Malam Mencekam di Kupang, Kisah Badai Siklon Seroja yang Mengguncang Hati

Listrik padam, dan jaringan internet pun ikut terputus. Semua merasa gelisah. Pikiran saya terus tertuju pada orang-orang yang saya tinggalkan di rumah. Di luar, angin terdengar seperti raksasa yang sedang mengamuk, membenturkan segala yang ada di jalannya.

Dokumen Antara.

Oleh Juan Pesau

Pagi itu, seperti biasa, saya memanaskan mesin motor untuk mengantar teman ke tempat kerjanya. Hari itu, 5 April 2021. Sekira pukul delapan pagi saya harus mengantarnya ke Rumah Sakit SK Lerik, Kota Kupang. Cuaca terlihat baik-baik saja. Meskipun hujan rintik-rintik turun sekali-kali. Langit cerah, ditambah hembusan angin sepoi-sepoi, membuat dedaunan pohon terlihat seperti sedang menari elok gemulai, bak penari cantik di bar-bar kafe yang dengan sengaja menonjolkan sedikit urat, menjerat lelaki yang duduk di pojokan, meneguk anggur, menghibur batinnya yang mungkin sedang luka lara. Aww..ini apaan..mulai ngelantur!

Namun, perjalanan itu tidak berlangsung mulus. Hujan mulai turun dengan intensitas yang lebih deras. Dengan mantel seadanya, saya melawan hujan. Tetapi, begitu setengah perjalanan, hujan berubah menjadi lebat disertai angin kencang yang menyerang tanpa ampun.

Jalan yang biasanya saya lewati dari Pulau Indah menuju Hotel Sasando ternyata terendam air. Tidak ada kendaraan roda dua yang bisa lewat. Tanpa banyak pilihan, saya memutar arah, mencari jalan lain. Di tengah hujan yang semakin deras dan angin yang menggulung, saya berjuang keras menahan motor agar tidak terjatuh. Setiap kali angin kencang menyapu, saya harus memegang stang motor lebih erat.

Dengan hati yang gelisah, kami tetap memaksakan diri hingga akhirnya tiba di RS SK Lerik. Begitu teman saya masuk ke dalam ruangan kerjanya, hujan dan angin sedikit mereda. Saya pamit dan meninggalkan rumah sakit, berharap cuaca tidak akan semakin buruk.

Klik dan baca juga:  Andry Garu: NTT Butuh Orang Peduli

Namun, hanya beberapa jam kemudian, telepon saya berbunyi. Teman saya meminta dijemput. “Tolong jemput, kami semua diminta pulang lebih cepat karena kemungkinan angin kencang akan datang lagi,” ujarnya. Saya segera bergegas menuju rumah sakit, cuaca tetap tenang, dan saya merasa kekhawatiran itu berlebihan. Saya tidak menyangka apa yang akan datang selanjutnya.

Saat sore hari, sekitar pukul 16.00 WITA, telepon saya kembali berbunyi. Kali ini, panggilan datang dari Om Pius Rengka, pimpinan umum media detak-pasifik.com saat itu. “Ayo ke markas Detak Pasifik, kita garap berita di kantor,” ajaknya dari balik telepon. Sebagai pimpinan redaksi saat itu, saya menyanggupi dan segera menyiapkan diri. Bersama Irfan Budiman, redaktur pelaksana Detak Pasifik, kami menuju markas yang terletak di Jalan Antarnusa, Liliba, Kota Kupang. Kantor itu berada di rumah Om Pius, tepatnya di lantai dua rumahnya.

Sampai di sana, kami berbincang tentang agenda liputan dan potensi hujan badai yang bisa datang. Tak lama berselang, hujan turun dengan sangat lebat. Angin bertambah kencang, dan badai pun datang. Kami bertiga tertegun, tidak bisa berbuat apa-apa. Di luar, angin menderu, menerjang pohon-pohon. Ia seperti ingin mengoyak apa saja yang dilaluinya. Kami hanya bisa terdiam, merasakan kecemasan mendalam.

Klik dan baca juga:  Komunitas Tritunggal Mahakudus Berbagi Kasih dengan Masyarakat Kota Kupang yang Terdampak Badai Seroja

Listrik padam, dan jaringan internet pun ikut terputus. Semua merasa gelisah. Pikiran saya terus tertuju pada orang-orang yang saya tinggalkan di rumah. Di luar, angin terdengar seperti raksasa yang sedang mengamuk, membenturkan segala yang ada di jalannya. Saya merasa terjebak, tidak bisa pulang. Hati saya hanya bisa pasrah, sembari berdoa dalam hati meskipun biasanya saya jarang melakukan itu. Saya berharap badai ini segera berlalu.

Badai itu berlanjut hingga tengah malam. Bunyi pepohonan yang tumbang dan kaca jendela yang pecah terdengar dari luar. Kecemasan semakin melanda, namun kami tidak berani keluar untuk memeriksa. Suasana semakin mencekam, dan kami bertiga hanya berusaha menenangkan diri dengan berbagai cara. Irfan mencoba meredakan ketegangan dengan memberi penjelasan bahwa suara pecahan kaca mungkin hanya ulah kucing yang tak sengaja menabrak sesuatu. Padahal, kami tahu betul bahwa di rumah Om Pius tidak ada kucing.

Malam itu terasa begitu panjang. Kami terjaga hingga dini hari, sementara badai masih mengguncang. Pikiran saya hanya tertuju pada orang-orang di rumah. Saya yakin mereka juga ketakutan, merasakan kegelisahan yang sama seperti yang saya rasakan. Saya ingin segera kembali. Tetapi, kondisi di luar begitu mengerikan, dan saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Akhirnya, pukul 06.00 pagi, badai itu mulai mereda. Kami turun ke lantai bawah, dan di sana, kaca jendela yang pecah terlihat jelas. Air masuk melalui celah-celah yang ada, menggenangi ruangan. Di luar, pohon-pohon tumbang, menghalangi jalan-jalan. Saya segera pulang, namun perjalanan kali ini jauh lebih sulit. Biasanya, hanya butuh tujuh menit untuk sampai ke rumah Om Pius, tetapi pagi itu saya harus berkeliling dan memutar arah beberapa kali.

Klik dan baca juga:  Rumah Baru Bagi Korban Badai Seroja di Kota Kupang Mulai Dikerjakan

Pohon-pohon tumbang dan kabel listrik yang putus menghalangi jalan. Di sepanjang jalan, saya melihat pemandangan yang memilukan: rumah-rumah yang beratap seng kini roboh, hancur diterpa angin. Puluhan rumah penduduk porak-poranda. Setelahnya, di banyak surat kabar juga menyiarkan jika bencana itu memakan korban jiwa.

Badai siklon Seroja yang melanda Kupang pada malam itu meninggalkan kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Bencana itu mengguncang bukan hanya fisik, tetapi juga batin setiap orang yang mengalaminya. Kini, empat tahun berlalu, dan Kota Kupang kembali memasuki musim penghujan, disertai angin yang kadang begitu kencang. Semoga bencana seperti itu tidak akan terulang lagi. Mari kita bersama-sama berdoa, berharap agar alam tetap memberi kita kedamaian dan keselamatan.