Keyakinan Keras Kepala dan Konsekuensi Kesalingan dalam Sikap

img 20230106 wa0004
Pater Kons Beo, SVD. Dok. Pribadi.

“Kebaikan dan kebenaran itu bukanlah persoalanmu saja. Bukan pula persoalanku semata. Tetapi, itu persoalan kita bersama. Mari duduk dan bicaralah teduh” – (Anonim).

Oleh P. Kons Beo, SVD

Hati yang berdialog

Kita memang mesti dilatih untuk bertukar pikiran. Hati dan pikiran mesti diterampilkan untuk menangkap makna. Dalam diskusi, bahkan dalam debat sedahsyat apa pun, isi pikiran mesti disampaikan dengan jelas dan tepat arah. Dan tentu, semuanya mesti dimeterai dengan ketenangan hati penuh teduh.

Sampaikan dengan terus terang pendapat itu. Pilih kata-kata yang jelas, pun bernilai ‘sopan’. Artinya, kata-kata yang tak sakarstik dan humiliatif sifatnya. Diskusi atau debat pada titiknya bermuara pada konsolasi rasional. Di situlah alam pikiran tercerahkan. Keyakinan dipertebal. Motivasi digelorakan. Sikap dan tindakan bahkan menjadi satu solusi yang mesti diambil.

Manusia dari sudut tertentu bisa ditangkap dari ‘segala keyakinan yang dimilikinya’. Dan keyakinan itu bisa terungkap dalam hal yang paling praktis hingga hal-hal yang paling mendasar. Katanya, itu dapat ditangkap, misalnya, dari model rambut dan gaya berpakaian, hingga pada konsep ‘seperti apa arti dan prinsip-prinsip hidup’.

Pikiran yang terungkap dalam sikap

Tengoklah dalam diri sendiri. Sikap dan perlakuan kita terhadap orang tertentu sebenarnya sama sebanding dengan keyakinan dan penilaian kita terhadapnya. “Anda cuek dan malas tahu serta kasar dengan seseorang, itu karena dikendalikan dari keyakinanmu terhadapnya dalam kerangka dan isi yang melulu negatif.”

Sebab itulah, diskusi mesti dirancang. Tukar pikiran sepantasnya diarsiteki. Semuanya bertujuan untuk membuka wawasan. Untuk runtuhkan tembok-tembok pemisah warisan masa lampau. Atau pun untuk lanjutkan pembangunan jembatan penghubung satu dengan yang lain.

Di luar ‘kerajaan diri kita’, terdapat sekian banyak kekayaan dan kelimpahan variasi hidup. Di dalamnya ada bentangan panjang dan lebar ‘isi dan cara berpikir yang variatif’. Dan semuanya tentu dalam alur perkembangan hidup itu sendiri serta visi kemanusiaan.

Klik dan baca juga:  Waspada terhadap Bandit Demokrasi Menjelang Pemilu 2024

Jumpa sesama–hadapi dunia

Dalam dinamika dan mobilitas zaman kini yang masif dan tak terbendung, apa disebut encountering people, perjumpaan antar bangsa manusia menjadi satu keniscayaan. Itulah narasi dan ziarah hidup manusia yang tak terhindarkan. Lagak laku setiap individu itu sekian kaya. Dan itu selaras dengan apa yang menjadi simpul latar belakangnya.

Setiap kita tentu terpanggil untuk menangkap ‘apa yang dikisahkan sesama, apa yang dipentaskan oleh yang bukan kita, apa yang dihadirkan oleh yang masih terasa asing.’ Bertarung untuk memahami segala yang berbeda dan masih terasa asing adalah seni dari internalisasi cara berpikir kita.

Pada titiknya, tentu apa yang ditangkap dari ‘alam atau dunia lain’ menjadi satu ujian tertentu demi sebuah transformasi dan alam passingover dari cara dan isi berpikir kita sendiri.

Inilah yang kerap disebut sebagai perjumpaan yang membaharui. Tidakkah setiap kita alami apa yang ditilik sebagai a ha moment. Saat alam lama ‘digugurkan dengan penuh kerendahan hati’ sebagai hasil dari perjumpaan yang indah?

Beranilah untuk mengatakan…

Tetapi, siapa pun mesti terlatih untuk menyampaikan isi pikiran. Isi pikiran adalah keyakinan-keyakinan yang menjadi bagian dari kekayaan diri kita. Ada nasihat klasik, “Salah atau benar, omong sajalah! Tak usah dipendam. Bila salah maksud, pasti ada yang meluruskan…”

Yang terpenting dari sampaikan pendapat adalah hati yang tulus dalam mengatakan ‘apa adanya’. Tetapi, siapa pun mesti siap-siap hati untuk ditantang. Apa yang disampaikan bukanlah kebenaran mutlak, yang selamanya mengharuskan sesama untuk wajib mengamininya. Dan justru di sinilah terkadang jadi kendala yang mesti dihadapi.

Kerendahan hati di panggung kritik

Catatan kritis ini mesti disimak, “Kita tak selalu rasional. Terkadang kita bahkan tidak rasional sama sekali. Secara spesifik, ketika keyakinan kita ditentang, kita cenderung merasa bahwa diri kita ditentang secara personal. Ketika keyakinan kita dikritik, kita merasa dikritik. Ketika keyakinan kita diserang, kita merasa diserang” (Shiraev & Levy, 2012).

Klik dan baca juga:  Jalan Pulang Memang Harus Kita Lalui

Memperlakukan diskusi sebagai ‘perang opini’ yang ditangkap sebagai arena ‘atau kalah atau menang, pun atau menaklukkan atau terbantai’ maka siapa pun akan segera memasang benteng pertahanan diri (opini-keyakinan) sendiri.

Sebab, katanya lagi, “Impuls pertama kita biasanya adalah melindungi keyakinan kita, seakan-akan itu juga melindungi diri kita. Jadi, kita cenderung berpegang teguh pada keyakinan kita, meski berhadapan dengan bukti yang bertentangan sekalipun.”

Hati-hati dengan ‘keras kepala’

Maka, tetap berpegang teguh pada keyakinan yang suram, semu dan salah dengan segala biasannya itulah yang disebut sebagai “efek keyakinan yang keras kepala” (belief perseverance effect) sebagaimana ditandaskan oleh Lord, C.G., Ross, L dan Lepper M (1979).

Kini, yang jadi persoalan mendasar adalah bahwa keyakinan keras kepala bukanlah jadi muara akhir yang sejati dari cakap-cakap, dialog, tukar pikiran yang menjadi ajakan sejuk kepada ‘peralihan atau perubahan nan ceriah’.

Belief perseverance effect itu hanya mau berkarib-ria dengan indoktrinasi sepihak, pemaksaan pendapat dan kehendak, tafsiran satu arah serta terpaku kaku baku pada pikiran dan konsepnya sendiri sebagai ‘standar resmi’ bagi semua.

Bila ditelisik pada ekspansi peyoratif dalam sikap dan tindakan radikalisme, maka di sini sebenarnya efek keyakinan keras kepala dalam teropong ideologis dan religius (agama) sungguh mudah terbaca. Manusia

bisa menjadi agresif dan teroristik terhadap siapa pun yang berbeda.

Manusia bisa jadi tak peduli dan menjadi sangat kukuh dalam keyakinan walau “bukti yang mendukung keyakinan itu salah atau ketiadaan nilai atau bahkan ketinggalan zaman.” Maka pertanyaan yang menantang adalah “Dapatkah kita memegang teguh keyakinan tanpa menolak informasi yang bertentangan?”

Mengilhami serentak diilhami

Dan yang lebih patut disayangkan, jika manusia merasa terlalu encer otak untuk ‘menyalip demi menghindar dari inti persoalan’. Artinya, “Apa yang kuyakini dan kulakukan ini masih mendingan jika dibandingkan dengan mereka yang di sana.”

Siapa pun bisa dengan ‘cerdas’ sembunyi-amankan keyakinannya sendiri yang palsu dengan memakai ‘tanah kekurangan dan kelemahan orang lain.’ Tetapi, jika memang ada tukar pikiran yang jempolan dan sambung rasa yang sehat, tidakkah sebenarnya ada kesalingan yang memperkaya dan menyegarkan alam kehidupan ini?

Klik dan baca juga:  Merenung Ijazah Sang Presiden

Sekadar satu contoh

Teringat lagi satu kisah keyakinan palsu yang hendak dibangun. “Seorang anak pulang sore-sore ke rumah sambil membawa seikat kayu bakar (api). Sang anak punya harapan untuk diakui sebagai anak yang baik. Dan memang, si anak dipuji dan diyakini oleh orangtuanya sebagai anak yang rajin dan baik. Namun, tak berselang lama, muncullah pemilik kebun ke rumah sang anak. Ngamok besar si pemilik kebun tak terhindarkan. Ternyata, si anak yang diyakini ‘baik itu’ telah rusakan pagar kebunnya. Dan pagar kayu itulah yang mau segera jadi kayu api…“ Anak yang diyakini baik sebenarnya telah tahu mau ‘menata dirinya’ dengan potensi mengumpan keributan.

Akhirnya

Hidup terkadang adalah bentangan dari sekian banyak harapan terkesan baik yang selalu dikehendaki atau diharapkan. Tetapi, sekali lagi, perlu ada diskusi, ada bincang-bincang, bahkan perlu ada debat yang tak berbau ad hominem, serta perlu ada suara ‘besar’ yang mengkritisi.

Sebab apa yang diyakini ‘benar dan baik’ sebenarnya masih harus ‘terbuka untuk baik dan benar yang sesungguhnya….

Tidakkah demikian?

 

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro-Roma