Kupang, detakpasifik.com – Peristiwa itu terjadi tahun lalu. 16 Oktober 2020. Pukul 12.20 Wita, warga Desa Kaeneno, Kecamatan Fautmolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, mencatat tanggal itu sebagai hari amat paradoks. Bagaimana tidak.
Pertama, pada hari itu, salah satu pelari maraton kesohor Indonesia, asal Desa Kaeneno, Kecamatan Fautmolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Eduardus Nabunome dibaringkan ke liang lahat tempat dari mana tanah kelahirannya itu untuk selamanya. Ia telah pergi meninggalkan keluarga dan sanak saudaranya untuk selama-lamanya.
Semua orang di situ sungguh tahu, tak seorang jua pun dari mereka yang sanggup memanggilnya pulang. Tetapi, sebagaimana kata Cicero, filsuf retorika Romawi Kuno, Eduardus Nabunome, memang tak pernah kekal pergi. Dia tak lenyap, tetapi lenyap senyap hanya dari pergaulan ramai di ziarah di bumi ini. Dia senantiasa ada di tengah kehidupan kita karena Eduard senantiasa dikenang dalam ingatan semua orang yang pernah mengenalnya.
Apalagi, Edu, demikian dia biasa disapa, hidup dalam genangan kenangan para sahabat terdekat pengenalnya. Dia memiliki ragam keunggulan, tetapi juga beriringan dengan keunggulan itu Edu juga membawa serta sejumlah kebiasaannya, merokok dan menenggak minuman keras. Konon, nyawanya terenggut lantaran kebiasaannya itu.
Edu adalah salah satu pelari maraton nasional. Dia sanggup membawa nama Indonesia harum dan besar di mata dunia. Edu mengembara ke Jakarta, setelah dia selalu unggul dalam perlombaan lari maraton di NTT. Dia diakui mengenal sangat dekat dengan Viktor B Laiskodat sebagai sesama perantau di Jakarta.
Kini Viktor memimpin provinsi penuh problem. NTT tak hanya dililit belenggu rantai kemiskinan, tetapi juga NTT hanyut dalam sekat-sekat primordial yang melelahkan banyak kalangan. Apa yang dialami masyarakat TTS sesunguhnya juga dialami warga lain di tempat lain. Sebut saja Sumba Timur bagian selatan, Sabu Raijua dan Mesara, juga Lembata terutama derita yang dialami rakyat Lamalera. Pengalaman ke pedalaman TTS bukanlah sebuah pengalaman asing bagi Gubernur Viktor.
Menilik cermat kondisi kampung kelahiran itu, sungguh mengenaskan untuk tidak dikatakan memilukan. Kampung Eduar Nabunome, terletak di punggung bukit kapur. Tandus. Ditumbuhi kayu putih, dan di sana sini tampak tanaman petani di atas areal lahan paling luas 500 M2.
Kampung itu sepertinya dikepung lembah nan terjal. Untuk kebutuhan air minum, penduduk di situ harus bertarung dengan kondisi alam karena sumber air ada di cekungan lembah. Sementara, bila malam tiba, kampung itu gelap gulita. Paling-paling ada dua penduduk lokal, memiliki penerangan dari sumber mesin generator. Tetapi, kan tak banyak.
Malam tak ada penerangan listrik, itu sudah pasti. Akses handphone, juga tidak mungkin dari dan ke situ. Penduduk di situ seperti hidup di jaman praperadaban. Ke pusat pasar rakyat harus jalan kaki. Listrik tak ada, sumber air pun jauh. Untuk mencapai kampung kelahiran Eduard, dibutuhkan waktu tempuh 60 menit untuk jarak tempuh 30 km ke arah kanan dari lintas jalan negara SoE Kefamenanu, pakai kendaraan roda empat atau truk. Lengkaplah sudah penderitaan di situ.
Jalan berkelok terjal. Menurun melalui beberapa tempat bekas longsoran di mana-mana. Di tepi kiri kanan jalan menuju ke rumah almarhum Edu, tak hanya dihadang terjal jurang yang memompa adrenalin, tetapi juga tanahnya labil ditimpa batu-batu pecah yang, selalu mungkin terjungkal ke jurang dalam. Pada musim hujan, jalan itu nyaris tidak dilewati kendaraan roda empat, kecuali jalan kaki atau memaksa diri naik motor yang berjalan merangkak terseok-seok.
Pada musim kering pun, kendaraan roda empat harus terseok-seok merayap bergerak maju. Untuk mencapai Desa Kaeneno, dibutuhkan waktu tempuh 120 menit dengan kecepatan 80 km per jam dari Kupang, ibu kota Provinsi NTT.
Hari itu, Viktor B Laiskodat, Gubernur NTT, beserta rombongan hadir di Desa Kaeneno. Gubernur datang ke situ untuk memberi penghormatan dan melepas pergi sahabatnya Eduardus Nabunome ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Di pusara pembaringan, 30 meter dari rumahnya di kampung itu, nama Eduard Nabunome ditulis jelas di sebuah tepi makam di bawah salib sederhana. Nama itu dikenal oleh sejagat atletik lari jauh Asia Tenggara. Terdengar tangisan syahdu pelayat yang tersisa. Terkesan seperti pasrah saja. Tangisan keluarga dan handai tolan nyatanya tidak sanggup memanggil pulang Eduard dan berlari lagi di arena tarung tangguh.
Kini, Edu berbaring di pembaringan abadi. Dia telah mengerjakan hal terbaik dari apa yang dimilikinya untuk negeri ini. Dia telah mencapai garis batas kehidupan dan kini dia telah pergi sendirian dalam keheningan agung nan abadi.
Gubernur NTT, Viktor B Laiskodat, dalam sambutan amat sangat pendek mengucapkan dua hal utama. Pertama, dikatakannya, bahwa di salah satu tempat yang tampan di Desa Kaeneno, patung Eduard Nabunome harus dibangun.
Patung itu dibangun di tempat kelahirannya selain untuk mengenang jasa Eduard untuk nama besar Indonesia, tetapi juga untuk mewartakan kepada dunia bahwa NTT bukanlah daerah tepi serba kurang. NTT sanggup memberi kebanggaan untuk tanah air.
Tetapi, kata Viktor, NTT dicatat oleh buku sejarah olahraga nasional sebagai tempat lahirnya banyak atlit handal. Karenanya NTT telah menyumbangkan hal bergengsi untuk tanah air. Kedua, Desa Kaeneno harus segera mendapatkan pelayanan listrik dari PLN. “Saya tidak mengerti mengapa ini kampung tidak diurus dan terkesan dibiarkan terus merana, padahal ini kampung telah mengharumkan Indonesia,” ujar Viktor.
Sesaat setelah mengucapkan dua hal penting itu, Gubernur Viktor menelpon Manager Area Kupang perihal kemungkinan pemasangan jaringan listrik ke desa nun terpencil itu.
Kemudian, gubernur dan rombongan pamit pulang. Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil Fortuner DH 1, Gubernur Viktor B. Laiskodat, mendiskusikan banyak hal terkait relasi pembangunan dan kepemimpinan. Kepada detakpasifik.com, Gubernur NTT Viktor B Laiskodat mengatakan:
“Pemimpin itu jangan pernah takut dengan apa kata orang. Pemimpin harus takut apa yang dikerjakannya. Karena apa yang dikerjakannya akan sangat menentukan peringkat kualitas pelayanannya kepada rakyat. Tantangan NTT memang banyak. Karenanya pemimpin hadir untuk memecahkan masalah. Pemimpin memimpin gerakan perubahan. Pemimpin harus menjadi bagian terpenting dari pemecahan masalah, bukan menjadi bagian dari masalah itu sendiri”.
Satu minggu setelahnya, 23 Oktober 2020, diperoleh kabar, bahwa Desa Kaenano bagai dihujani cahaya. Listrik telah menyala di sana. Warga dua dusun yang dihuni 356 KK gembira bukan main. Mereka merasa ada pembangunan, ada pemerintah, ada negara.
Ucapan Berdaya Kuasa
Ucapan Gubernur Viktor sungguh bertuah, berdaya kuasa, dan berdaya menggetarkan perubahan, kata Gusty Fallo, Kepala Desa Kaeneno, di Kantor Gubernur NTT, Jl. El Tari, Kamis (8/7/2021).
Gusty Fallo menyatakan hal itu saat dirinya bersama dua staf desa menemui Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL), di ruang kerjanya. Kepala Desa Kaeneno, Kecamatan Fautmolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan datang jauh-jauh mewakili seluruh rakyat dari wilayah itu untuk megucapkan terima kasih banyak karena jaringan listrik di wilayah tersebut telah menyala.
Gubernur Viktor berpesan agar pembangunan jaringan listrik harus ikut mengerakkan pembangunan manusia pembangun di desa. Itu berarti, ekonomi masyarakat harus berkembang. Mengapa? Karena aktivitas masyarakat tak hanya terjadi siang hari tetapi juga bisa terjadi sampai malam hari. Tambahan lagi kini Pemerintah Pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika jaringan internet di wilayah NTT sedang dibangun.
“Untuk jaringan internet, Kabupaten TTS mendapat jatah 16 titik. Salah satunya ada di Desa Kaeneno,” ujar Gubernur.
Menurut Gubernur Viktor, sudah saatnya masyarakat Desa Kaeneno bekerja keras karena kemudahan-kemudahan telah disiapkan, sehingga kehidupan ekonominya dapat berkembang.
Ditegaskan, ke depan masyarakat di seluruh pedesaan akan memiliki anak-anak muda yang pintar dan dapat membangun desanya.
“Sebagai gubernur saya akan bicara dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, agar ke depan dana desa yang ada, sebagiannya dipakai untuk biaya pendidikan,” kata Gubernur.
Dari Rp 1 miliar dana desa, 500 juta dipakai untuk membiayai pendidikan bagi 5 orang pandai di setiap desa untuk study lanjut ke jenjang bangku kuliah. Dua orang kuliah di luar negeri dan tiga orang di dalam negeri. Jurusan yang diambil harus berhubungan erat dengan potensi yang ada di desa tersebut. Setelahnya mereka akan kembali dan membangun desanya.
Pada kesempatan itu kepala desa memohon dibangun jalan raya yang baik menuju desanya. Berkaitan dengan pembangunan jalan raya, mantan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem ini mengatakan, ruas jalan di Desa Kaeneno merupakan jalan kabupaten. Tetapi nantinya apabila tahun depan jalan provinsi sudah tuntas dikerjakan, maka mengintervensi provinsi diperlukan untuk beberapa jalan kabupaten.
Gusty Fallo mengatakan, dirinya diminta masyarakat Desa Kaeneno untuk segera bertemu gubernur menyampaikan terima kasih karena kini listrik sudah masuk Desa Kaeneno.
“Saya mewakili 356 Kepala Keluarga di Desa Kaeneno, mengucapkan terima kasih yang tinggi buat Bapak Gubernur, karena berkat kepedulian dan cinta bapak terhadap masyarakat NTT khususnya masyarakat Desa Kaeneno, maka saat ini kami sudah bisa menikmati listrik, yang sekian lama menjadi barang asing bagi kami,” ungkap Gusty.
Dirinya berbangga karena waktu pengerjaannya juga tidak memakan waktu yang lama. “Saat itu tanggal 16 Oktober 2020 saat kunjungan Bapak Gubernur ke desa kami, saya menyampaikan bahwa sampai saat ini masyarakat di tempat ini belum menikmati listrik. Tetapi tanpa diduga dalam waktu hanya seminggu, tepatnya 23 Oktober 2020, petugas PLN survei lokasi dan melakukan pengerjaan instalasi listrik. Hasilnya saat ini kami sudah menikmatinya,” urai Gusty.
Banyak hal positif yang dirasakan masyarakat pasca pemasangan jaringan listrik. Satu diantaranya berkaitan dengan dunia pendidikan.
“Saat ini di Desa Kaeneno terdapat 2 PAUD, 1 SD, 1 SMP dan 1 SMA. Mereka sudah dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar secara online melalui handphone,” tuturnya.
Di akhir pertemuan ini, Gusty yang didampingi sekretaris desa dan tokoh masyarakat, meminta perkenan gubernur untuk disebut sebagai ‘Bapak Infrastruktur’. Salah satu alasannya karena meski Desa Kaeneno terpencil, 30 km dari jalan umum dengan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan, tetapi Bapak Gubernur tetap memperhatikan dan membangun infrastruktur di desa tersebut. (pr)