Kisruh Demokrat, Pengamat: Demokrasi Kita Kekanak-kanakan

img 20210320 194606[1]
Lasarus Jehamat.

Kupang, detakpasifik.com – Sejumlah pendiri Partai Demokrat  menggelar Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatra Utara pada Jumat (5/3/2021).

Kongres Luar Biasa (KLB) ini menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum partai. Namun, sampai saat ini gugat menggugat masih terjadi di dalam tubuh Partai Demokrat antara kelompok Partai Demokrat versi KLB dengan Partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Kisruh ini pun menimbulkan perang opini antar pendukung di masing-masing kubu. Hingga polarisasi politik terjadi.

Pengamat politik Universitas Nusa Cendana, Lasarus Jehamat kepada detakpasifik.com melalui WhatsApp Sabtu (20/3) menyampaikan, politik itu penuh kepentingan. “Politik itu soal kepentingan. Banyak aktor dalam politik dengan beragam kepentingan. Karena itu, tidak semua aktor memiliki kepentingan yang sama,” tulisnya.

Klik dan baca juga:  Jelang Pelantikan, DPD Demokrat NTT Bagikan Bantuan ke Panti Asuhan di Kupang

Soal Partai Demokrat itu hanya dapat dijelaskan sejauh memahami banyak variabel. Yang paling utama di sana ialah karena partai yang disebut Demokrat itu dinilai tidak demokratis oleh sebagian anggota partai.

Ia menjelaskan kisruh di internal partai karena variabel keluarga ikut bermain dalam kepemimpinan Demokrat.

“Fenomena Partai Demokrat nyaris terjadi di beberapa partai di Indonesia, ketika variabel keluarga ikut bermain. Faksionalitas partai pasti terjadi. Banyak yang tidak suka. Itu jelas. Lalu, kalau Moeldoko yang diangkat dalam KLB, itu karena peserta menilai hanya Moeldoko yang bisa menyatukan banyak faksi di KLB itu dan dianggap mampu menghadapi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),” jelasnya.

Klik dan baca juga:  Leo Lelo: Solidaritas Partai Harus Jadi Nomor Satu

Menurut Lasarus, perselisihan di Partai Demokrat mencerminkan kualitas demokrasi di Indonesia.

“Demokrasi kita masih infantil. Kini, kita masih berada di ruang uji coba demokrasi. Kita belum masuk ke ruang demokrasi substansial,” tambah dosen sosiologi Undana itu.

 

(sinto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *