Makan Gratis, Risiko Mahal: Janji Manis atau Beban Finansial?

Kabinet Merah Putih yang “gemuk” ini seharusnya menjadi alat perubahan melalui berbagai program prioritas, salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, sayangnya, program ini tampak lebih sebagai pemenuhan janji kampanye daripada sebuah kebijakan yang berbasis studi kelayakan mendalam.

Dr. Wilson M.A Therik (dok.detak-pasifik)

Oleh: Dr. Wilson M.A. Therik, Redaktur Eksekutif detak-pasifik.com

Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming telah melewati lebih dari seratus hari dalam masa kepemimpinannya. Melihat cara mereka bekerja, saya akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan golongan putih (golput) dalam setiap pemilihan umum nasional hingga muncul calon pemimpin yang benar-benar sudah selesai dengan dirinya dan keluarganya. Tulisan ini bukan untuk mengajak masyarakat menjadi golput, melainkan untuk membuka wacana bahwa memilih untuk tidak memilih juga bisa menjadi sikap politik guna mendorong perbaikan kualitas demokrasi demi Indonesia Emas 2045, bukan Indonesia Cemas apalagi Indonesia Gelap.

Kabinet Gemuk dan Makan Bergizi Gratis (MBG)

Kabinet Merah Putih yang “gemuk” ini seharusnya menjadi alat perubahan melalui berbagai program prioritas, salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, sayangnya, program ini tampak lebih sebagai pemenuhan janji kampanye daripada sebuah kebijakan yang berbasis studi kelayakan mendalam. Dalam seratus hari pertama, pelaksanaan program ini menunjukkan berbagai hambatan yang mengindikasikan minimnya perencanaan yang matang.

Berdasarkan Pasal 31 UUD 1945, tugas negara adalah menyelenggarakan pendidikan, artinya tugas negara adalah menyediakan pendidikan gratis/sekolah gratis sementara makan gratis adalah tanggung jawab orang tua, kecuali bagi fakir miskin dan anak terlantar sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 UUD 1945 merupakan tanggungjawab negara. Namun, karena MBG merupakan janji politik, pemerintah berupaya menjalankannya meski dibayangi banyak pertanyaan kritis. Tantangan utama program ini meliputi efektivitas implementasi, keberlanjutan, transparansi anggaran, dan model distribusi makanan. Uji coba di beberapa daerah juga menunjukkan hasil yang tidak selalu positif, misalnya di Papua, di mana peserta didik justru menolak program ini (Kompas, 23/2/2025).

Klik dan baca juga:  Mengurai Problema Pendidikan Kita

Seandainya program MBG dirancang dengan studi kelayakan yang komprehensif dan melibatkan akademisi lintas disiplin dari perguruan tinggi, kebijakan ini bisa lebih tepat sasaran. Tidak semua peserta didik membutuhkan makan gratis. Program ini bisa lebih hemat dan efisien dengan memberdayakan dapur masyarakat, melibatkan tenaga medis dari puskesmas untuk memastikan standar gizi dan kebersihan, serta tanpa perlu membentuk lembaga baru dengan skema tender yang berpotensi meningkatkan biaya. Selain itu, unsur local wisdom dan local knowledge juga harus diperhitungkan dalam implementasinya.

Klik dan baca juga:  Humanisme dan Implikasinya dalam Pendidikan

Target penerima MBG mencapai 89,2 juta jiwa, dengan estimasi anggaran sekitar Rp1,2 triliun per hari atau sekitar Rp400 triliun per tahun (Bisnis.com, 9/10/2024). Pertanyaan mendasarnya: dari mana sumber dananya? Apakah dari Danantara? Jika memang pemerintah serius, seharusnya anggaran ini diambil dari pemangkasan tunjangan pejabat negara, bukan dari pemotongan belanja masyarakat melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja APBN dan APBD.

Danantara: Investasi atau Risiko?

Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang diluncurkan pada 24 Februari 2025 mendapat respons negatif di pasar saham. Mayoritas saham yang dikelola Danantara mengalami penurunan signifikan, mencerminkan keraguan investor terhadap manajemen lembaga ini, terutama karena adanya potensi konflik kepentingan dengan masuknya dua mantan presiden—Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo—sebagai dewan penasihat, serta mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair sebagai dewan pengawas.

Tanpa bermaksud bersikap pesimis, masyarakat perlu waspada dan mempersiapkan mitigasi risiko sejak dini, terutama bagi mereka yang memiliki tabungan di bank milik negara atau investasi di BUMN yang asetnya dikelola Danantara. Rekam jejak tata kelola lembaga keuangan di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari korupsi. Semoga Danantara tidak bernasib seperti 1MDB di Malaysia. Salah satu langkah mitigasi yang dapat dilakukan masyarakat adalah dengan mengalihkan tabungan ke bank swasta dengan reputasi baik atau memilih koperasi simpan pinjam yang terpercaya, daripada harus kehilangan uang akibat skandal keuangan atau kebangkrutan.

Klik dan baca juga:  Paradoks Labuan Bajo dan Takdir Rakyat Manggarai Barat

Harapan atau Ilusi?

Program makan gratis yang terlihat bombastis dan investasi besar-besaran melalui Danantara tampaknya lebih menimbulkan pertanyaan daripada memberikan solusi nyata. Jika kebijakan ini tidak didasarkan pada perencanaan matang dan transparansi tinggi, maka janji-janji kampanye hanya akan menjadi beban finansial berkepanjangan bagi masyarakat. Alih-alih membangun Indonesia Emas 2045, kita justru berisiko melangkah menuju Indonesia dengan masa depan yang tak menentu.*