Isu yang harus menjadi perhatian dalam kaitan dengan pembangunan khususnya pembangunan sektor pariwisata di TNK adalah bukan terletak pada ada tidaknya dampak negatif terhadap kebijakan yang diambil saat ini, tapi seharusnya terletak pada imbangan antara “dampak positif” dan “dampak negatif” yang timbul akibat dari kebijakan yang dimaksud.
Oleh Fred Benu
Experimentalist Valuing Environment (EVE)
Akhir-akhir ini kita dihadapkan dengan polemik berita soal Taman Nasional Komodo (TNK), seiring dengan kebijakan baru yang diambil pemerintah terkait pembatasan jumlah pengunjung dan kenaikan tarif masuk TNK. Kita akan memulai membahas isu ini dengan membangun pemahaman bersama bahwa tidak ada satu pun upaya atau pendekatan pembangunan yang tidak memiliki dampak.
Apalagi pembangunan itu dikaitkan langsung dengan keberadaan lingkungan, baik itu lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan lainnya. Dampak yang dimaksud di sini bukan hanya dampak ”negatif” semata, tapi juga dampak “positif”.
Jadi isu yang harus menjadi perhatian dalam kaitan dengan pembangunan khususnya pembangunan sektor pariwisata di TNK adalah bukan terletak pada ada tidaknya dampak negatif terhadap kebijakan yang diambil saat ini, tapi seharusnya terletak pada imbangan antara “dampak positif” dan “dampak negatif” yang timbul akibat dari kebijakan yang dimaksud.
Pertimbangan soal imbangan inilah, makanya di Indonesia dikenal istilah “Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)” sebagai terjemahan dari konsep “Environmental Impact Analysis”. Amdal sendiri telah dilaksanakan di Indonesia sejak 1982 dan dasar hukum AMDAL di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang “Izin Lingkungan Hidup” yang merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang AMDAL.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha. Hasil analisis AMDAL nantinya dipakai dalam pengambilan keputusan tentang suatu tindakan yang dikenakan pada lingkungan dengan mempertimbangkan “dampak positif besar dan penting” sebagai imbangan terhadap “dampak negatif besar dan penting”. Penilaian “imbangan” antara positif dan negatif ini yang kemudian akan menentukan keputusan go atau no-go terhadap kebijakan.
Penjelasan di atas menuntun pada pemahaman bahwa kebijakan yang diambil saat ini melalui apa yang disebut sebagai “Experimentalist Valuing Environment (EVE)” ke Pulau Komodo tentunya telah mempertimbangkan kalkulasi delta imbangan antara “dampak positif besar dan penting” terhadap “dampak negatif besar dan penting”.
Jadi secara ilmiah, justifikasi terhadap kebijakan EVE tidak bisa hanya dinilai dari sisi negatif semata, tapi harus dinilai dari hasil perbandingan antara sisi negatif dan sisi positif yang ditimbulkan. Dan penilaian (valuing) ini yang telah dilakukan dalam kajian komprehensif awal oleh konsultan ahli dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik untuk menganalisis atau mengintegrasikan kebijakan dan skenario dalam Daya Dukung dan Daya Tampung TNK, dengan menggunakan pendekatan Holistic, Integrative, Thematic and Spatial (HITS).
Sebelum model yang dibangun digunakan, maka terlebih dahulu dilakukan berturut-turut: (i) Identifikasi Model, dimana pada pengembangan teknis, diagram sebab akibat, akan digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir Stock Flow Diagram (SFD) yang disimulasikan dengan menggunakan program powersim studio 10; (ii) Simulasi Model, dimana proses simulasi ini digunakan untuk melihat pola kecenderungan perilaku model; dan (iii) Validasi Model, dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan, yaitu: Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan antara mean hasil simulasi terhadap nilai aktual, dan Absolute Variation Error (AVE) adalah penyimpangan variance simulasi terhadap aktual.
Di samping itu kajian awal juga telah memperhitungkan “Daya Dukung Berbasis Jasa Ekosistem (DDJE)” untuk menilai manfaat yang diperoleh oleh manusia dari berbagai sumber daya dan proses alam yang secara bersama diberikan oleh suatu ekosistem (MEA 2005).
Penilaian DDJE ini melakukan perhitungan terhadap index komposit jasa ekosistem ini merupakan dasar dari penentuan arahan pengelolaan suatu wilayah (unit administrasi atau DTW) agar sesuai dengan kondisi layanan ekosistemnya.
Pendekatan metode seperti dijelaskan di ataslah yang melahirkan besaran nilai EVE, dan prinsip dasar yang digunakan dalam melakukan kajian ilmiah yang komprehensif ini bukan pada aspek “komersialisasi” tapi pada aspek “konservasi”. Bahwa karena alasan konservasi kemudian muncul aspek komersil adalah benar. Tapi komersil untuk tujuan konservasi tidak harus diartikan “komersialisasi”. Mari kita bahas masalah ini lebih lanjut dalam konsep “tragedy of the common”.
The tragedy of the common
Saya pernah melakukan kajian pariwisata di Taman Nasional Komodo tahun 2020, dan hasil kajiannya dimuat di jurnal internasional bereputasi dengan judul: “Community Participation and Sustainable Tourism Development Model in the Komodo National Park” –https://doi.org/10.14505/jemt.v11.2(42).03. Salah satu isu yang diangkat dalam kajian dimaksud adalah isu tentang “the tragedy of the common”. Dan kajian dimaksud menunjukkan adanya indikasi “tragedy of the common” pada pengelolaan TNK.
Konsep tentang “the tragedy of the common” diperkenalkan oleh by Hardin –seorang profesor emeritus dari the University of California, Santa Barbara (1968) Chappelow (2019) memberikan definisi tentang isu ini sebagai berikut:
“An economic problem in which every individual has an incentive to consume a resource at the expense of every other individual with no way to exclude anyone from consuming. It results in overconsumption, under investment, and ultimately depletion of the resource”.
Maksudnya bahwa oleh karena permintaan akan sumber daya cenderung melebihi suplainya, maka setiap individu yang mengkonsumsi tambahan satu unit sumber daya secara langsung akan meniadakan (mengurangi) kesempatan bagi orang lain untuk juga sama menikmati sumber daya dimaksud. Oleh karena itu sebuah entitas (individu atau kelompok atau otoritas) yang memiliki hak untuk pengelolaan suatu property akan bertanggung jawab untuk menjaga property dimaksud.
Seorang petani yang memiliki hak atas padang penggembalaan, akan mempertimbangkan agar jumlah ternak yang dipelihara tidak melebihi carrying capacity dari padang penggembalaannya. Sebaliknya jika tidak ada entitas yang memiliki hak atas padang penggembalaan, maka tidak akan ada pihak yang bertanggung jawab terhadap property ini untuk mengaturnya, sehingga akan muncul masalah invasi gulma terhadap padang penggembalaan, erosi lahan, degradasi mutu ternak, dsb.
Sama halnya fenomena yang saat ini umum terjadi di sektor irigasi pertanian. Jika sumber daya air yang melimpah pada sektor pertanian tersedia secara bebas (free of charge), dan tidak ada pihak yang merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk pengelolaannya, maka sektor pertanian, khususnya pertanian sawah akan selalu menggunakan air secara tidak bertanggung jawab, dan cenderung akan merusak sumber daya air yang ada.
Oleh karena itu, keberadaan suatu sumber daya lingkungan termasuk TNK perlu ada pihak yang memiliki otoritas -dalam hal ini pemerintah untuk mengelolanya secara bertanggung jawab dengan memberikan “harga” (pricing) terhadap sumber daya alam sesuai dengan daya dukung jasa ekosistem dan carrying capacity yang dimiliki.
Atas dasar pertimbangan ini, maka telah dilakukan proses penilaian (valuing) terhadap jasa ekosistem TNK, dengan metode sebagaimana dijelaskan di atas dan bermuara pada kebijakan Experimentalist Valuing Environment (EVE).
Jika kita pertimbangan bahwa TNK, khususnya Pulau Komodo adalah sumber daya alam yang cenderung diperlakukan sebagai suatu common access property dengan kecenderungan dapat diakses oleh setiap orang pada setiap waktu, tanpa ada pengaturan tentang pembatasan pengunjung sesuai dengan carrying capacity dan pricing terhadap jasa lingkungan yang cenderung lebih rendah dari jasa lingkungan yang diberikan, maka bukan tidak mungkin bahwa akan terjadi kehancuran sumber daya alam ini di masa yang akan datang.
Dan indikasi ke arah ini sudah terjadi, di mana muncul masalah sampah yang menumpuk, tumpahan minyak di sekitar perairan TNK, kelangkaan suplai air bersih, degradasi sumber daya alam, overcrowding, konflik sosial antara penduduk lokal, pengunjung dan otoritas pada berbagai tingkatan, dsb.
Salah satu solusi yang diangkat pada kajian saya di atas adalah bahwa pemerintah pusat perlu untuk mengambil kebijakan untuk membatasi jumlah pengunjung ke TNK, sehingga memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah melaksanakan program restorasi ekosisten TNK. Oleh karena itu, kebijakan akses pada TNK selama ini harus bergeser dari common access property regime ke rezim baru yang disebut restricted access property regime atau bahkan mungkin pada waktu nya bergeser ke forbidden access property regime.
Penjelasan ini atas tidak dimaksudkan untuk mengkritik atau bahkan membungkam semua suara kritikan lainnya yang menentang kebijakan pemerintah dimaksud. Tapi minimal tulisan ini mencoba untuk mendudukkan persoalan sesuai dengan substansi pertimbangan ilmiah yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijakan pembatasan jumlah kunjungan dan kenaikan tarif masuk ke TNK.
Kritik terhadap kebijakan itu penting dan diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil saat ini akan tepat dalam implementasinya.
Alangkah bijak dan proporsional, jika kritikan tidak dialamatkan pada kebijakan pembatasan jumlah pengunjung dan kenaikan tarif, tapi dialamatkan pada bagaimana teknis implementasi kebijakan ini di lapangan. Seperti siapa yang akan bertanggung jawab dalam pengelolaannya, berapa besar pendapatan yang akan masuk ke kas negara, apa saja manfaat yang akan diterima oleh pemerintah daerah, dan bagaimana model keikutsertaan masyarakat lokal, dsb.