Karena pada dasarnya cinta adalah awal dari perpisahan yang sudah direncanakan, jika bukan karena maut berarti pergi ke-pelukan orang lain.
Oleh Riko Raden
Cinta bukan hanya soal menyayangi, tapi juga mengikhlaskan. Karena pada dasarnya cinta adalah awal dari perpisahan yang sudah direncanakan, jika bukan karena maut berarti pergi ke-pelukan orang lain. Setiap kali aku jatuh cinta, pasti selalu berakhir dengan perpisahan. Setiap pertemuan hanya berbuah perpisahan, maka aku takut nanti, perpisahan akan menjadi kebiasaan buruk. Perpisahan itu sangat menyakitkan untuk kuterima di dalam hati dan penyesalan itu sulit kulupakan di dalam jiwaku. Untuk mengharapkan dirinya lagi, ibarat layang-layang yang putus. Apabila layang-layang itu sudah putus, kita sulit untuk mencari di mana dia akan mendarat dan sulit kembali. Begitu juga dengan aku yang ingin mengharapkannya kembali. Tapi seakan redup tanpa cahaya yang tidak akan bisa berjalan, akan tersesat bila tanpa arah dan cahaya. Memang tidak mudah menerima semua kenyataan yang telah terjadi, aku pun terdiam di dalam kesepian, merenungi kembali kisahku bersama Dian yang pernah hadir dalam hatiku. Itulah mengapa aku tidak jatuh cinta lagi dengan seorang perempuan hingga saat ini karena aku takut kehilangan yang berakhir dengan rasa sakit.
Dian adalah nama pena seorang gadis yang pernah ada dalam hatiku. Saat pertama kali aku mengenal diri dan namanya, saat itu aku yakin bahwa Dian adalah tipe setia, murah hati dan selalu ada untuk sang kekasihnya. Kala itu, di tepi pantai kami selalu setia memandang senja, kadang menukar pikiran tentang senja yang saban hari selalu meninggalkan bumi. Kadang pula memikir tentang ombak yang selalu datang pada waktu yang tidak tepat.
“Dian!” Aku memanggilnya dengan nada halus.
“Iya kakak!” Jawabnya dengan nada halus pula.
“Saat kutatap matamu, ada rasa aneh dalam hatiku.”
“Rasa aneh seperti apa kak!”
“Aku tidak mau kenangan kita di tepi pantai ini hilang bersama senja yang digusur pergi. Atau ombak yang selalu datang dan pergi. Aku ingin kenangan ini selalu bersama kita. Abadi selamanya.”
“Kak, saat pertama kali aku menatap dirimu di ruangan kelas itu, saat itu pula aku mulai jatuh hati. Aku tidak tahu mengapa ada perasaan itu dalam hatiku. Aku sangat bahagia karena perasaanku itu telah terjawab ketika sepucuk surat dari kakak telah kubaca. Ternyata ada perasaan yang sama hanya karena aku malu mengatakannya kepada kakak.”
“Iya Dian. Saat aku menulis surat untukmu ada rasa ragu apabila engkau tidak menerima surat itu. Tetapi, bersyukurlah karena dirimu juga mengatakan hal yang sama pada surat balasanmu.”
Aku sekali-kali mencium keningnya. Dia tidak merontak ataupun melawan mungkin dia tahu bahwa aku tulus mencintainya. Aku memeluknya sembari melihat senja yang pelan-pelan meninggalkan bumi.
Di tepi pantai ini, kami terus menikmati kesegaran angin senja, mendengar keluh kesah ombak di setiap deburannya di bibir pantai. Kami tidak peduli dengan keadaan ombak yang semakin mendekati kami di bibir pantai ini. Ombak terus berusaha mendekati kami, kadang dia membasahi kaki kami, kadang pula dia mengamuk dengan gulungan ombak yang bertalu saat aku terus memeluk tubuh Dian.
Tak lama kemudian, langit menjadi gelap, guntur bergemuruh. Senja telah pergi dan gelapnya malam pun mulai melintasi pinggir pantai ini. Aku mencoba merayu Dian supaya bergegas dari pinggir pantai ini. Dian pun enggan untuk meninggalkan tempat ini. Atau mungkin dia ingin supaya momen ini tidak akan pergi saat kami beranjak dari pantai ini. Dian terus duduk di bibir pantai, kakinya sambil bermain air.
“Dian, kita harus pergi sekarang karena malam semakin gelap.” Kataku padanya.
“Aku tidak mau kakak. Aku ingin terus berada di pantai ini. Aku ingin terus bersama kakak.” Jawabnya.
Jawaban Dian selalu mengundang rasa cinta ingin terus bersamanya. Ingin tidak meninggalkan momen ini. Tetapi aku takut pada ayahnya. Apalagi saat berangkat dari rumahnya, kami belum sempat pamit dengan orangtuanya. Aku takut sekali apabila ayahnya memukul anak gadisnya. “Aduh, bagaimana ini.” Gumamku dalam hati.
“Dian, aku takut orangtuamu cemas mencari engkau. Ayo, mari kita pulang.” Aku terus merayunya agar dia rela untuk meninggalkan tempat ini.
“Kakak, orangtuaku sangat baik sekali. Jangan takut dengan orangtuaku.” Jawabnya. Dia datang menghampiriku lalu memeluk tubuhku. “Kak, aku ingin terus bersama kakak di tempat ini. Jangan pulang ya kak,” katanya.
Aku belum yakin apa yang dilontarkan dari mulut manis tentang orangtuanya. Aku kenal betul tentang ayahnya. Ayahnya sangat kejam dan tidak sembarang orang untuk berbicara dengannya apalagi meminang hati anak gadisnya. Aku harus merayu Dian agar dia rela meninggalkan tempat ini.
“Dian, kakak berjanji besok kita datang lagi di tempat ini. Aku tidak ingin ada orang di sekitar kita yang dari tadi mengintip kebersamaan kita. Aku takut mereka nanti memberitahukan hal ini kepada orangtuamu. Apalagi sekarang malam semakin gelap. Ayo mari kita pulang.”
“Baiklah kak. Asalkan, besok kita datang lagi di tempat ini. Sekarang kita pulang ke rumah.” Ada rasa sedih pada wajahnya. Jawaban Dian tidak seperti biasanya. Mungkin dalam hatinya ada rasa sesal untuk meninggalkan pantai ini. Mungkin dia menginginkan kebersamaan kami ini tetap ada dan tak perlu beranjak dari tempat ini.
Sepertinya, Dian tidak respon setiap kali aku bertanya tentang ayahnya. Dalam perjalanan menuju ke rumahnya, dia selalu diam tidak seperti biasanya. Entahlah mungkin rasa sesalnya masih terbawa olehnya. Mungkin dia ingin terus bersama-sama di pantai itu. “Maafkan aku Dian! Bukan maksudku untuk tidak mewujudkan keinginanmu untuk terus bersama di pantai itu. Tetapi aku takut pada ayahmu.” Kataku dalam hati sambil menikmati udara malam di tengah perjalanan ini.
“Dian sekarang sudah sampai di rumahmu. Ayo turun sudah.”
“Oh iya kak. Aku ketiduran tadi di atas motor.” Maklum sejak naik di atas sepeda motor bersamaku, dia langsung memeluk tubuhku. “Terima kasih kak telah menghantarkan aku pulang.”
Aku melihat raut wajahnya masih kelihatan sedih dan rasa sesal.
“Iya Dian sama-sama. Selamat malam.”
***
Menatap malam meneteskan hujan lewat bibir jendelaku, aku merasa seperti sedang tertikam duri-duri hujan yang lembut walau menyakitkan. Dua bulan dia telah pergi meninggalkan aku seorang diri. Kepergiannya tanpa meninggalkan pesan atau kesan. Apalagi, di antara kami tidak pernah bertengkar atau ada rasa cemburu. Aku tidak tahu alasan apa sehingga dia pergi. Dia pergi dengan membawa banyak kenangan saat kami di pantai itu. Betapa sedihnya hatiku karena kekasihku pergi tanpa memberitahukan terlebih dahulu kekurangan yang ada dalam diriku.
Di malam yang gelap ini, aku tidak pernah membayangkan bahwa dirimu berbuat seperti itu. Saat pertama kali aku menatap mata sampai mengenal dirimu, ada rasa yakin bahwa engkaulah segalanya bagi diriku. Ternyata perkiraanku itu salah. Menghantarmu ketika pulang malam dari pantai itu, aku yakin engkau tidak marah atau ada rasa dendam karena menghalangi keinginanmu untuk berlama-lama di pantai itu. Ternyata itu merupakan perpisahan yang paling menyakitkan. Perpisahan saat engkau melontarkan kata “terima kasih”. Aku pikir kata terima kasihmu merupakan sebagai penghargaan atas sang kekasihmu. Ternyata kata terima kasih itu merupakan kata perpisahan kita malam itu. Kata terakhir perjumpaan kita. Betapa teganya dirimu. Aku tahu engkau anak seorang pengusaha besar dan tidak sebanding dengan diriku anak seorang pelaut yang saban hari selalu di laut. Tetapi aku tidak suka dengan caramu itu.
Malam semakin larut. Angin sesekali mendesah di sela rintik hujan pada atap rumahku. Kudengar di kejauhan ombak masih membelah karang dan hamparan pantai, seolah membelai hati kekasih. Deru ombak adalah sahabat paling setia menemaniku merawat satu dua kisah kenangan akan cinta, mungkin juga rindu yang kian menipis, setipis harapanku pada dirinya. Aku sesekali melihat handphone mungkin ada yang pesan yang masuk. Ternyata kosong dan tombol terkunci selalu tampil di layar depan. Aku diam sejenak dan terus memikirkan kenangan bersamanya di pantai itu. Handphoneku bergetar. Awalnya aku tidak respon. Aku berpikir bahwa tidak mungkin orang masih mengirim pesan larut malam begini. Apalagi sekarang menuju pukul 01.30. Tetapi aku coba melihat mungkin benar bahwa ada pesan masuk.
“Kak, maafkan aku. Bukan maksudku untuk meninggalkan kakak. Tetapi aku sadar bahwa cinta tak selamanya abadi. Kita berdua tahu hati bisa berubah. Setiap orang punya waktu sendiri untuk merenungkan waktu itu. Setelah aku merenungkannya, aku berpikir bahwa hatiku dan hatimu selalu ada celah untuk melepaskan yang ada dan harus rela menerima yang baru walau yang baru itu diterima secara paksa.” Itulah pesan singkat dari Dian. Nomor handphonenya selalu kusimpan walaupun dia tidak pernah memberikan kabar setelah kejadian itu.
Setelah aku membaca pesan singkatnya, aku mencoba untuk berdiam sejenak sambil merenung pesan singkat itu. Sesaat kemudian, handphoneku kembali bergetar dan aku tahu itu pasti Dian karena pesan pertamanya aku belum sempat membalas.
“Kak! Aku yakin, kak mengerti dengan pesan singkat tadi.”
“Maaf Dian, aku tidak mengerti kata-katamu dalam pesan itu. Apa maksud kalimat ‘menerima secara paksa’ dalam pesanmu tadi. Mungkin Dian bisa jelaskan!” Tanyaku padanya saat hatiku terbuka lagi untuknya.
“Kak, setelah kita pulang dari pantai itu, aku dimarahi oleh ayah. Aku menangis ketika ayah mengatakan untuk tidak bertemu dengan kakak lagi. Aku takut pada ayah karena dia sangat keras dan selalu marah apabila aku meminta ijin untuk bertemu kakak.”
“Oohh iya. Tidak apa-apa Dian. Mungkin itu yang terbaik demi masa depanmu nanti. Ayahmu memang sangat mencintai dirimu. Dengarkan dia. Turuti kata-kata ayahmu.”
Perkiraanku memang sangat benar. Selama ini, Dian tidak memberikan kabar karena takut dengan ayahnya. Aku diam sejenak. Suara angin malam terus menghantam jendela kamar tidurku.
“Kak, aku sudah ada tunangan. Besok kami akan menikah. Aku minta kakak juga harus datang untuk mengikuti acara pernikahan kami.”
Baca juga:
“Oh iya Dian. Seandainya besok ada waktu, aku akan pergi.”
Setelah itu aku menutup handphone. Ada rasa sedih dalam hatiku. Kekasih yang pernah hadir dalam hatiku telah dinikahi oleh orang lain. Betapa sedihnya perjalanan hidupku ini. Belum sebulan aku pulih dari rasa sedih ketika ibu pergi meninggalkan aku selamanya, tiba-tiba kekasihku juga pergi meninggalkan aku selamanya dan bahagia bersama orang yang dicintainya. “Ah Tuhan! Teganya mereka meninggalkan aku seorang diri. Mengukir kisah hidup seorang diri. Dengan siapa lagi aku merajut perjalanan hidup ini. Ke mana aku harus pergi.” Kataku dalam hati.
Riko Raden, penulis dan penikmat kopi pahit. Ia tinggal di unit Fransiskus Ledalero.