Mantan Kapolres Ngada: Simbol Tragedi Hukum dan Kehancuran Moral

IMG 20250319 WA0001
Dokpri

Oleh Dedi Dariston Bistolen, Alumni Prodi S2 Ilmu Hukum Universitas Negeri Surakarta

Socrates pernah berkata, “Lihatlah dirimu, seorang jenderal yang tak tahu apa itu cinta, seorang pendeta yang tak bisa menerangkan kepadaku apa itu kesalehan, seorang orang tua yang tidak tahu apa itu kasih sayang.” Kutipan ini menggambarkan betapa mengerikannya ketika seseorang yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru melanggarnya dengan cara yang paling hina.

Kasus kekerasan seksual yang dilakukan mantan Kapolres Ngada adalah tragedi yang tidak boleh ditoleransi, apalagi dilakukan aparat penegak hukum. Kejahatan ini telah menjadi perbincangan luas tanpa batas usia dan sekat budaya. Ini bukan sekadar penyimpangan, tetapi pukulan telak terhadap integritas institusi kepolisian dan kepercayaan publik terhadap hukum.

Negara dan Ketakutan Massal

Degradasi moral yang diperlihatkan Kapolres Ngada menimbulkan pertanyaan reflektif: Negara macam apa ini? Indonesia, tanah tempat kita lahir, hidup, dan mati, kini telah menjadi medan ketakutan yang masif bagi anak-anak. Ketika seorang aparat hukum yang paham tentang aturan justru melanggarnya dengan tindakan biadab, kita patut bertanya: apakah ia benar-benar seorang intelektual atau hanya manusia liar yang berkedok aparat?.

DETAK PASIFIK GUBERNUR NTT 1

Kepolisian seharusnya menjunjung tinggi prinsip melindungi, mengayomi, dan melayani, bukan malah menjadi perwujudan tiga hal mengerikan: memperbudak, melampiaskan hawa nafsu, dan menjual hasil kejahatan seksual terhadap anak. Ini bukan lagi soal kebutuhan manusia sebagaimana dikatakan Mahatma Gandhi (every man’s need), tetapi telah berubah menjadi keserakahan manusia (every man’s greed) akibat lumpuhnya pengendalian diri dan absennya moralitas.

Kehancuran Martabat dan Hak Asasi Anak

Tindakan biadab ini merendahkan harkat dan martabat anak-anak, seolah mereka hanya sekadar objek tanpa nilai kemanusiaan. Padahal, menurut konsep skolastik Das Bild Gottes, setiap anak memiliki martabat dan nilai kemanusiaan yang melekat dalam dirinya sebagai citra Ilahi. Maka, hak mereka tidak boleh dipermainkan atau dihancurkan oleh nafsu predator seperti ini.

IMG 20250219 WA0020

Tragedi ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang diatur dalam berbagai regulasi, termasuk:

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang melarang kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap anak, serta eksploitasi seksual dalam bentuk apapun.

2. Pasal 82 ayat (1) UU Perlindungan Anak, yang mengatur pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dengan ancaman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara serta denda hingga Rp5 miliar.

3. Undang-Undang ITE Nomor 1 Tahun 2024, yang mengatur sanksi bagi penyebaran konten eksploitasi seksual.

Kegagalan Menjaga Kaidah Publik dan Etika Hukum

Hukum adalah kaidah publik yang bertujuan menjaga keadilan dan kesejahteraan bersama (bonum commune). Namun, kasus ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan terhadap kekuasaan. Seperti yang dikatakan Lord Acton, “Power tends to corrupt,” kekuasaan cenderung disalahgunakan ketika tidak ada kontrol dan moralitas yang kuat.

Gagal mempertahankan kaidah publik berarti mengabaikan prinsip official virtutis—etika tugas yang mengharuskan aparat penegak hukum bertindak berdasarkan niat baik. Tanpa kesadaran akan keluhuran tugas, hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang berkuasa, bukan sebagai pelindung bagi masyarakat.

Untuk menghadapi “makhluk liar” seperti ini, negara harus bertindak tegas. Tidak boleh ada kompromi. Hukuman maksimal harus dijatuhkan, tanpa celah bagi pelaku untuk lolos dari jerat hukum. Selain itu, restitusi bagi korban harus dioptimalkan sesuai dengan amanat undang-undang.

Seperti pepatah Afghanistan mengatakan, “Kebenaran laksana matahari; tatkala ia muncul, tak ada yang dapat menghalanginya.” Demikian pula, keadilan harus ditegakkan tanpa ragu, agar kejahatan seperti ini tidak lagi terjadi di negeri ini.