Membangun Inovasi dan “Agile Mindset” di NTT

Ben Senang Galus
Ben Senang Galus.

Dalam birokrasi dengan agile mindset, seluruh aparatur birokrasi akan melihat kegagalan sebagai sebuah kesempatan belajar dan berinovasi.

Oleh Ben Senang Galus

Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang menjadi pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah. Pertama, keadaan politik dan keamanan yang stabil dan memberikan kepastian untuk berusaha. Kedua, birokrasi yang luwes dan proaktif, sehingga bisa melayani keinginan pengusaha tetapi dalam koridor hukum dan peraturan yang berlaku.

Ketiga, mampu memberikan iklim yang kondusif untuk berusaha. Keempat, harus memperhitungkan aspek sosial budaya sehingga tidak menimbulkan konflik realistis dan non realistis yang menghancurkan sistem sosial budaya yang permanen di daerah itu.

Merujuk keempat alasan tersebut, maka Pemda NTT harus mengimbanginya dengan cara berpikir entrepreneurial, yakni mampu mengurangi masalah yang kompleks menjadi sederhana dan mudah dipahami, mampu meningkatkan rasa percaya diri orang lain atau bawahan ketika berhadapan dengan situasi yang kompleks, mengembangkan NTT menuju incoporated, dengan menciptakan competitiveness strategy serta perubahan paradigama manajemen pemerintah yang bersih (clean governance).

Untuk mewujudkan hal itu perlu diciptakan good governance sehingga dapat melaksanakan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan serta memacu diri meningkatkan kapabilitas birokrasi, yakni kemampuan untuk melakukan dan mengembangkan tindakan kolektif secara efisien. Dengan peningkatan kapabilitas dapat melakukan perubahan yang berkesinambungan demi terciptanya economic opportunity melalui kebijakan-kebijakan birokrasi yang bisnis oriented.

Baca juga: Membangun Kultur Inovasi Birokrasi di NTT

Tidak ada cara yang lebih baik selain melakukan inovasi dan membangun “agile mindset”, yang berorientasi kepada kebutuhan pasar berdasarkan keadaan masyarakat, yang tidak hanya mencakup perubahan menuju “best practice” atau menyediakan informasi yang mudah diakses, tetapi yang lebih penting inovasi itu sendiri harus melembaga dalam pola pikir aparatur birokrasi dan benar-benar dipahami.

Birokrasi dengan agile mindset juga perlu percaya kepada keputusan, inisiatif dan eksekusi dari kelompok-kelompok kecil yang secara mandiri (dalam hal ini para petani) tetapi jelas targetnya. Hal ini juga dimungkinkan dengan networking luas dengan kelompok pengusaha lokal dan petani sukses sehingga tidak fokus pada orang-orang itu saja atau kroni-kroni saja (Kompas, 16/5/2020).

Selain dengan cara membangun agile mindset, gubernur sebagai top manajer, memiliki kesadaran growth mindset sebagai penentu masa depan NTT. Dengan cara demikian NTT tidak lagi menjadi daerah tertinggal dalam daftar kabupaten se Indonesia. No matter how intelligent you are, you can always get better, sometimes you can improve a lot. You can substitut any ability or talent for intelligence.

Agile mindset ini berbeda dengan doing agile atau being agile. Hal ini karena mindset akan menjadi landasan bagaimana individu kemudian bersikap terhadap segala rintangan yang dihadapinya. Dalam birokrasi dengan agile mindset, seluruh aparatur birokrasi akan melihat kegagalan sebagai sebuah kesempatan belajar dan berinovasi.

Klik dan baca juga:  Parasitisme Negara atas Desa

Perbedaan pendapat dan cara berpikir yang berbeda dalam suatu birokrasi diterima sebagai suatu inovasi baru dalam pengembangan manajemen birokrasi, bahkan dianggap sebagai fun at work. The agile mindset believes that we are all a work in progress. It continues to change and grow as we learn more  about it. If we are lucky, this will never end because it will never be perfect.

Baca juga: Mempercepat Pembangunan Perbatasan di NTT

Jika Pemda NTT membangun mindset agility ini, ia tidak akan takut pada perubahan. Sebab perubahan adalah suatu yang pasti menjanjikan masa depan NTT yang makmur sejahtera. Dengan munculnya berita di media bahwa NTT termasuk salah satu provinsi termiskin di NTT, maka dengan membangun agile mindset ini kita yakin dan percaya kelak akan keluar dari cap tiga jari kemiskinan, yang saat ini angka kemiskinan mencapai 20 persen dari jumlah penduduk yang mencapai lima jutaan jiwa.

Langkah inovasi dalam membangun brand NTT agar memiliki perceived value yang unggul, paling tidak harus melakukan enam langkah berikut sebagaimana dianjurkan pakar manajemen Donald F dalam “The Global Public Management Revolution” (2004), yaitu: 1) produktivitas, dapat menghasilkan lebih banyak pelayanan dengan memungut (pajak) lebih rendah. Ini akan meningkatkan daya saing; 2) marketization, harus dapat menggunakan market-style incentives untuk membasmi penyakit birokrasi pemerintah; 3) orientasi pelayanan, harus dapat mencari jalan bagaimana menjalin hubungan yang lebih baik dengan warganya; 4) desentralisasi, harus dapat mendorong jajarannya untuk melaksanakan program yang lebih responsif dan efektif; 5) kebijakan, senantiasa meningkatkan kapasitasnya untuk merumuskan dan menjalankan kebijakkannya dengan benar; 6) accountability for result, senantiasa meningkatkan kemampuannya agar bisa mewujudkan apa yang dijanjikan.

Klik dan baca juga:  Bahasa dan Kekerasan

Enam langkah tersebut harus menjadi agenda utama Pemda NTT ke depan dengan menetapkan sekurang-kurangnya empat strategi percepatan pembangunan yaitu pertama, menjadikan salah satu atau lebih sektor atau sesuai dengan potensi wilayah kelurahan/kecamatan sebagai brand.

Kedua peningkatan kualitas SDM agar produktivitasnya meningkat dengan cara mengikuti pelatihan yang sederhana. Ketiga, perbaikan fasilitas publik termasuk infrastruktur sehingga mendorong masyarakat lebih giat lagi menata perekonomiannya. Keempat, mengembalikan kepercayaan dan harga diri masyarakat bahwa mereka bisa mandiri tanpa harus bergantung kepada pemerintah.

Entrepreneural government

Agenda pembangunan NTT ke depan lebih diarahkan memfasilitasi infrastruktur (pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan) guna memacu kinerja ekonomi masyarakat. Ini adalah bagian dari apa yang disebut entrepreneural government.

Jika entrepreneural government (pemerintah wirausaha) yang menjadi pilihan, maka manajemen program percepatan pembangunan dapat terukur secara jelas dan menghasilkan kemakmuran bagi masyarakat NTT. Pemerintah wirausaha mengedepankan mutual trust and commitment dengan warganya.

Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan hadirnya ethics and morals based on the commitment of clean, transparent and professional values (etika dan moral yang berlandaskan pada komitmen nilai bersih, transparan, dan profesional). Dengan adanya aparat pemerintah yang menjunjung tinggi nilai bersih, transparan dan profesional maka diharapkan akan mampu memberikan prime public service.

Pemerintah wirausaha itu sendiri bukan tujuan tetapi sarana untuk lebih memahami aspirasi, keinginan, kehendak dan cita-cita warga masyarakat dan memerlukan kesinambungan dari pemerintah yang sekarang dengan pemerintah berikutnya.

Pemerintah wirausaha yang berhasil akan menghasilkan suatu brand. Dengan memiliki brand yang bereputasi baik, Pemda NTT akan lebih siap melakukan kompetisi, utamanya dalam menarik investasi dalam bidang pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan. Untuk mewujudkan hal ini maka diperlukan aliansi antar pemkot/pemda sehingga tercipta NTT incoporated.

Peran pemda (birokrasi) dalam menciptakan NTT incoporated terutama adalah menyediakan infrastruktur. Sebab infrastruktur merupakan kebutuhan pokok dalam kegiatan ekonomi, tetapi ada yang lebih penting yaitu branding.

Baca juga: NTT Menciptakan Competitiveness Strategy

Pemda NTT perlu membangun brand atau merek bagi daerah yang di antaranya berupa reputasi untuk meningkatkan daya saing. Brand, jaringan, dan data base adalah intangible asset yang mampu mencakup skill individual atau kelompok/masyarakat yang terkoordinasikan juga menjadi sumber keunggulan bersaing, di antaranya unsur pembentuk daya saing itu adalah: 1) perekonomian, 2) keterbukaan, 3) sistem keuangan, 4) infrastruktur, 5) ilmu pengetahuan dan teknologi, 6) governance dan kebijakan, dan 7) manajemen mikroekonomi.

Klik dan baca juga:  Ketika Mabuk Agama Semakin Menggila

Sejalan dengan itu, langkah strategis yang perlu dilakukan oleh Pemda NTT adalah dengan menetapkan berbagai kebijakan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat secara demokratis, akuntabel, transparan, dan berkeadilan (hindari kebijakan dalam ruang gelap). Perubahan-perubahan tersebut lebih mengarah pada perubahan paradigma manajemen Pemda NTT.

Perubahan paradigma manajemen, pada gilirannya akan berdampak pada semua aspek kehidupan bermasyarakat. Perubahan paradigma manajemen Pemda NTT antara lain: 1) dari orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara ke arah orientasi pasar (market), 2) dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke arah orientasi egalitarian dan demokrasi, 3) dari orientasi manajemen pemerintahan yang menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara sendiri ke arah boundaryless organization, 4) dari birokrasi manual menjadi birokrasi serba teknologi, 5) dari kurang percaya kepada masyarakat menjadi kepercayaan yang tinggi pada masyarakat (Mifta Toha,1999).

Jika Pemda NTT ingin mengembangkan “NTT Incoporated” dengan bisnis dengan cara demokrasi, maka yang perlu dibangun dalam masyarakat adalah modal sosialnya atau competitiveness strategy, yaitu dengan menanamkan dan menerapkan nilai-nilai keutamaan sosial.

Dua cara yang lain adalah, pertama, dengan membangun prasarana hukum, misalnya dengan menegakkan asas-asas prudentialitas perusahaan. Proses bisnis harus dijalankan melalui rambu-rambu hukum. Kedua, dengan menegakkan administrasi dan etika bisnis (business administration) yang proper, maka dengan cara demikian kita dapat membangun NTT menuju incoporated. Dan saya yakin NTT pasti semakin makmur.

Baca juga: Mendorong NTT Menjadi Provinsi Sportnomic

Untuk mewujudkan itu semua Pemda NTT, selaku institusi yang menggerakkan kemajuan NTT, harus mengubah cara berpikir lama (birokrasi asal jadi, SPJ beres) menuju cara berpikir “agile mindset”, yang biasanya terlihat dari inovasi, kemampuan menjangkau pasar, memberikan solusi melalui kelompok-kelompok kecilnya, dan berkolaborasi dalam network yang bermanfaat. Semoga!

 

Ben Senang Galus, Penulis buku “Pemikiran Ekonomi dari Klasik sampai dengan Revolusi Industri 4.0“, tinggal di Yogyakarta