Ketika Jalan Rusak Mengancam Nyawa: Ironi di Daerah Penghasil Komoditas

Sudah terlalu banyak cerita getir tentang warga yang kehilangan kesempatan mendapat pertolongan medis tepat waktu karena jalanan yang tak bersahabat. Ironisnya, semua ini terjadi di wilayah yang memberi kontribusi nyata pada perekonomian daerah dan nasional melalui produksi komoditas unggulannya.

OPINI 20250429 772678382255553734
Marsel Natar

Oleh Marsel Natar

Daerah penghasil komoditas, yang seharusnya mendapat perhatian utama, justru dihantui oleh infrastruktur jalan yang rusak parah. Di tengah distribusi komoditas vital, keselamatan warga terancam setiap hari.

Di tengah gencarnya kampanye pemerataan pembangunan nasional, daerah-daerah penghasil komoditas pertanian justru masih bergulat dengan kerusakan jalan yang mengkhawatirkan. Setiap musim panen, para petani mempertaruhkan hasil kerja keras mereka melewati jalan-jalan berlubang, terjal, dan becek, bahkan nyaris tak layak disebut jalan. Ironisnya, wilayah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional ini seolah luput dari perhatian serius pemerintah.

OPINI 20250429 3610851539221802720
Potret jalan rusak di Kecamatan Detukeli, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Diabadikan akhir April 2025. (Marsel Natar)

Potret ini nyata terlihat di Kecamatan Detukeli, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Jalan-jalan yang menghubungkan Kampung Rate Mite, Kampung Wolopaku, Kampung Feoria, serta jalur menuju Kampung Wologai dari arah Detukeli, kini lebih menyerupai lintasan rintangan alam dibanding infrastruktur negara yang seharusnya menopang mobilitas warganya. Lubang-lubang besar, badan jalan yang tergerus air, tanah licin saat hujan, hingga kerikil tajam menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sehari-hari.

Di jalur-jalur ini, kendaraan pengangkut hasil komoditas seperti kopi, kakao, pisang, dan berbagai produk hortikultura harus melaju perlahan, bahkan sering terjebak berjam-jam dalam lumpur. Tidak sedikit petani yang terpaksa menunda distribusi hasil panen karena risiko kerusakan barang, sementara harga jual terus tertekan akibat keterlambatan. Hasil bumi yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan malah menjadi beban, karena ongkos produksi membengkak, risiko kerugian meningkat, dan pendapatan petani terjun bebas.

Namun, yang lebih memilukan dari itu semua adalah ancaman terhadap keselamatan jiwa manusia. Jalanan rusak ini menjadi rintangan berbahaya bagi siapa saja yang membutuhkan layanan kesehatan darurat. Bayangkan seorang ibu hamil yang mengalami komplikasi malam-malam harus diterjang ke puskesmas dengan kendaraan tua, melintasi jalan berlubang yang menghantam tubuh setiap detiknya. Atau pasien serangan jantung yang harus segera mendapatkan penanganan medis, namun terjebak dalam kendaraan yang tak bisa bergerak cepat. Setiap detik perjalanan menjadi pertaruhan antara hidup dan mati.

Sudah terlalu banyak cerita getir tentang warga yang kehilangan kesempatan mendapat pertolongan medis tepat waktu karena jalanan yang tak bersahabat. Ironisnya, semua ini terjadi di wilayah yang memberi kontribusi nyata pada perekonomian daerah dan nasional melalui produksi komoditas unggulannya.

Tidak ada upaya swadaya masyarakat yang mampu memperbaiki kerusakan ini. Kondisi jalan sudah terlalu parah untuk diatasi dengan gotong royong seadanya. Jalan-jalan ini membutuhkan perbaikan struktural, pembangunan drainase, pengaspalan, dan penanganan serius yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah melalui anggaran dan teknis yang memadai.

Dampak Luas Kerusakan Jalan

Kerusakan jalan tidak hanya berdampak pada distribusi hasil pertanian dan kesehatan, tetapi juga memperlebar jurang ketimpangan sosial. Ketika akses transportasi terganggu, maka akses ke pendidikan, pasar, dan layanan administrasi publik juga ikut terganggu. Anak-anak yang seharusnya pergi ke sekolah harus berjalan kaki berjam-jam melalui jalan berlumpur. Guru-guru enggan mengajar ke daerah-daerah terpencil karena sulitnya medan. Pedagang kehilangan peluang usaha karena biaya logistik yang membengkak.

Menurut data dari Bank Dunia, kualitas infrastruktur jalan berkontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi desa. Jalan yang baik dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga pedesaan hingga 15% dalam satu tahun. Sebaliknya, jalan yang buruk menjerat masyarakat dalam lingkaran kemiskinan struktural: sulit memasarkan produk, sulit mengakses pendidikan, sulit mengakses kesehatan, dan akhirnya sulit keluar dari jerat kemiskinan.

OPINI 20250429 1081070213844546968

Di sisi lain, dalam laporan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), disebutkan bahwa akses jalan yang buruk berkorelasi langsung dengan tingginya angka kematian ibu dan bayi di daerah rural. Transportasi yang lambat dalam situasi darurat medis menjadi salah satu penyumbang kematian yang seharusnya dapat dicegah. Fakta-fakta ini seharusnya cukup menjadi alarm bagi pemerintah bahwa kerusakan jalan bukan hanya persoalan teknis, melainkan persoalan keadilan sosial dan kemanusiaan.

Negara Harus Hadir Secara Nyata

Janji pembangunan dari pinggiran, jargon pemerataan, dan berbagai program nawacita seolah hanya berhenti pada slogan jika kenyataan di lapangan tetap seperti ini. Negara tidak boleh sekadar hadir melalui proyek-proyek monumental di perkotaan besar, tetapi harus hadir di jalan-jalan kecil yang menghubungkan kampung-kampung seperti Rate Mite, Wolopaku, Feoria, dan Wologai.

Pemerintah Kabupaten Ende, Pemerintah Provinsi NTT, dan Pemerintah Pusat harus bertanggung jawab secara moral dan hukum atas keterlambatan ini. Anggaran perbaikan jalan harus diprioritaskan, bukan dinomorduakan di bawah proyek-proyek lain yang lebih “fotogenik” di mata publik.

Pengawasan penggunaan dana desa, dana infrastruktur daerah, dan bantuan pusat harus diperketat agar tidak ada lagi alasan keterlambatan. Partisipasi masyarakat dalam mengawasi pembangunan juga harus diperkuat, namun bukan berarti beban tanggung jawab utama dilimpahkan kepada rakyat.

Jalan Bukan Sekadar Aspal, Tapi Jalan Kehidupan

Setiap kilometer jalan rusak yang dibiarkan menganga adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial. Setiap lubang yang tidak diperbaiki adalah luka yang menorehkan ketidakpedulian negara terhadap rakyatnya. Kampung Rate Mite, Wolopaku, Feoria, dan Wologai bukanlah bagian pinggiran dari republik ini. Mereka adalah denyut nadi kehidupan bangsa. Mereka adalah tangan-tangan yang mengolah bumi, menghasilkan kopi, kakao, dan hasil bumi lainnya untuk mengisi meja makan nasional.

Sudah saatnya pemerintah berhenti menunda. Jalanan ini harus diperbaiki, bukan besok, bukan lusa, tetapi sekarang. Karena di setiap kilometer jalan yang mulus, ada kehidupan yang terselamatkan. Dan di setiap kilometer jalan yang dibiarkan rusak, ada masa depan yang terkoyak. Negara ada untuk melindungi segenap bangsa, bukan hanya yang tinggal di kota-kota besar, melainkan juga yang hidup di kampung-kampung kecil, yang setia menanamkan harapan di ladang-ladang terpencil.

Penulis merupakan rohaniawan Katolik pada kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus. Penulis buku kumpulan cerita dengan judul Usaha Membunuh Tuhan. Sekarang menetap di Ndao, Ende Flores NTT.