kehidupan (HPK) Terlindungi, dari kekerasan, tekanan ekonomi, dan pengabaian sosial
Jika kita ingin anak cerdas, pastikan ibunya terlebih dahulu dicintai dan dijaga.
Terlalu Banyak Indikator, Terlalu Sedikit Fokus
Pemerintah pusat menetapkan 22 indikator penanganan stunting. Tapi di daerah 3T seperti NTT, terlalu banyak indikator membuat energi terpecah. Kita harus fokus pada yang paling berdampak.
Ilmuwan menyebutnya bounded rationality—pengambilan keputusan yang terbatas karena informasi, kapasitas, atau tekanan waktu. Kita sering berjalan “groping along”, berharap hasil baik datang dengan sendirinya. Tapi dalam urusan stunting, kebijakan setengah sadar bisa membuat kita kehilangan satu generasi.
Gunakan prinsip Pareto: fokus pada 20% intervensi yang berdampak 80%. Tiga hal utama di Rote:
1. Ibu hamil tidak KEK (Kurang Energi Kronis)
2. Bayi lahir dengan berat normal
3. ASI Eksklusif 6 bulan, dilanjutkan PMT sampai 3 tahun → sesuai adat: “Teuk Telu Mama Ko’o Iva”
Tuntaskan, Bukan Sekadar Disentuh.
Jika semua prioritas, maka tak ada yang benar-benar diprioritaskan. Di tengah kabut indikator dan format pelaporan, anak-anak kita justru terpinggirkan.
Maka hari ini, mari kita kembali ke akar. Kembali ke kasih sayang. Kembali ke adat. Kembali ke ibu yang sehat, cerdas, dan terlindungi.
Tuntaskan stunting. Jangan hanya disentuh. Demi otak. Demi adat. Demi martabat satu generasi.*