MUI memilih sikap terbaik?
Oleh P. Kons Beo, SVD
Yahya Waloni: Nasibmu kini?
Dan tibalah saat itu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersikap ‘tegas’. Yahya Waloni itu bukanlah seorang ustad. KH Cholid Nafis, selaku Ketua MUI, punya alasan, “Dia belum mengerti soal agama…”.
Di titik ini, Nafis tentu benar. Yahya Waloni, yang berdakwah di sana-sini itu, memang tak bercitra ustad. Yang ditaburkan ke sana-ke mari adalah benih-benih kekacauan. Yahya Waloni telah malang melintang sebegitu bebasnya.
Ceramah-ceramahnya yang banyak ‘tak masuk akal’ telah mengalir deras. Ini belum terhitung style orasinya yang terpaksa mesti banyak ‘melawak’. Iya, karena itu, ia memang belum mengerti soal agama.
‘Belum mengerti soal agama’ adalah kekosongan materi panggung yang mesti diisi. Apalagi bila panggung telah dijubeli masa pendengar. Di situ, terpeleset ke item-item lain jadi tak terhindarkan.
Yakinlah, di situ, Yahya Waloni, dan para penceramah sejenisnya, terpaksa bernyali untuk loncat berzig-zag pada rana sosial politik, keamanan, atau sejarah, atau malah hukum yang ternyata nampak jelas ‘itu bukan bidangnya’.
Tetapi, Yahwa Waloni bukannya tak pandai (cerdik) membaca situasi. Mungkin dengan kesadaran ‘fòdere non vàleo, mendicàre erubésco’ (mencuri aku tak mau, mengemis aku malu), Waloni dan penceramah sejenisnya harus putar otak. Segala siasat mesti diretas. Sebagai jalan menuju keberuntungan nasib.
Lima belas tahun, sejak tahun 2006, berkiprah sebagai mualaf bukanlah waktu yang singkat. Sebenarnya di tenggang waktu lebih dari satu dekade itu Waloni dapat belajar untuk menjadi seorang muslim yang berilmu pengetahuan dan berakhlak serta sehat beriman. Patut diduga, ketimbang banyak waktu untuk belajar menjadi seorang muslim, Waloni lebih banyak habiskan waktu untuk bersuara. Apalagi, ia sudah terlanjur diberi panggung yang tak dikuasainya dalam damai.
Suara-suara kritis telah diarahkan pada gelagat pergerakan Waloni dan penceramah sealiran dengannya. Sungguh kah kebenaran Islam yang diperjuangkannya sebagai tujuan? Agar sesama muslim semakin bersujud dalam iman? Sayangnya, yang terlahir adalah ‘arus agama’ olahan Waloni yang tak lebih sebagai kerangka yang berisikan ‘sumpah serapah, caci maki dan kebencian’.
Atau kah ini sesungguhnya adalah sebatas kepiawaian Waloni cs dalam setingan ‘perdagangan a la barter tak seimbang?’ Artinya ada racikan strategi ‘mempertukarkan nikmatnya virus kebencian dengan mendapatkan keuntungan, katakan material, dan tentu demi kepentingan diri sendiri?
Terlambat kah sikap MUI?
Dan kini? “Yahya Waloni bukanlah seorang ustad…!” Tentu, pernyataan ini tidaklah bersifat tertutup dan titik! Tanpa pertanyaan. Apakah tak patut disesali bahwa pernyataan MUI itu terlalu telat? Bagaimana pun Waloni cs, telah ‘berziarah jauh’ dalam dinamika penyesatannya. Tentu se-Indonesia yang masih waras dalam alam damai cuma berandai ‘sekiranya pernyataan ini sedari awal dimaklumkan.’
Rasanya tak enak juga untuk mengatakan bahwa MUI telah berandil untuk membiarkan sebagian umat dipertebal rasa hati dengan isi ceramah penuh kebencian, tanpa isi dan banyak sandiwaranya. Andaikan MUI sekian sensitif akan kerawanan yang mengancam spirit wawasan nusantara, Bhinneka Tunggal Ika atau kerukunan hidup antar umat beragama, pastilah bingkai dan isi ceramah seperti itu telah ‘dibekukan’. Atau kah bahwa MUI sebenarnya hendak ‘membiarkan’ adanya kebebasan penuh bagi para penceramah aba-abal, sekelas Waloni cs, demi tetap terpintalnya tali-temali persatuan umat walau atas dasar kebencian terhadap ‘musuh imaginer?’
Sikap MUI, sebelumnya, berbanding terbalik, dan memang harus demikian, saat Muhammad Kace tampil dengan isi ceramahnya yang ‘sungguh mengundang amarah murka’. Di situ ada apresiasi akan gesitnya Polri menciduk Kace.
Ada pula harapan agar prinsip ‘equality before the law’ mesti diseriusi. Dan lagi, ada alarm tegas bahwa kalau Kace tak ditangkap akan muncul kemarahan dari umat. Setidaknya itulah disuarakan oleh Waksekjen Bidang Hukum dan HAM MUI, Ikhsan Abdullah dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwah MUI Pusat, Abdul Muiz Ali.
Tetapi, apakah tertangkapnya Kace adalah harga mahal yang harus dibayar MUI dengan ‘merelakan’ Waloni untuk sepatutnya diciduk pula? Artinya tanpa bantuan ‘perlindungan’ MUI seperti yang diperjuangkan demi Ustad Abdul Somad?
Adu opini tak terhindarkan
Hari-hari setelah Kace dan Waloni jadi pesakitan di Bareskrim Polri, perang tanya jawab tak terhindarkan! Iya, itu tadi, ‘Yahya Waloni bukanlah Ustad’ bukanlah berita gembira untuk disambut segera. Tapi ini malah menjadi pernyataan yang ditanggapi penuh sangsi. Masa sih, lembaga agama sedahsyat MUI ‘pada akhirnya, setelah kurun waktu yang sekian lama’ baru tersadar bahwa seorang Yahya Waloni sebenarnya bukanlah seorang ustad? Atau kah mesti dibangkitkan satu pikiran negatif dengan pertanyaan: Apakah ada intensi terselubung MUI tak menyatakannya sejak awal? Karena toh tempiasnya suara Waloni Cs sungguh-sungguh adalah benih keretakan hidup bersama dalam kedaulatan NKRI.
Cholid Nafis, Ketua MUI, pada titiknya harus mengatakan, “Buang waktu untuk tanggapi ini…”
Memang jauh sebelumnya, Cholil Nafis akui MUI tak punya kuasa untuk melarang penceramah dan alur kegiatan berceramah. Semuanya tak bisa dibatasi. Berlangsung sendiri. Bikin acara sendiri dan terserah entah siapa yang diundang. Di sinilah celah ‘bebas hambatan’ bagi Waloni cs untuk kuasai panggung dengan segala irama tampilannya. Nah, siapa mau larang siapa?
Untuk kisah Waloni dan Kace untuk sementara fragmennya berhenti di sini. Tentu dinantikan bagaimana episode endingnya. Bagaimana pun barisan sejenis dan sesuara Waloni dan Kace kini masih tetap kuasai panggung dengan modal ‘itu-itu saja’ untuk menjadi penceramah. Perlu diwaspadai bahwa menjaga ‘kawanan domba’ tidak selamanya harus membentengi kandang domba dengan ‘tembok-tembok tinggi dengan pasukan lengkap bersenjata’.
Tetapi bahwa adanya satu kewaspadaan internal itulah yang patut diawasi. Karena penyesatan bisa terlahir pula di ‘dalam dan oleh orang dalam tetapi dengan licik memakai tema tentang orang luar’.
“Menurut ustad apa hukumnya…”?
Tetapi di balik tampilnya penceramah agama ‘minim pengetahuan’ yang sekian berani itu, sebenarnya ada sumbangan yang datang dari pendengar sendiri. Tidak kah sering muncul pertanyaan dalam satu kerangka baku: Menurut ustad, apa hukumnya jika…? Syukurlah bila sang penceramah miliki wawasan keagamaan berkelas.
Demi memberikan jawaban dengan benar serentak bijak. Saat sang penceramah sadar bahwa jawabannya memiliki konsekuensi tidak saja bagi hidup pribadi umatnya. Tetapi jawabannya miliki juga dampaknya bagi umatnya dalam perjumpaan dengan sesama. Sayangnya, jika sang penceramah sekian tipis wawasannya dalam agama. Bukan kah ia akan cepat menjawab sebatas: haram, kafir atau pun najis seturut tipis dan minimnya pengetahuannya di dalam agama?
Kerja sama antar lembaga agama: Mungkin kah?
Tetapi, akhirnya, tak boleh sebatas Waloni. Kita kini hanya membayangkan bahwa pada saatnya akan ada suara dari MUI yang menyatakan, bahwa ‘setelah mendalami seperlunya dengan pihak lembaga gereja (Katolik-Protestan) maka disampaikan bahwa Steven Indra Wibowo (ketua mualaf center) tidak pernah menjadi anggota Ordo Jesuit dan yang bersangkutan tidak pernah ditahbiskan di Vatikan dan pernah bertugas di Katedral Jakarta; bahwa Bangun Samudra tidak pernah tercatat sebagai mahasiswa lulusan S3 terbaik Vatikan; bahwa Irene Handono tak pernah tercatat (dulu) sebagai seorang biarawati… dan seterusnya.
Dan semuanya bukan ustad atau ustazah karena mereka tidak mengerti tentang agama…’ Dan bahwa Abdul Somad sebagai ustad telah sekian naif untuk mengatakan: Di dalam salib ada jin kafir!
Tetapi apakah semua ini hanyalah mimpi di siang bolong dan hanya sebatas ‘cari kerja tak berguna dan hanya membuang-buang waktu?’ Entahlah. Tetapi yang pasti tak cuma NKRI harga mati, hidup dalam damai, rasa persatuan dan saling menghargai harus pula menjadi harga mati. Tak boleh menjurus ke kematian harga. Bukan kah demikian?
Verbo Dei Amorem Spiranti