Tata kelola sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tugas kolektif seluruh elemen masyarakat.
Oleh Wilson M.A. Therik, Redaktur Eksekutif detakpasifikcom
Kota Kupang, sebagai ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, telah berkembang pesat dalam dua dekade terakhir. Pertumbuhan populasi yang meningkat, didorong oleh urbanisasi dan aktivitas ekonomi, membawa konsekuensi serius dalam pengelolaan sampah. Setiap harinya, kota ini menghasilkan sekitar 300 ton sampah domestik dan komersial. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sekitar 70% yang berhasil diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Alak (RRI Kupang, 8/3/2024).
Amatan saya setidak-tidaknya di penghujung tahun 2024, banyak tumpukan sampah di berbagai sudut di Kota Kupang yang tidak diangkut serta menghadirkan bau tidak sedap, sisanya sering kali berakhir di saluran air, pantai, atau area terbuka, menciptakan masalah lingkungan dan kesehatan yang mengkhawatirkan, sebagaimana diberitakan oleh Detak Pasifik (3/1/2025) ada bau yang tidak sedap karena sampah di jalur penghijauan Penfui.
Potret Masalah yang Diabaikan dan Berulang
Masalah utama pengelolaan sampah di Kupang terletak pada dua aspek: minimnya infrastruktur yang memadai dan rendahnya kesadaran masyarakat. TPA Alak, yang menjadi satu-satunya tempat pembuangan sampah di kota ini, telah melampaui kapasitas optimalnya. Pengelolaan di TPA ini masih menggunakan metode open dumping yang tidak ramah lingkungan dan berisiko memicu pencemaran air tanah dan udara.
Di sisi lain, perilaku masyarakat turut memperburuk keadaan. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Kupang menunjukkan bahwa sekitar 40% sampah plastik yang dihasilkan rumah tangga tidak terkelola dengan baik, selain baru 73% wilayah di Kota Kupang yang terlayani pengelolaan persampahan.
Namun realitanya berbeda, di berbagai sudut kota, pemandangan sampah yang berserakan di jalan atau mengalir di selokan menjadi pemandangan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa edukasi terkait pengelolaan sampah masih belum mencapai seluruh lapisan masyarakat.
Sesungguhnya masalah penumpukan sampah di berbagai sudut di Kota Kupang ini bukanlah hal yang baru, sekitar empat tahun yang lalu, Harian Umum Kompas (12/12/2021) pernah memberitakan bagaimana Kota Kupang dikepung sampah namun kejadian yang sama selalu berulang tahun setidak-tidaknya sejak tahun 2021 hingga awal tahun 2025. Seingat saya sekitar 15 tahun yang lalu sempat ada program Pemerintah Kota Kupang yaitu Kupang Green and Clean namun sayangnya program itu kini tidak lagi dilaksanakan.
Belajar dari Kota Lain: Solusi yang Bisa Diterapkan
Berbagai kota di Indonesia telah menunjukkan bahwa permasalahan sampah dapat diatasi dengan pendekatan kolaboratif yang melibatkan semua pihak. Misalnya, Surabaya berhasil mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPA hingga 30% melalui program bank sampah dan insentif untuk memilah sampah (Dinas Kominfo Jawa Timur, 16/12/2023).
Pengalaman saya sebagai warga diaspora Kota Kupang yang menetap di Kota Salatiga di mana Pemerintah Kota Salatiga melalui Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 5 Tahun 2015 setiap lingkungan RT/RW wajib memiliki petugas pemungut sampah yang bertugas memungut/mengangkut sampah di setiap rumah tangga sesuai jadwal yang sudah ditentukan, sampah rumah tangga ini kemudian ditempatkan di Tempat Pembuangan Sementara yang dibangun di lingkungan pada setiap kelurahan lalu diangkut oleh truk sampah dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Salatiga untuk diolah di TPA. Kota Kupang dapat mengambil inspirasi dari pendekatan ini dengan menyesuaikan program berdasarkan karakteristik lokal.
Arah Baru untuk Kota Kupang
Pertama, infrastruktur pengelolaan sampah harus segera ditingkatkan. Pemerintah perlu mempercepat pembangunan fasilitas daur ulang yang modern dan teknologi pengomposan. Dengan memanfaatkan sampah organik, kota ini bisa mengurangi tekanan terhadap TPA sekaligus menciptakan produk bernilai, seperti pupuk kompos.
Kedua, pendidikan lingkungan harus menjadi prioritas. Kampanye intensif yang melibatkan sekolah, organisasi masyarakat, dan media lokal dapat membantu menanamkan kesadaran tentang pentingnya memilah sampah sejak dini. Langkah ini terbukti efektif di banyak kota lain yang menghadapi masalah serupa.
Ketiga, sektor swasta dan komunitas lokal harus dilibatkan secara aktif. Pengembangan bank sampah, usaha pengolahan limbah plastik, atau inovasi pengelolaan sampah lainnya bisa menjadi solusi berbasis masyarakat yang mampu menciptakan peluang ekonomi baru.
Kunci Utama: Komitmen Bersama
Tata kelola sampah bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tugas kolektif seluruh elemen masyarakat. Peraturan daerah yang sudah ada perlu ditegakkan dengan konsisten, tetapi ini harus dibarengi dengan pendekatan yang inklusif dan solutif. Masyarakat harus diajak menjadi bagian dari solusi, bukan hanya objek aturan.
Kota Kupang memiliki potensi besar untuk menjadi contoh keberhasilan pengelolaan sampah di Kawasan Timur Indonesia. Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, impian kota yang bersih, hijau, dan nyaman bukanlah sesuatu yang mustahil. Karena pada akhirnya, tata kelola sampah adalah cerminan bagaimana kita menjaga rumah bersama: Bumi Flobamorata.
Semoga hal ini mendapat perhatian dari Christian Widodo-Serena Francis sebagai Wali Kota Kupang dan Wakil Wali Kota Kupang terpilih untuk periode 2024-2029.