Solusi yang ditawarkan tidak efektif jika kontrol publik lemah dan hukum tidak tegas ditegakkan.
Oleh Pius Rengka
Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, ditangkap petugas kejaksaan agung bersama uang Rp 920 miliar dan 51 kg batangan emas, di rumahnya di Jakarta, tiga bulan lalu. Peristiwa penangkapan ini, kian mengukuhkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara korup di Asia Tenggara.
Uang dan batangan emas diperoleh dari hasil pengurusan perkara selama Ricar bertugas di MA. Belum diketahui pasti uang itu diperoleh dari siapa dan untuk kepentingan perkara siapa dalam kasus apa. Tetapi, informasi yang diperoleh menyebutkan, Zarof Ricar dikenal lihai sebagai makelar kasus sejak tahun 2012.
Tindakan Zarof Ricar jelas merusak citra dan kredibilitas sistem hukum di Indonesia. Meskipun berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pemerintah, tetapi korupsi di Indonesia masih menjadi persoalan serius. Karenanya, tidaklah heran bila Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) yang diterbitkan Transparency Internasional, menempatkan Indonesia pada skor rendah 34 dari 100, pada tahun 2023. Skor rendah itu menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara.
Presiden Prabowo kerap mengingatkan para menteri dan partai politik untuk tidak mencari keuntungan pribadi atau kelompoknya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Peringatan ini niscaya sangat serius dan juga penting karena Prabowo bertekad memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, sehingga pengulangan peringatan ini penting dan perlu.
Jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia yang memiliki sistem hukum yang kuat dan tata kelola pemerintahan yang transparan, maka sulit dibayangkan Indonesia dapat menyambut tahun emas 2045, walaupun dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan negara-negara seperti Filipina dan Myanmar.
Lemahnya penegakan hukum menjadi tantangan terbesar kepemimpinan Prabowo dalam memerangi korupsi utamanya penyalahgunaan wewenang di semua level, serta kerentanan sistem politik terhadap praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Para peneliti mengonfirmasi kalau KKN menjadi faktor signifikan yang mendorong kegagalan atau kehancuran negara, sebagaimana diungkapkan Susan Rose-Ackerman (1978), Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012).
Upaya pemberantasan korupsi memang masih terus berlanjut, tetapi reformasi struktural dan tuntas di lembaga penegakan hukum sangat diperlukan agar Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara yang memiliki tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan tingkat korupsi yang lebih rendah. Secara empirik, korupsi di Indonesia beroperasi melalui dua pola utama.
Pertama, memang para pelaku sengaja mencuri karena bagi mereka mencuri dianggap sebagai perilaku yang “lazim” di kalangan aparatur negara. Kedua, dagang wewenang (rent seeking). Hal itu dilakukan secara masif, sistematis, dan terstruktur, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau politik. Para penegak hukum sering melakukan hal itu dengan berbagai modus operandi.
Dua cara yang tercela ini beroperasi dengan nyaman karena lemahnya sistem politik dan kontrol sosial. Lebih mengerikan ketika para aktor politik seperti DPR/D justru menjadi pemain utama dalam operasi korupsi dan kolusi. Partai politik juga disinyalir melakukan tabiat yang serupa.
KKN memberikan kontribusi signifikan terhadap kegagalan atau kehancuran negara, provinsi, kabupaten, dan kota. KKN memperparah masalah kinerja pemerintahan, ekonomi, serta stabilitas sosial. Fenomena kemiskinan di berbagai wilayah di tanah air justru disebabkan oleh kelakuan koruptif aparatur negara dan politisi. Perilaku koruptif para elite negara, ditiru oleh rakyat kecil ketika rakyat menjual suara mereka dalam proses elektorasi legislatif maupun eksekutif. Hal ini kian diperparah oleh kelakuan para politisi busuk.
Contoh buruk tidak pernah kurang terjadi di belahan dunia, seperti pengalaman Zimbabwe di bawah kepemimpinan Robert Mugabe dan keluarganya yang menggunakan kekuasaan politik untuk memperkaya diri. Kolusi antara pejabat pemerintah dan bisnis menyebabkan pengambilalihan sumber daya ekonomi oleh segelintir elite, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam kemiskinan. Korupsi, nepotisme, dan kolusi yang meluas memperburuk stagnasi ekonomi, ketidakstabilan politik, dan menurunkan minat investasi asing.
Menyusul korupsi rezim Mugabe selain kehancuran ekonomi, krisis pun mendorong muhibah massal warga Zimbabwe ke negara-negara tetangga seperti untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan, mengalami kekurangan pangan, dan terjebak dalam kemiskinan ekstrem.
Ketidakpuasan kian meningkat, tetapi setiap bentuk dan aneka protes ditanggapi dengan tindakan represif oleh aparat keamanan. Mugabe akhirnya tumbang pada 2017 melalui kudeta militer yang memaksanya mengundurkan diri. Tetapi, warisan korupsi dan disfungsi ekonomi yang ditinggalkannya masih dirasakan hingga saat ini. Cerita korupsi di Zimbabwe adalah contoh konkret bagaimana buruknya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi dapat menghancurkan negara, merusak ekonomi, dan menimbulkan penderitaan yang meluas bagi rakyatnya.
Kisah serupa terjadi di Venezuela. Hugo Chavez dan penerusnya, Nicolas Maduro, memanfaatkan posisinya untuk menempatkan keluarga dan komprador politik dalam posisi penting. Kolusi dengan sektor bisnis minyak menghasilkan kontrak yang merugikan negara. Akibatnya, sumber daya alam dikelola dengan sangat buruk, mengakibatkan inflasi di negeri itu tinggi, kelangkaan barang-barang pokok, dan krisis kemanusiaan.
Nigeria sama saja. Negeri itu memiliki sumber daya alam melimpah, juga tak luput dari lilitan belenggu rantai KKN, terutama di sektor minyak dan gas. Kolusi antara pejabat pemerintah, militer, dan bisnis menyebabkan penggelapan dana publik dan pengelolaan yang buruk. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang inklusif berjalan terseok-seok, menimbulkan ketidakstabilan sosial yang serius.
Korupsi, tentu saja, bukan fenomena baru. Tetapi, di era super modern ini, dengan semakin kompleksnya pemerintahan dan globalisasi ekonomi, korupsi menjadi masalah yang semakin meluas, terutama dalam proyek infrastruktur, kontrak pemerintah, dan pengelolaan sumber daya alam.
Presiden Joko Widodo pernah menegaskan bahwa aparat penegak hukum (polisi dan jaksa) tidak seharusnya terlibat dalam pengerjaan proyek-proyek pemerintah. Namun, tangan kuasa Jokowi tidak selalu mampu menjangkau praktik-praktik korupsi di lapisan pemerintahan paling bawah. Masih banyak aparat penegak hukum disinyalir terlibat dalam urusan pengerjaan proyek APBD di provinsi maupun kabupaten kota.
Ceritera keterlibatan mereka begitu jamak di kalangan para bupati dan wali kota, karena aparat penegak hukum tak hanya mengintai para bupati dan wali kota ataupun gubernur, tetapi justru mereka terlibat jauh dalam urusan kerja proyek dengan mekanisme pengintaian tersebut. Mengintai para bupati dan wali kota hanyalah sejenis metode agar aparat penegak hukum ini ikut “bermain” proyek.
Upaya mengatasi korupsi memang seharusnya memerlukan tindakan tegas dan dimulai dari atas, seperti meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan publik, serta menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Terminologi tanpa pandang bulu inilah yang sering menjadi soal di tanah air karena negeri ini, diselimuti dengan sarung kasih sayang berlebihan terhadap keluarga dekat. Edukasi masyarakat tentang dampak negatif korupsi juga penting untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pencegahan dan pengungkapan kasus-kasus korupsi. Demikian pun rent seeking.
Rent seeking adalah fenomena yang berbahaya dan semakin meluas. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Gordon Tullock pada tahun 1967 dan dipopulerkan oleh Anne Krueger pada tahun 1974. Aktivitas rent seeking sering kali mencakup korupsi dan lobbying untuk mendapatkan monopoli, subsidi, atau proteksi yang menguntungkan kelompok tertentu tanpa memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
Di Indonesia, rent seeking kini telah menjadi ancaman sangat serius bagi keberlanjutan negara ini. Jika praktik ini terus berlangsung, dapat diramalkan Indonesia berisiko menjadi negara gagal, di mana elite pemerintah lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada melayani rakyat. Institusi pemerintah yang dikuasai oleh para pencari rente akan cenderung menghasilkan kebijakan yang tidak adil, memperburuk distorsi ekonomi dan sosial, serta menurunkan kepercayaan publik.
Kasus di Somalia, Venezuela, dan Sudan Selatan seharusnya menjadi cermin bagi kita. Meski memiliki sumber daya alam yang melimpah, negara-negara tersebut mengalami krisis yang parah karena korupsi dan rent seeking. Pengalaman ini menunjukkan bahwa rent seeking memperkuat ketidakadilan sosial dan politik, merugikan mayoritas rakyat, serta memperburuk kondisi ekonomi.
Solusi yang ditawarkan adalah meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, menggunakan sistem meritokrasi, serta melibatkan badan pengawas independen untuk memantau proses rekrutmen dan promosi. Sanksi tegas terhadap para pelaku KKN niscaya sangat diperlukan demi menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan profesional sembari Presiden Prabowo terus-menerus memberi contoh untuk menjauhi perbuatan amat laknat itu.
Namun, solusi yang ditawarkan tidak efektif jika kontrol publik lemah dan hukum tidak tegas ditegakkan. Korupsi dan rent seeking tidak hanya merusak tatanan ekonomi dan sosial, tetapi juga mengancam masa depan daerah-daerah, terutama daerah-daerah di mana sumber daya alam itu berada.
Kecuali itu, perlu dipikirkan serius bagaimana kiranya agar ongkos politik elektorasi di Indonesia tidak dinodai oleh jual beli dukungan politik yang masif dipraktikkan dalam partai politik di Indonesia.
Selamat bekerja Presiden Prabowo.