Oleh Pius Rengka
Dua pekan silam, kabar gembira cepat tersiar di aneka media. Gubernur NTT, Melki Laka Lena dan rombongan para bupati dan walikota pergi ke Jakarta. Tujuannya, mengkonsolidasikan kekuatan politik aksi sembari mensinkronisasi program pembangunan yang mungkin digelontorkan ke NTT sesuai konteks daerah masing-masing.
Konsolidasi dan sinkronisasi pembangunan ini, tentu saja, berbasis pada makna inti negara kesatuan Republik Indonesia. Kabar baik itu pun cepat meluas serentak membakar tungku optimisme rakyat NTT di tengah galau kabar pengetatan anggaran.
Tidak dapat dipungkiri, kabar ini pun menyiram harapan, optimisme dan simpati. Saya menyebut peristiwa kunjungan Jakarta ini sebagai sebuah ritual diplomasi politik pembangunan. Kepergian Gubernur dan rombongan Bupati Walikota pasti membawa pulang harapan, juga tantangan, lantaran realitas daerah yang jauh dari pusat kekuasaan.
Memang, mungkin saja ada sejenis kontras antara hiruk-pikuk ibu kota dengan realitas pedesaan NTT. Tetapi, menyoroti diplomasi politik pembangunan itu, bukan saja penting dan perlu, juga berguna justru karena betapa pentingnya makna pertemuan ini. Ritual diplomasi ini pun mengundang pertanyaan apakah koordinasi seperti ini cukup untuk mengatasi permasalahan mendasar di daerah.
Sebagai problematika, muncul ketegangan antara harapan dan realitas: Apakah model konsolidasi ini akan menghasilkan sinergi yang berkelanjutan atau hanya seremonial belaka? Apakah pemerintah pusat benar-benar memahami kompleksitas daerah, atau ini hanya menjadi ajang pencitraan tanpa solusi konkret? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak signifikan justru karena kita mahfum Melki Laka Lena adalah salah satu “pemain Jakarta”.
Begitulah, di sebuah pagi yang masih basah oleh renai embun di Nusa Tenggara Timur, para pemimpin daerah melangkah keluar dari rumah mereka, meninggalkan perbukitan, padang sabana, dan laut biru yang membentang hingga tabir cakrawala. Mereka menjejaki jalan panjang ke ibu kota, diundang oleh Gubernur Melki Laka Lena untuk satu misi besar: membawa suara rakyat ke pusat kuasa, menyelaraskan arus pembangunan agar NTT tidak lagi menjadi sekadar catatan kaki dalam buku kebijakan publik nasional.
Rombongan ini disambut kegetiran Jakarta. Di Jakarta, langit dilingkupi kabut polusi, jalanan semrawut oleh lalu lalang kepentingan. Jakarta dihujani warta korupsi triliunan di Pertamina yang dilakukan oleh para pecundang negara yang memiliki group WhatsApp “Orang-Orang Senang”. Jakarta adalah arena, tempat dari mana dan di mana para maling uang negara seperti sedang berlomba dan berpacu merampok uang negara.
Para bupati dan wali kota dari bumi Flobamora, yang terbiasa dengan semilir angin timur, kini berdiri di lorong-lorong gedung kementerian, bersiap untuk berbicara, memohon, dan mungkin bernegosiasi. Mereka datang dengan gagasan tentang bendungan yang perlu diperbesar dan dimaksimalisasi, jalan yang harus diperbaiki, dan program pangan yang harus disinkronkan dengan kebijakan pemerintah pusat. Bahkan, seturut informasi NTT dipatok sebagai provinsi contoh pemusnahan stunting di tanah air. Demi urusan itu dana puluhan triliun bakalan mengalir bagai air bah masuk menggenangi NTT.
Di bawah kepemimpinan Melki Laka Lena, pertemuan ini bukan sekadar seremoni tanpa roh. Ini adalah diplomasi pembangunan, sebuah pertaruhan antara retorika dan kenyataan. Bahkan diakui sendiri oleh Melki Laka Lena bahwa inilah salah satu jenis atau model konsolidasi politik dan sinkronisasi pembangunan yang pertama kali dilakukan dalam rentang sejarah kerja di republik ini.
Pertemuan dengan model begini, mungkin akan ditiru oleh provinsi lain di tanah air. Sementara itu, di Jawa Barat, Gubernur Dedy Mulyadi, memang tidak ke Jakarta di hari yang sama, tetapi dia telah melangkah jauh menuntaskan banyak perkara di Jawa Barat. Tetapi, NTT memang beda dan lain.
Terus terang, di balik semangat koordinasi ini, ada ketegangan yang tak kasatmata. Apakah para menteri akan mendengar mereka dengan sungguh-sungguh? Ataukah ini hanya satu dari sekian banyak pertemuan birokrasi yang akhirnya lenyap dalam tumpukan dokumen dan laporan-laporan yang jarang terbaca? Bagaimana memastikan bahwa janji-janji yang tercetus di ruang pertemuan itu tidak menguap saat para pemimpin daerah kembali ke kampung halaman mereka?
Melki Laka Lena, tampaknya sangat menyadari itu. Demi mengikat semua janji pemerintah pusat, Melki Laka Lena pun mengepung semua janji para menteri itu dengan menyelenggarakan serial pertemuan dengan para dispora NTT, para jurnalis NTT, sambil berpesan untuk mengontrol dan memberi pikiran terbaik dari tanah rantau. Tentu saja, pertemuan dengan para diaspora itu meyakinkan khalayak diaspora Jakarta bahwa pertemuan dengan para menteri tidak hanya harus dikawal, tetapi juga didorong untuk dipercepat.
Saya meyakini kepiawaian Melki Laka Lena dalam merawat persahabatan. Dia satu tokoh muda NTT yang cukup lentur. Keterampilannya berbicara pas, hangat dan simpatik dengan penggunaan diksi sederhana dan jelas yang mengarah ke maksud utama yaitu mengubah ini NTT dari realitas miskin menuju NTT yang terbebaskan.
Melki Laka Lena memahami bahwa tanpa kehadiran yang nyata di pusat, NTT akan tetap terpinggirkan dalam peta pembangunan nasional. Ia bukan sekadar membawa para pemimpin daerah ke Jakarta, tetapi juga mencoba untuk mengubah paradigma: bahwa pembangunan tidak bisa lagi berjalan dengan model top-down yang usang, melainkan harus berbasis pada realitas di lapangan. Tetapi, jalan itu relatif panjang, penuh liku dan bahkan jebakan antara idealisme yang ingin membawa perubahan dan realitas politik yang sering kali bergerak di luar kendali imajinasi pribadi pemimpin.
Pengalaman sejarah pembangunan NTT, tentu saja, bukan sebuah kejadian yang sama sekali lain. Pengalaman semirip NTT pernah juga terjadi di belahan lain di dunia ini, terutama di wilayah periferal di negara dunia ketiga seperti di Brazil, India dan Tanzania.
Di Brazil, tempat darimana pesepakbola kelas maestro seperti Ronaldinho, Roberto Carlos, Neymar, Ronaldo dan Vinicyus Jr, sebagai misal. Kawasan Amazon yang luas dan terpencil sering kali merasa terabaikan oleh kebijakan pusat di Brasília. Untuk menjembatani kesenjangan ini, pemerintah pusat menginisiasi program “Plano Amazônia Sustentável” (Rencana Pembangunan Berkelanjutan Amazon) yang melibatkan gubernur dan wali kota dari negara bagian Amazon untuk bertemu langsung dengan pejabat di Brasilia.
Begitu pun yang dialami India. India memiliki banyak daerah tertinggal, khususnya di negara bagian Bihar, Odisha, dan Jharkhand. Untuk mengatasi ketimpangan, pemerintah India meluncurkan program “Aspirational Districts”, yang bertujuan untuk menyelaraskan pembangunan daerah dengan kebijakan nasional.
Para pejabat lokal secara rutin diundang ke New Delhi untuk membahas sinkronisasi program, mirip dengan pendekatan yang dilakukan Gubernur Melki Laka Lena. Hal serupa juga terjadi di Tanzania menghadapi persoalan yang mirip dengan NTT dalam hal akses terhadap pusat kekuasaan. Presiden Tanzania, melalui program Big Results Now (BRN), pernah mencoba membawa para gubernur daerah ke ibu kota Dar es Salaam untuk menyusun strategi pembangunan berbasis daerah.
Namun, persoalan utama tetap ada: bagaimana memastikan bahwa suara dari daerah benar-benar diperhitungkan dalam kebijakan nasional? Tantangannya sama: apakah pertemuan ini menghasilkan solusi nyata atau sekadar seremoni birokrasi?
Seperti di NTT, tantangan terbesar bukan hanya koordinasi, tetapi bagaimana memastikan kebijakan yang disepakati benar-benar diimplementasikan di lapangan, mengingat benturan kepentingan di tingkat lokal sebagai ekses dari sistem elektoral. Elektorasi politik menggantung janji-janji politik di semua tebing harapan pemilih. Janji-janji politik itu satu dengan lainnya berbeda secara diametral. Demi mencapai kesatuan gerakan maka leadership politik menjadi tumpuan utama. Saya pikir Melki Laka Lena sangat lebih dari sekadar sanggup.
Nah, ketika pertemuan usai dan para bupati kembali ke tanah mereka masing-masing, pertanyaan besar tetap menggantung di langit udara: apakah koordinasi ini akan menjadi batu pijakan menuju perubahan, atau sekadar gelombang kecil yang menghilang sebelum sampai ke pantai harapan?
Melki Laka Lena mungkin telah membuka pintu, tetapi perjuangan belum selesai. NTT masih menanti jawaban dari mereka yang lain yang memiliki kuasa untuk benar-benar mendengar dan mengerjakan kehendak baik itu. Semoga.