Masa Depan Literasi Ada pada Komunitas Literasi

whatsapp image 2021 05 29 at 21.15.47
Suasana webinar dengan tema Literasi di Manggarai Berada di Persimpangan Jalan oleh Lima Pilar Foundation, Sabtu (29/5/2021).

detakpasifik.com Kerja membangun literasi yang baik harus dikeroyok banyak pihak. Bukan monopoli pemerintah atau pemerintah daerah. Jangan remehkan komunitas literasi. Mereka adalah ujung tombak yang harus didukung. Dukungan terhadap mereka harus konkret. Rangkul mereka dan biarkan komunitas-komunitas itu berjalan.

Ini harapan dari webinar yang dilaksanakan oleh Lima Pilar Foundation, pada Sabtu (29/5) yang mengambil tema, ‘Literasi di Manggarai, Berada di Persimpangan Jalan’.

Webinar tersebut menghadirkan 150 peserta dan 4 narasumber, yakni Dr Mantovany Tapung (Unika St Paulus Ruteng), Dr Frans Asisi Datang (UI), Tarsi Gantura, M.Pd (Pegiat literasi di Jakarta) dan Mikael Ambong (Pengelola Taman Baca Jari-Jari Kasih, Ruteng). Webinar ini dipandu oleh Sixtus Harson, wartawan UcaNews sekaligus founder Lima Pilar Foundation.

Mantovany dalam kesempatan itu mengatakan, komunitas literasi tidak muncul begitu saja. Di sana pasti ada kegelisahan dan keresahan untuk berbuat sesuatu atas kenyataan yang dilihat. Komunitas muncul sebagai respons terhadap kondisi rendahnya kualitas literasi. Mereka bagian dari Gerakan Literasi Nasional (GLN).

Namun, ada ancaman terhadap hadirnya komunitas ini karena ketergantungan pada pihak lain (sumber dana dan kontribusi lain), mudah putus asa karena merasa ‘kami tidak didukung’, minimnya inovasi dan kreatifitas, tidak memiliki alat ukur capaian dan melaksanakan kegiatan yang sekedar menyenangkan diri sendiri.

Klik dan baca juga:  Membangun Manusia Pembangun di Desa Kaeneno TTS

Pengelola Taman Baca Jari-Jari Kasih, Ruteng, Mikael Ambong mengatakan, tujuan awal, komitmen dan keaslian gerakan harus menjadi spirit dalam setiap kegiatan. Apa pun pasti ada tantangan dan kesulitan. Tidak ada yang mudah.

“Komunitas Jari-jari Kasih tidak punya apa-apa dari awal sampai sekarang. Tapi saya mobilisasi semua jaringan saya di Jakarta untuk bersama-sama membangun dan mengembangkan literasi di tanah Manggarai ini. Beberapa sekolah di Jakarta menjadi mitra komunitas ini. Mereka mengirim buku-buku, tas, seragam dan lainnya. Saya membagikan semua itu secara gratis dengan anak-anak sekolah di sini. Anak-anak datang baca dan manfaatkan wifi gratis yang kita punya. Mereka senang, kita bahagia,” kisah Mikael.

Karena itu, menurut Mikael, kekuatan komunitas bukan pada modal finansial, tapi modal sosial yakni jejaring. Jejaring ini harus dioptimalkan.

“Saya percaya, setiap gerakan yang baik akan mendapatkan dukungan dari banyak pihak, siapa pun itu,” ujar pendiri Fidei Press ini.

Klik dan baca juga:  Kabar Duka, Musisi Legendaris Daniel Anduk Tutup Usia
whatsapp image 2021 05 29 at 21.15.47 (1)
Screenshot saat webinar berlangsung.

Namun, Mikael mengingatkan pentingnya ketersediaan buku yang sesuai dengan level usia dan kenginan anak.

“Di sini ada banyak buku. Kita biarkan anak-anak untuk memilih sesuai dengan keinginan anak. Jangan paksa anak untuk membaca buku yang kita suka. Dia harus membaca yang dia suka. Yang paling penting adalah membangun kebiasaan membaca. Orangtua atau guru boleh datang menemani,” tegas Mikael.

Karena pentingnya literasi baca ini, Tarsi sangat mengharapkan agar sekolah-sekolah juga dapat mengikuti pola yang dibangun oleh komunitas.

Dalam pandangan Tarsi, sekolah saat ini bukan lagi tempat yang asyik untuk membaca. Anak-anak hampir tidak punya waktu sedikit pun untuk membaca di sekolah. Kurikulumnya tidak memberikan ruang itu. Mereka dijejali pelajaran dari pagi sampai siang. Sekolah tidak punya waktu khusus untuk membaca. Perpustakaan hanya untuk menumpuk buku pelajaran. Hampir tidak ada buku cerita di sana.

Karena itu, menurut Tarsi, sekolah-sekolah harus mendesain waktu khusus untuk membantu membangun kebiasaan membaca anak, sebagaimana kebiasaan di komunitas. Buku-buku cerita anak harus diadakan oleh sekolah-sekolah dan buku tersebut sesuai dengan konteks sosial-ekonomi anak.

Klik dan baca juga:  Manggarai, Nama yang Terpatri di Sanubari

“Buku-buku anak Jakarta atau Jawa secara umum tidak sesuai dengan anak-anak yang ada di Indonesia Timur. Kontekstualisasinya tidak masuk dalam pikiran dan imajinasi anak,” ujar Tarsi.

Itu artinya, lanjut Tarsi, keinginan dan harapan akan literasi yang memadai menuntut kebijakan yang baik dari sekolah dan pemerintah atau pemda dan pengelola sekolah.

Keberpihakan anggaran atau alokasi keuangan untuk pengadaan buku yang sesuai menjadi kebutuhan. Jangan bicara literasi kalau kebijakan anggaran tidak pernah pro kepada anak-anak atau komunitas literasi. Itu hanya slogan politik yang hanya berbuih sesaat. Mengutip Paulo Coelho, novelis Brasil itu, Tarsi mengatakan ketika mau melakukan sesuatu, jangan lupa membawa cinta.* (dp)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *